Oleh : Ahmad Barjie B
Budayawan
Politik dari dulu sudah merupakan daya tarik bagi kalangan tertentu. Ibarat gula ia akan selalu dikerubuti semut. Ibarat bangkai ia juga akan dikerubuti lalat, ulat atau belatung. Melalui dunia politik seseorang akan memiliki nama besar, popularitas, kedudukan, dan dalam banyak kasus juga mendatangkan kekayaan materi. Tetapi dunia politik pula yang sering menjerumuskan seseorang ke suatu lembah yang menghinakan dan berbuah penyesalan. Banyak orang yang begitu terhormat dengan hidup di dunia nonpolitik, tetapi setelah terjun ke dunia politik maka citranya jatuh, terjun bebas ke titik nadir.
Menyadari rentannya politik dalam menaikkan dan menjatuhkan seseorang, pada sebagian orang dan kalangan mengharamkan politik. Islam membolehkan orang berpoitik, tetapi disertai wanti-wanti agar hari-hati. Bahkan bagi sebagian tokoh Islam, dunia politik cenderung dijauhi, sebab akan berbuah penyesalan di akhirat nanti.
Suatu hari para sahabat mendatangi khalifah Umar bin Khattab, meminta agar khalifah merestui jika putranya Abdullah bin Umar dipersiapkan sebagai khalifah ke depan, sebab ia seorang yang baik, jujur, kapabel dan mirip ayahnya. Bukannya bangga, Umar bahkan marah seraya berkata: ”Dari keluarga Umar, cukup saya seorang saja yang bertanggung jawab di akhirat untuk urusan umat”. Bagi Umar tidak ada politik dinasti, keluarga dan kroni.
Akar Pemisahan
Eropa abad pertengahan dan sebelumnya, dunia politik juga cenderung diharamkan untuk dimasuki kalangan agamawan. ”Serahkan urusan negara kepada para raja dan kaisar dan serahkan urusan agama kepada gereja”. Ungkapan ini begitu menonjol, sehingga terjadi pemisahan yang dikotomis antara agama dengan negara, dengan segala konekuensinya yang bermuara kepada sekularisme.
Eropa dan barat modern tidak lagi menjadikan politik sebagai hak kalangan tertentu saja. Siapa saja boleh maju untuk menjadi penguasa atau pejabat publik. Tetapi pada sebagian dunia barat, politik hanya dijadikan sebagai karier terakhir. Tujuannya bukan untuk meraih materi, tetapi lebih dititikberatkan kepada pengabdian masyarakat.
Itu sebabnya, Jimmy Carter Sr setelah sukses sebagai petani mencoba peruntungan dengan mencalonkan diri sebagai presiden, dan terpilih. Begitu juga Ronald Reagan, setelah sukses sebagai bintang film, mencalonkan diri sebagai presiden, dan terpilih, meski berkali-kali gagal. Gerge Bush Sr setelah pensiun dari ketentaraan terjun ke politik. Dan anaknya George Bush Jr juga demikian, setelah sukses sebagai pengusaha minyak, terjun ke dunia politik dan terpilih sebagai presiden. Sergio Berlosconi setelah sukses sebagai pengusaha terjun sebagai politisi dan terpilih menjadi perdana menteri Italia berkali-kali.
Itu artinya, para politisi di luar negeri sana lebih menjadikan dunia politik sebagai arena pengabdian kepada rakyat. Politik tidak dijadikan sebagai lahan mencari penghidupan dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Itu sebabnya para politisi AS tidak keberatan dengan UU Antikorupsi yang berat dan rela mundur dari panggung politik jika terindikasi korupsi walau sedikit, atau melakukan perbuatan tercela lainnya.
Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin (1983), di era Presiden Jimmy Carter seorang kepala anggaran di pemerintahannya disingkirkan, hanya karena diragukan menyalahgunakan uang 5.000 USD. Richard Owen, seorang penasihat Presiden Ronald Reagan, terpaksa mundur karena terindikasi korupsi 1.000 USD. Tampak bahwa untuk negara kaya, nilai korupsi sedikit saja sudah membuat seorang pejabat publik tercoreng dan harus mundur dari panggung politik.
Bandingkan dengan Indonesia, sebuah negara yang tidak kaya, bahkan angka kemiskinan masih tinggi, tetapi nilai korupsinya sangat mengerikan. Dari miliaran hingga triliunan rupiah. Cuma di negeri ini agar korupsi terkesan benar-benar dimusuhi, korupsi kecil-kecilan juga diberantas habis. Bahkan kadang pisau hukum lebih tajam dalam memotong korupsi kecil ketimbang korupsi besar. Tajam ke bawah tumpul ke bawah.
