Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
HEADLINE

Walhi Nyatakan Kalsel Darurat Ekologi, Kehutan dan ESDM Pemprov Sudah Berupaya Lakukan Ini

×

Walhi Nyatakan Kalsel Darurat Ekologi, Kehutan dan ESDM Pemprov Sudah Berupaya Lakukan Ini

Sebarkan artikel ini
IMG 20250207 WA0009 1 e1738900034440
Para peserta diskusi interatif diselenggarakan SKH Kalimantan Post dengan tema Sumber Daya Alam di Banua Merupakan Berkah atau Petaka Bagi Rakyat. (Kalimantanpost.com/ful)

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Banyak sisi posisi positif maupun dampak yang terungkap
dalam diskusi interatif diselenggarakan SKH Kalimantan Post dengan tema Sumber Daya Alam di Banua Merupakan Berkah atau Petaka Bagi Rakyat.

Berdasarkan rangkuman tim Kalimantan Post dalam diskusikan dengan dipandu Sukhrowadi
Aktivis 98 sekaligus Kepala Divisi Pengembangan Media Kakimantan Post dan pengantar Pemimpin Redaksi Kalimantan Hj Sunarti yang digelar Room Inspiring Ngopi Tradisi Lantai 2 Km 5,7 Banjarmasin, Kamis (6/2/2025) sore beberapa poin penting didapat dari nara sumber dari Walhi Kalsel maupun perwakilan dari Pemerintah Provinsi Kalsel.

Baca Koran

Direktur Walhi Kalsel Raden Septian menilai kondisi Kalsel saat ini bisa dikataksn darurat bencana ekologi. Ini setelah pihaknya melakukan kajian dari seluruh wilayah di Banua yang ada sudah diibebani 51 persen izin perusahaan ekstraktif, pertambangan, perkebunan monokultur skala besar, pengelolaan hutan.

“Belum lagi kasus pengelolaan hutan yang tidak ada izinnya, banyak kasus kami temukan seperti itu.
Kasus SDA yang harusnya diberikan manfaat sebesar-besarnya terhadap rakyat, nyatanya tidak terealisasi seperti seharusnya,” paparnya.

Ditambahkan Raden, banyak kasus-kasus konflik agraria dan konsesi-konsesi lainnya yang terus masuk laporannya ke Walhi.

“Kami mempertanyakan juga kenapa mereka malah mengadu ke Walhi, padahal sudah coba kami arahkan kepada pihak yang berwenang,” tandasnya.

Contoh, lanjut Raden, kasus di PT Julong dan PT Palmina, masyarakat Jejangkit selama tiga tahun tidak bisa menanam karena tercemarnya sumber mata air. Masalahnya di sini perusahaan melakukan pompanisasi limbah sawit yang dibuang ke sungai dan dengan sungai yang tidak lagi bisa menampung pada akhirnya menjadi banjir.

“Hal ini kami nilai bisa terjadi karena kebijakan yang masih longgar. Hadirnya kami di sini untuk mengingatkan agar pemerintah menjalankan pekerjaannya dengan benar, tapi saat kami meminta data saja kami dipersulit, dilempar sana-sini. Pada akhirnya, kami kelelahan memperjuangkan hak hidup masyarakat ini ketika harus bekerjasama dengan pemerintah. Namun, hal inilah yang harus dilakukan,” paparnya.

Contoh lainnya, kata dia, kasus di Rantau Bakula, petani menanam singkong dan pisang yang tanamaannya sudah siap panen, tapi ternyata digusur begitu saja oleh perusahaan. Akibatnya, masyarakat melakukan

“Perlawanan dengan melakukan demonstrasi di jalan desa, lalu mereka dilaporkan oleh perusahaan bahwa mereka mengganggu kerja perusahaan. Padahal aksi masyarakat ini bertujuan untuk memperjuangkan hak hidupnya yang telah direnggut, tapi tidak ada reaksi apapun dari penegak hukum. Berbeda hal jika yang melaporkan dari pihak korporat atau perusahaan, pasti penanganannya cepat dan sangat dimudahkan untuk prosesnya,” ujarnya.

Menurut pandangan Walhi,
sumber daya alam di Kalsel ini terlalu dieskplorasi secara berlebihan yang keuntungannya tidak banyak untuk daerah dan lebih banyak menjadi keuntungan para pengusaha.

“Kami terus mempertanyakan persoalan tersebut. Misalnya saja kami menolak tambang karena dimanfaatkan secara berlebihan, tapi kami juga paham bahwa hal tersebut memang perlu,” tandasnya

Raden pun menyoroti dampak eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam dimana pada tahun 2021 terjadi banjir di 11 Kabupaten /Kota di Kalsel. Banjir ini terulang terus-menerus sampai dengan sekarang. Begitu pula sebaliknya di musim kemarau, terjadi kebakaran.

