oleh: Noorhalis Majid
GUGUT itu menggigit dengan gigi depan, biasanya sambil ditarik. Orang Banjar sangat biasa manggugut hampalam. Pengalaman masa kecil, hampalam tidak dimakan dengan cara dikupas, tapi justru digugut. Seperti ada rasa puas dan tuntas kalau makan hampalam dengan cara digugut. Saat manggugut tersebut, tekstur dan rasa hampalam dinikmati begitu lekat, karena gigi, bibir, dan lidah, semuanya berperan dalam manggugut.
Menggugut, bukan tentang berapa banyak yang dimakan dan ditelan, tapi seberapa lekat semuanya dinikmati dan rasakan.
Pun begitu dalam soal sampah, rasanya warga sudah seperti “menggugut” sampah, sebab semuanya, entah manis, asam, kecut, tengik, busuk, dirasakan dengan selekat dan segetirnya. Sampah meluber dan menggunung, mengganggu semuanya tanpa kecuali.
Jangan kira warga tidak berpartisipasi. Jangan tuduh warga tidak suka kebersihan. Harus ingat, warga membayar dalam pengelolaan sampah. Selain retribusi yang melekat pada pembayaran PDAM, mesti pula membayar pada petugas di lingkungan masing-masing, bahkan jumlahnya sangat besar. Di sejumlah komplek perumahan, berkisar antara Rp.20.000 hingga Rp.50.000, bahkan ada yang Rp.100.000,-. Tentu sudah menciptakan lapangan pekerjaan yang tidak mungkin dihadirkan pemerintah.
Sudahkah ada yang menghitung, berapa kontribusi warga dalam pengelolaan sampah, termasuk pembayaran di lingkungan masing-masing?. Benarkah semua dana yang dihimpun dicurahkan sepenuhnya untuk menangani sampah? Apakah pemerintah juga “menggugut” sampah dengan selekatnya, sehingga menjadikannya skala prioritas?
Kabarnya, seluruh pembayaran retribusi sampah seluruh warga, totalnya mencapai 14 milyar pertahun. Sementara, biaya yang dikeluarkan untuk menangani sampah, lebih dari 100 milyar. Mulai dari honor pasukan kuning, pahlawan penyapu jalan yang jumlahnya tidak kurang dari 3 ribu personil, armada angkutan sampah dan seluruh operasionalnya, honor para petugas dan pengolah sampah, dan berbagai biaya terkait lainnya.
Tentu pembiayaan yang jumlahnya ratusan milyar tersebut juga berasal dari warga, terutama bersumber dari berbagai jenis pajak yang menjadi pendapatan pemerintah. Harapannya, dengan biaya yang sangat besar tersebut, kota menjadi bersih dan kesadaran warga dibangun sedemikian rupa untuk mendukungnya. Namun yang nampak, pengelolaannya justru masih konvensional. Sampah ditumpuk, tidak ada proses yang memadai untuk mengubahnya menjadi potensi pendapatan.
Karena dirasa kurang serius, dan tidak menempatkan kelola sampah sebagai skala prioritas, maka wajar bila warga menggugat. Lahirlah kemudian gugatan warga yang banyak disalahmaknai oleh sebagian orang yang “ragap papan” terhadap pemerintah, dan melihat gugatan warga secara sinis.
Harus dimengerti, menggugat bertujuan mengingatkan peran dan tugas pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan. Apapun yang terjadi, pelayanan tidak boleh terhenti. Karena keberadaan pemerintah, justru untuk memberikan pelayanan.
Hirarki pemerintahan, mestinya seperti satu tubuh yang saling menguatkan dan menyokong pelayanan. Untuk apa sanksi KLH, kalau justru melemahkan pemerintah kota? Kenapa pula pemerintah provinsi tega membiarkan pemerintah kota berjibaku mengatasi dampak dari sanksi yang tanpa solusi? Kenapa pemerintah provinsi tidak tergerak untuk turut membantu? Pun kenapa pemerintah provinsi dan kota sangat lamban dalam mengatasi masalah, sehingga berdampak pada kesehatan, pendidikan, budaya, dan citra baik warga kota? Rasanya aksi yang dilakukan, tidak semasif konten pencitraan yang diproduksi.
Kecuali bila sanksi KLH tersebut bagian dari skenario besar untuk “manjurak” APBN, sehingga setelah sanksi diberikan, baru kemudian dibina, didampingi, diasistensi. Atas semua program pembinaan tersebut, setelahnya dibutuhkan dana program yang tidak sedikit. Boleh jadi akan ada sejumlah proyek untuk menjadikan TPA Basirih menjadi lebih bagus. Atau mungkin pula, akan ada TPA baru lainnya, yang dikelola secara modern, dan semua itu membutuhkan dana dari berbagai departeman pemertintahan, yang nilainya tidak sedikit. Kalau benar itu bagian dari skenario besar “manjurak” APBN, maka warga hanya dapat menyaksikan, karena tentu merupakan permainan tingkat tinggi, yang tidak mudah dibaca secara sederhana.
Menggugat, adalah bentuk partisipasi warga tentang ruang publik yang harus dibangun seimbang antara pemerintah, dunia usaha dan warga yang peduli. Tentu saja tidak mudah bagi warga untuk mau menggugat. Butuh kesadaran, keberanian dan komitmen, karena dibalik gugatan, ada pendidikan, edukasi dan literasi, tentang hak warga dalam bernegara.
Jangan anggap gugatan sebagai satu sikap ketidak sukaan pada pemerintah. Justru hal tersebut bagian dari perhatian pada pemerintah. Jangan pula kemudian diplintir, logikannya dibolak-balik balik, sehingga pengelolaan sampah yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, dibuat menjadi sumir, seolah tanggung jawab bersama, dan kalau pemerintah nampak tidak bekerja dengan serius, maka kesalahan dapat ditimpakan sesukanya kepada warga, sebagai bagian dari pihak yang juga harus bertanggung jawab.
Kalau pun gugatan sudah dilayangkan, belum tentu menjadi persoalan hukum, belum tentu menjadi perkara yang berproses di pengadilan. Karena pemahaman hakim tentang substansi gugatan, sebagai satu bentuk kepedulian warga, bisa saja tidak satu frekuensi. Sehingga gugatan disanggap tidak memenuhi unsur, atau bahkan tidak tepat sasaran. Apalagi ketika sistem peradilan kita, tidak familiar terhadap bentuk gugatan warga.
Berbeda kondisinya dengan sejumlah negara yang sangat terbiasa dengan gugatan warga. Gugatan seperti ini akan sangat dihargai, karena negara bertindak sebagai pengguna pajak yang harus mempertanggungjawabkan semua tindakannya kepada warga, dan pada saat warga menggugat, maka hukum berposisi secara netral, imparsial, dan memberikan keleluasaan kepada warga.
Di tempat kita, menggugat pemerintah, seperti meludah ke atas. Akibat dan dampaknya akan terkena kepada si penggugat itu sendiri. Penggugat justru akan disalahkan, karena semua tanggungjawab pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada warga, dibuat sumir dan kabur, sehingga pada saat warga menuntut, hukum justru resisten, dan bahkan pasang kuda-kuda membela pemerintah. Apalagi ketika aparat penegak hukum, termasuk Kepala pengadilan, bagian dari Forkopimda, yang kuat dan mesra sekali hubungannya dengan pemerintah. (nm)