Sedikit Sejarah
Bila dikaji sejarah Banjar masa silam, dunia politik bukanlah sebuah ruang yang terbuka lebar untuk dimasuki. Dunia polltik adalah dunia yang sangat khas dan eksklusif. Para sejarawan dan budayawan Banjar tentu hafal dengan cerita putra saudagar asal Keling, Mpu Jatmika yang berlayar ke Kalimantan. Menurut Hikajat Bandjar (1990), Mpu Jatmika pergi berlayar ditemani istrinya yang bernama Sira Manguntur. Mereka tiba di Marampiau (Margasari-Tapin), lalu menetap di sana karena alam dan tanahnya dirasa cocok untuk membangun kehidupan baru. Setelah di Margasari mereka pindah lagi agak ke hulu, yaitu ke daerah Amuntai, lalu membuat pemukiman atau tempat tinggal. Di Margasari dibangun Candi Laras, sedangkan di Amuntai dibangun Candi Agung. Cerita yang terkandung dalam proses pembangunan kedua candi ini ditulis dalam Hikayat Tutur Candi.
Pasangan ini memiliki dua orang anak putra, Mpu Mandastana dan Lambung Mangkurat, serta seorang putri bernama Karayang Bungsu yang bersuamikan Raden Gin Ta Yu, seorang Cina Serawak. Mereka ini selanjutnya juga beranak pinak dan menjadi salah satu subetnis suku Banjar.
Di daerah yang didatangi sudah ada penduduk, namun tidak ada kekuasaan politik. Guna mengisi kekosongan kepemimpinan, mulanya Mpu Jatmika mengangkat dirinya sendiri sebagai raja sementara, dengan gelar Maharaja di Candi. Kerajaannya dinamakan Negara Dipa dengan ibukota Kuripan, sekitar Candi Agung Amuntai sekarang.
Dalam masyarakat Hindu zaman dulu ada strata masyarakat berdasarkan kasta-kasta, dari kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra hingga Paria. Menjadi penguasa politik adalah hak prerogatif Kasta Ksatria. Mengingat Mpu Jatmika sekeluarga bukan berasal dari kasta Ksatria, melainkan hanya kasta Waisya, maka kedudukannya hanya sebagai raja sementara. Dia dan keturunannya tidak mau menjadi raja yang permanen karena takut terhadap kutukan Dewata.
Menurut Gusti Mayur (1980), saat itu ada ketentuan sebagai berikut: “Siapa yang tidak berdarah bangsawan, tetapi karena kekayaan dapat menjadi raja, maka ia akan ditimpa bencana. Demikian pula bencana itu juga akan menimpa rakyat yang mengakui orang itu sebagai raja”.
Kedua putra Mpu Jatmika, Mpu Mandastana dan Lambung Mangkurat disuruh bertapa di gunung guna mencari seorang putri yang kelak akan dikawinkan dengan pangeran dari Majapahit. Pertapaan di gunung tidak berhasil, usaha kemudian dialihkan ke laut (sungai), sampai akhirnya Lambung Mangkurat menemukan Putri Junjung Buih yang keluar dari pusaran air. Putri ini kemudian dijadikan anak angkat keluarga Mpu Jatmika. Versi lain, Junjung Buih adalah putri seorang tokoh di gunung Batu Piring Balangan, yang hanyut terbawa arus sungai.
Lambung Mangkurat selanjutnya berlayar menuju Majapahit menggunakan kapal Prabayaksa guna memohon agar Majapahit berkenan mengirimkan seorang putra atau pangeran ke tanah Banjar untuk menjadi raja Banjar dan mengawini Putri Junjung Buih. Raja Majapahit (kemungkinan Raden Wijaya, Hayam Wuruk, Kertabumi atau Brawijaya V) berkenan mengirim salah seorang putra angkatnya bernama Raden Putra. Dialah yang kemudian mengawini Putri Junjung Buih dan diangkat menjadi Raja Negara Dipa dengan gelar Pangeran Suryanata.
Peristiwa Berdarah
Lambung Mangkurat tidak mau Putri Junjung Buih disunting oleh rakyat biasa, bahkan oleh keluarga dekatnya sekali pun. Hal ini tidak terlepas dari kepercayaan bahwa rakyat jelata tidak berhak menjadi raja. Kepercayaan itu justru membawa malapetaka atau tragedi berdarah di lingkungan keluarga Mpu Jatmika.
Bambang Sukmaraga dan Bambang Padmaraga, putra kembar Mpu Mandastana, kedua pemuda ini mencintai Putri Junjung Buih yang cantik, dan tampaknya mereka tidak bertepuk sebelah tangan. Lambung Mangkurat cemburu dan murka. Dengan siasat mengajak keduanya memancing, lantas kedua pemuda itu dibunuh. Tempat pembunuhan itu sekarang disebut Lubuk Badangsanak. Ada kepercayaan mayat kedua bersaudara itu hilang lenyap (moksa) dan bersemayam di Gunung Pematon Arga Kencana.