“Setelah kami amati beberapa tahun kemudian titik lokasi pasca kebakaran tersebut pada akhirnya menjelma menjadi lokasi perkebunan sawit,” jelasnya.

Menurut Raden, banyak dampak yang terjadi akibat SDA yang dieksplorasi berlebihan ini, baik dampak sosial, ekonomi maupun kesehatan masyarakat.

“Kami sudah mencoba survey bahwa penyakit yang banyak terjadi adalah ISPA saat musim kebakaran dan gatal-gatal saat banjir. Kedua, mata pencaharian masyarakat petani dan nelayan turut menyurut karena lahan dan ruang produksinya semakin menipis akibat ulah perusahaan ekstraktif. Ketiga, fenomena ketimpangan ekonomi saat ini sangat terlihat jelas sebab yang kaya semakin kaya dan masyarakat terdampak semakin miskin,” tegasnya.

Baca Juga :  Menteri LH: Pengelolaan Sampah di Tanah Bumbu Dinilai Cukup Baik

Dampak lainnya yaitu terjadinya konflik agraria, yang mana masyarakat adat dan petani terdampak berlawanan langsung dengan korporasi besar untuk memperjuangkan haknya. Saat ini Walhi berharap rekomendasi dan ketangkasan pemerintah atas pengelolaan bencana ini.

Desakan kedua, lanjut dia, izin pengelolaan usaha di bagikan kepada publik, dilakukan transparansi. Kemudian, stop mengeluarkan izin baru. Penegakan hukum yang sesuai terhadap pelaku tindakan kejahatan lingkungan.

“Hentikan solusi palsu perihal energi terbarukan. Lebih rincinya sebagai berikut:
Tanggap Bencana (sebelum, pada saat, dan pasca bencana/pemulihan,” pintanya.

Kesimpulannya, kata Raden, sumber daya alam di Kalsel bisa menjadi berkah jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Namun, tanpa regulasi yang ketat dan pengawasan yang baik, eksploitasi SDA justru menjadi bencana bagi masyarakat dan lingkungan. .

Sementara itu, Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel, Alif Riharto mengungkapkan berbicara sumber daya hutan, sepakat pada dasarnya hutan menjadi berkah bagi semuanya.

“Namun, bisa juga menjadi petaka jika hutan dieksploitasi secara berlebihan dan tidak dikelola secara berkelanjutan. Misalnya ada aktivitas illegal logging, dan lainnya. Dulu ada puluhan HPH, sekarang hanya ada dua HPH. Hal ini mengindikasikan potensi dan kuantitas sumber daya hutan kita semakin menurun dan semakin lama bisa jadi akan habis. Data ini diiringi dengan tumbangnya industri-industri besar hasil hutan, seperti kayu di Banjarmasin,” paparnya.

Sekarang di Dinas Kehutanan Provinsi fokusnya adalah bukan lagi menikmati hasil hutan, tapi berfokus mengenai bagaimana membangun kembali hutan yang memang belum tentu bisa berfungsi prima seperti sedia kala.

“Di sini kami berusaha untuk membangun kembali potensi hutan yang ada. Kedua, di Kalsel dalam kawasan hutannya ada beberapa perizinan yang arahnya memang eksploitasi. Kalau dulu namanya izin pinjam pakai kawasan hutan untuk izin pertambangannya. Dulu Namanya HPH atau HTI, sekarang namanya izin usaha pengelolaan dan pemanfaatan hutan,” ungkapnya.

Kemudian untuk pengelolaannya ada yang namanya perhutanan sosial yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. “Kami dari Dinas Kehutanan Provinsi memang mengakui dalam posisi yang terjepit antara pemda dengan pemerintah pusat, sehingga yang bisa kami lakukan di sini masih mengupayakan untuk melakukan pengawasan dan perbaikan.

Contohnya, lanjut Alif, melakukan rehabilitasi. Kemudian juga melakukan tekanan kepada para pihak yang terlibat dalam izin pemanfaatan kawasan hutan dalam konsesinya.

“Muncul gerakan deforestasi hijau kita ingin upaya ini tidak hanya menjadi upaya pihak kehutanan saja, kita hendak semua pihak, masyarakat, pemerintah, dan korporat dapat bekerjasama semua memperbaiki kualitas lingkungan,” tandasnya

Sebelum, kata Alif, adanya revolusi hijau yang awalnya kemampuan rehabilitasi hanya sekitar 500 hektare per tahunnya karena korporat yang punya kewajiban untuk melaksanakan reklamasi ternyata tidak terlalu mengindahkan kewajibannya. Kemudian, dalam kegiatan rehabilitasi APBD dan APBN masih sangat terbatas.

“Sehingga kami dorong terus upaya reklamasi tersebut. Akhirnya, Alhamdulillah kita bisa menanam 10.000 Ha hutan dalam satu tahunnya,” ungkapnya.

