Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Mencontoh “Kesetaraan” ala Swedia

×

Mencontoh “Kesetaraan” ala Swedia

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid adalah salah anggota Ambin Demokrasi Kalimantan Selatan *)

oleh: Noorhalis Majid

SEPERTINYA, kebijakan terhadap pejabat yang diterapkan di Swedia, yang sekarang sedang viral di media sosial, dimana semua pejabat tidak mendapatkan fasilitas, terutama mobil dinas dan tunjangan lainnya, serta dibayar lebih rendah dari gaji guru, layak menjadi rujukan bagi Indonesia.

Baca Koran

Selain alasan efisiensi, juga berdampak pada upaya membangun kesetaraan dan meningkatkan kepercayaan publik.

Memang sangat berat dan terasa mustahil bagi Indonesia yang sudah terlanjur seperti ini, tapi Swedia, negara yang dikenal lebih maju dan sejahtera sudah mencontohkannya. Artinya, sangat mungkin kalau ingin meniru, dan tidak perlu malu meniru hal baik dari manapun datangnya.

Bukankah dulu kita juga pernah meniru pada mereka, satu model lembaga keuangan yang kemudian diberi nama koperasi, sebagai cara membangun perekonomian bangsa yang didasarkan atas azas kekeluargaan. Sayangnya tidak paripurna menerapkannya, sehingga lembaga koperasi hanya sekedarnya saja, tidak menjadi tulang punggung perekonomian bangsa. Seandainya paripurna diterapkan, maka seluruh BUMN dan BUMD, badan hukumnya pasti berbentuk koperasi, sehingga keuntunggan usahanya dibagi bersama dengan seluruh anggota yang merupakan warga masyarakat itu sendiri.

Selama ini, antara status sosial dari pejabat dan warga tidak setara. Pejabat hidup dengan segala fasilitas dan kemudahan, sementara warga “hampas pangkung, kada tahu di burit kapala”, berjibaku dengan segala problem hidupnya, dan itu pun harus membayar segala jenis pajak, iuran dan kontribusi, yang kelak dinikmati para pejabat.

Pajak yang dikumpulkan dengan susah payah, dibayar melalui keringat warga, termasuk para UMKM dan pedagang kaki lima, penggunaannya tidak efisien, karena pejabatnya tidak arif dalam membelanjakan, dan tidak tahu skala prioritas. Seandainya efisien, uang pajak tersebut pasti berguna untuk membangun kesejahteraan bersama, bukan menumpuk kemewahan para pejabatnya.

Kalau gaji pejabat lebih rendah dari para guru,mungkin pendidikan akan maju. Sebab yang merasa berkualitas, berkompetisi menjadi guru, bukan justru berebut menjadi pejabat. Sekolah tidak akan kekurangan guru. Dunia pendidikan diisi orang-orang yang kompetitif, dan posisi guru menjadi sangat terhormat, karena gajinya lebih tinggi dari pejabat.

Baca Juga :  MEMUJI RASUL

Guru akan bekerja secara profesional, tidak perlu lagi sambil mencari tambahan lain untuk menutupi beban hidupnya. Dengan minat yang tinggi, jumlah guru akan mencukupi, karena diperebutkan dan menjadi kebanggaan.

Bisa dibayangkan, bila gaji pejabat lebih rendah dari gaji guru, para pejabat hanya akan diisi oleh orang-orang yang “tulus”, yang sudah selesai dengan hidupnya, tidak lagi mengejar uang dan fasilitas jabatan. Sehingga fokus, mampu berkomitmen memperbaiki kebijakan, dan tata kelola pemerintahan yang semakin apik.

Bila pejabat gajinya lebih rendah dari guru dan tidak mendapat fasilitas apapun, pasti money politik dalam pemilu yang memperebutkan jabatan-jabatan politik, tidak laku lagi. Pemilu akan bersih dari segala trik dan intrik kecurangan. Bahkan kasak-kusuk perebutan jabatan politik, pasti tidak terjadi. Politik kembali dapat dipulihkan, mampu dilepaskan dari sanderaan kelompok oligarki.

Karena pejabat tidak mendapat fasilitas mobil dinas lagi, kemacetan lalu lintas dan polusi udara akan berkurang. Pejabat akan memikirkan bagaimana pembangunan transportasi publik yang mudah dan murah, guna menghantarkan dia dan warga pada tempat kerjanya masing-masing. Pejabat hidup sederhana lagi bersahaja, dan menjadi contoh serta panutan bagi warganya. Kita akan menyaksikan kehidupan para pejabat yang setara dengan warganya, pergi ke kantor dengan bersepeda, atau menikmati angkutan publik yang ramah, sebagaimana para pejabat di Swedia.

Mungkin role model yang dicontohkan Swedia, layak dicoba. Terutama memulihkan kepercayaan publik kepada para pejabat dan pengelola pemerintahan, serta menjadi pintu masuk memperbaiki Pemilu dan politik yang terlanjur “mata duitan”.

Sekarang ini kepercayaan publik pada para pejabat merosot drastis, bukan saja karena rendahnya kompetensi sehingga tidak mampu mengatasi berbagai problem tata kelola pemerintahan, namun juga “kebanyakan gaya”, sehingga lebih banyak mengurusi gaya hidup yang semakin borju, dan tidak lagi bekerja secara profesional. Ujung-ujungnya bukan kinerja yang dibanggakan, tapi tumpukan harta yang boleh jadi didapat secara tidak halal.

Baca Juga :  PEMIMPIN DI HARI KIAMAT

Apalagi di tengah krisis anggaran seperti sekarang ini, para pejabatlah yang harus menjadi pelopor efisiensi. Seluruh gaji pejabat layak dievaluasi, termasuk gaji anggota DPR, DPD, DPRD, serta komisaris yang sudah memperoleh kemewahan setinggi langit. Dari pada memangkas jumlah honorer dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial, lebih baik dimulai dengan meniadakan segala tunjangan para pejabat, sehingga terbangun kesetaraan antara pejabat dan bawahannya.

Bisa dibayangkan, bila mobil dinas ditiadakan, tunjangan pejabat dihapuskan, gaji para petinggi dan pembesar dievaluasi, serta segala yang tidak perlu dilakukan efisiensi, maka akan ada penghematan yang sangat signifikan. Mudah-mudahan dengan itu tidak perlu lagi menambah hutang, dan mengajarkan kepada semua pejabat untuk hidup sederhana, lantas menjadikannya menjadi lebih bersahaja.

Demikian halnya kalau “ala” Swedia ini dapat menjadi pintu masuk memperbaiki Pemilu yang mata duitan, pasti tidak lama lagi kita akan menemui Pemilu yang berkualitas, sehingga yang tampil dan terpilih bukan lagi didasarkan pada kemampuannya menyogok warga, tapi benar-benar karena integritas, rekam jejak dan komitmen pada kesejahteraan bersama.

Agar menjadi role model, warga juga harus turut mendukung, merubah persepsi tentang pejabat itu sendiri. Jangan lagi menganggap pejabat sebagai orang yang memiliki banyak duit dan diharapkan bantuannya setiap waktu. Jangan lagi hormat karena fasilitas yang menyertainya, tapi hormatlah karena integritas dan kinerjanya.

Kalau warga juga turut mendukung, pasti terbangun kesetaraan antara warga dan pejabatnya. Apalagi bila semua pihak berkomitmen mewujudkannya, tentu bukan sesuatu yang sulit, karena role model yang dicontohkan Swedia sudah ada dan nyata berujung pada kesejahteraan bersama. (nm)

Iklan
Iklan