Mpu Mandastana dan istrinya sangat marah bercampur sedih, tetapi tidak kuasa melawan. Akhirnya suami istri ini memilih untuk mati bunuh diri. Mpu Mandastana menikam dirinya dengan keris Parang Sari bikinan Majapahit, dan sang istri menikam dirinya dengan keris bernama Lading Malela yang berasal dari Keling. Jadilah tempat mereka bunuh diri itu disebut Telaga Darah, atau Telaga Raha, yang kini situsnya masih ada di lingkungan Candi Agung Amuntai. Suami istri itu dianggap keramat, sehingga burung-burung yang terbang di atas mayat mereka (sebelum dilarung ke laut) gugur berjatuhan.
Ternyata kepercayaan bahwa penguasa hanya boleh dijabat kalangan bangsawan dianut secara fanatik oleh Lambung Mangkurat di Negadipa, sehingga tidak segan membunuh keluarga dekatnya sendiri. Pembunuhan karena alasan ini seolah dibolehkan.
Bagi Kerajaan Banjar saat itu (Negara Dipa dan Negara Daha) beserta rakyatnya, kepercayaan demikian mengandung keuntungan politik. Pertama, kedudukan raja menjadi sangat tinggi, sangat dihormati, bahkan sakral. Karena itu ketika Pangeran Suryanata dari Majapahit datang ke Negara Dipa dan mengawini Putri Junjung Buih diadakan pesta yang luar biasa.
Kedua, karena kedudukan raja yang sangat tinggi itu maka rakyat tidak ada yang berani melawan atau memberontak. Hasilnya negara menjadi aman dan damai, bahkan mungkin makmur dan sejahtera. Ketika terjadi gejolak dalam kerajaan Banjar, hampir pasti kesemuanya datang dari lingkungan istana sendiri, bukan dari rakyat. Misalnya Perang Antara Pangeran Tumenggung versus keponakannya Pangeran Samudra, jelas merupakan konflik internal di lingkungan istana disebabkan Pangeran Tumenggung membunuh saudaranya sendiri Pangeran Mangkubumi. Pangeran Samudra yang seharusnya menjadi pewaris Kerajaan di Negara Daha sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama menjadi terancam dan akhirnya berlari ke Banjarmasin.
Begitu juga di era Kerajaan Banjar Islam, terjadi perseteruan antar pangeran, misalnya antara Pangeran Nata Dilaga (Nata Alam) dengan Pangeran Amir, sehingga Nata Alam meminta bantuan Belanda (VOC). Nata Alam berhasil menang, dan Pangeran Amir kalah hingga dibuang ke Srilangka. Tetapi dari peristiwa itulah campur tangan Belanda makin dalam dan Kesultanan Banjar berada dalam bahaya disebabkan perjanjian yang sangat merugikan Banjar. Menjelang meletusnya Perang Banjar yang berujung dengan dihapuskan dan dikalahkannya Kerajaan Banjar, asal muasalnya juga karena perseteruan sesama pangeran di Kesultanan Banjar, yakni Pangeran Hidayatullah vs Pangeran Tamjidillah, yang diperparah oleh campur tangan Belanda.
Sudah Bergeser
Di Indonesia pada umumnya fenomena demikian tidak terjadi lagi. Tidak ada kapling khusus bahwa dunia politik hanya untuk kalangan tertentu. Terlebih untuk masa kini dunia politik sangat terbuka. Selain oleh politisi tulen, politik juga dimasuki oleh para artis, pengusaha, pejabat/birokrat, ulama, cendikiawan, aktivis dan sebagainya.
Di tanah Banjar pun demikian. Dunia politik yang bermuara pada duduknya seseorang di lembaga legislatif dan eksekutif juga semakin terbuka bagi siapa saja. Hanya saja ada kecenderungan yang makin memprihatinkan. Kalau dulu kekuasaan politik cenderung dipercayakan kepada kalangan bangsawan, kini kekuasaan menjadi incaran keluarga pejabat dan pengusaha. Mereka yang sudah lebih dahulu memegang jabatan publik, seperti tidak rela kalau jabatan itu jatuh ke tangan orang lain. Akhirnya terbangunlah politik dinasti, satu hal yang tidak terlalu jauh berbeda dengan zaman kerajaan dahulu.
Di sisi lain para pengusaha tidak merasa puas dengan kesuksesan usaha bisnisnya. Mereka ini semakin banyak pula yang terjun ke dunia politik. Seolah bisnis mereka memerlukan pilar kekuasaan. Dengan dukungan dana yang kuat, partai bisa dibeli dan disewa, suara rakyat bisa dibeli dan dimobilisasi. Ketika rakyat pemilih mulai terkena apatisme dan pragmatisme politik, maka uang makin berkuasa. Akhirnya para calon yang mempejuangkan idealisme, yang mungkin datang dari kalangan perguruan tinggi, agawaman dan aktivitas yang tidak punya basis dana, adi tidak laku. Bahkan para politisi pun jika kurang daya dan dana mungkin sulit maju, meskipun mereka berpengalaman dan mampu. Wallahu A’lam.