Kesimpulannya, lanjut dia, ditengah ketidakberdayaan pihaknya, masih berusaha membantu melalui rehabilitasi untuk lingkungan mengalami peningkatan.

Terkait Karhutla yang sering menjadi masalah di musim kemarau. Dulu pernah terjadi kebakaran besar di Riam Kanan yang berasal dari masyarakatnya langsung. Jujur, kami sangat sedih ketika terjadi kebakaran, kami sampai tidak tidur 24 jam, tapi yang kami herankan juga pasca kebakaran sudah mulai muncul kavling rumah dan petak sawit. Namun, sampai dengan saat ini hutan lindung masih terjaga. Namun, saat ini ada program perhutanan sosial, yang memungkinkan masyarakat

Baca Juga :  Ribuan Insan Pers Siap Meriahkan HPN 2025 di Kalsel

Alif juga mengungkapkan tidak selamanya hutan dinikmati oleh korporat, masih bisa juga dimanfaatkan oleh masyarakat. “Ketika revolusi hijau saya punya data, bahwa di tahun 2013 lahan kritis di Kalsel 641.580 hektare., Kemudian di tahun 2018 turun menjadi 511.594Ha, turun lagi menjadi 458.478 Ha di tahun 2022. Ini menjadi bukti bahwa kami menghendaki turunnya kehadiran lahan kritis ini,” ucapnya.

Lalu, Kabid Pertambangan Dinas ESDM Provinsi Kalsel Gayatrie AF mengatakan
sumber daya alam bisa dikatakan berkah bagi yang merasa diuntungkan dan petaka bagi pihak yang terdampak.

Berdasarkan UU Minerba No.3 Tahun 2020 mengatakan
kewenangan semua diambil oleh pusat, daerah tidak punya hak lagi. “Kemudian di tahun 2022 kita diberikan arahan teknis Perpres no.55 tahun 2022, namun daerah hanya diberikan kewenangan pada mineral bukan logam dan batuan. Itu pun terbatas hanya pada rekomendasi penerbitan izin, untuk pengawasan tetap dilakukan oleh pusat,” ucapnya.

Nah, saat kewenangan Kabupaten/Kota diberikan kepada provinsi, lanjut dia, jaminan reklamasi meningkat mulai dari 100 miliar menjadi 600 miliar. “Ini upaya yang kami lakukan saat masih memiliki kewenangan. Sebelum ditarik oleh pusat, beberapa PKP2B dan IUP besar sudah melakukan reklamasi dan arahan terhadap ESDM.

Pihaknya juga menekankan kepada seluruh IUP Batubara maupun mineral dan logam untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan menjadikan kesejahteraan hidup masyarakat.

“Adanya pertambangan berkontribusi dalam peningkatan indeks pembangunan manusianya yang awalnya 74,66 persen di tahun 2023 naik menjadi 83,19 persen di tahun 2024. Artinya dampak positif masyarakat terhadap kehadiran tambang ini masih terasa karena indeks pembangunan manusia di atas 70 persen itu sudah bagus sekali. Ini.berarti kualitas manusianya di sini makin meningkatlah, terutama dari segi ekonominya,” ungkapnya.

Terkait tambang, lanjut Gayatrie, pihaknya selalu melakukan pelaporan terhadap Dirjen Minerba dan mengusahakan upaya-upaya agar hal-hal seperti itu diminimalisir di wilayah Kalsel.

“Dampak positif, roda perekonomian masyarakat meningkat. Saat ini ESDM dilibatkan dalam rekonsiliasi 20 persen dari total seluruh APBD adalah dari pertambangan. Jadi, kalau dipertanyakan masalah manfaat tambang terhadap ekonomi kita, rasanya hal ini sudah menjawab,” paparnya.

Terkait dampak negative dana reklamasi, pihaknya berharap mereka mematuhi. “Kami selalu menuntut kepada IUP untuk menunaikan kewajibannya. Kami hanya bisa berkoordinasi dan kami selalu menyediakan diri untuk membantu masalah mereka. Kalau terjadi penggusuran, kita harus melihat lebih dalam lagi untuk sebab muasal masalahnya. Kita harus melihat lagi untuk regulasi Tata Ruang Daerah/ Tata Ruang Wilayah,” pungkasnya.

Diskusi yang berlangsung cukup menarik dan santai tersebut dihadiri tokoh Banua seperti pakar Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Moh Effendi, Ketua FKUP Kalsel Ilham Masykur, Direktur Walhi Kalsel Raden Septian, advokad Nita Rosita dan Nita Rosita dari Borneo LAW Firm, wartawan Nanik Hayati, Adi Jayadi dan Satria Bima dan BEM ULM, BEM STIHSA.

Lalu, dari pemerintahan dihadiri Kabid PPAS RHL Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel Alif Widodo, Kabid Pertambangan Dinas ESDM Provinsi Kalsel Gayatrie AF dan lain-lain.(ful/KPO-3)

Iklan
Iklan