Oleh : Fitriyani
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Indonesia darurat kekerasan seksual, rasanya ungkapan ini cocok untuk menggambarkan kondisi Indonesia hari ini. Kekerasan seksual di Indonesia semakin hari semakin menjadi-jadi. Korban yang menjadi sasaran berasal dari berbagai latar belakang mulai dari anak di bawah umur, santri, mahasiswi hingga pasien rumah di rumah sakit, polisi memperkosa tahanan. Bahkan ada ayah dan kakek menodai anak kandung mereka sendiri.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPPPAKB) Kalsel menunjukkan, hingga 10 April 2025 tercatat 63 kasus kekerasan seksual menimpa anak dan perempuan. Total ada 204 korban kekerasan, terdiri atas 85 korban kekerasan psikis dan 48 korban kekerasan fisik. Bahkan, Ombudsman RI mencatat, dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 300 kasus.
Secara nasional, hingga April 2025, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) ada 5.949 kasus kekerasan pada perempuan, 15 di antaranya kekerasan seksual. Data Polri lebih rinci menyebut, sampai April 2025, ada 153 kasus kekerasan seksual dan pornografi dengan 354 korban serta 390 pelaku. (BANJARMASINPOST.CO.ID -)
Mengapa ini terjadi?
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ini, sosialisasi dilakukan diberbagai instansi dan banyaknya undang-undang tapi tidak mampu menjadi solusi. Pemerintah sudah membentuk jabatan dan lembaga yang mengurusi perempuan, termasuk ada Komnas Perlindungan Perempuan. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ada UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ada UU Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Poronografi, PERPPU Kebiri, KUHP. Lalu mengapa perempuan dan anak -anak malah makin tidak aman?
Karena negara saat ini gagal dalam dua hal, yakni :
Pertama, mencegah. Stimulan berupa pornografi, perilaku seks bebas hedonis, peredaran narkoba, miras dll tumbuh subur dan telah merusak iman, pikir dan mental masyarakat. Konten pornografi membanjiri masyarakat. Dari tahun 2005 Indonesia masuk 10 besar negara pengakses situs porno di dunia. Padahal konten pornografi ini sudah terbukti menjadi pemicu perilaku seks bebas seperti perzinaan dan kekerasan seksual.
Di sisi lain, masyarakat makin permisif. Interaksi bebas antara pria dan wanita sudah dianggap normal. Selain membuka peluang perzinaan, hal ini juga memberikan celah bagi terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan. Selain itu, disadari atau tidak, kaum perempuan sudah lama dieksploitasi seperti melalui kontes kecantikan, modeling, dsb. Ini juga menjadikan perempuan dicitrakan sebagai pelampiasan hawa nafsu lelaki.
Kedua, menindak. Penegakan hukum justru gagal melindungi kaum perempuan dan anak-anak. Setengah hati menjatuhkan hukuman dan sanksi yang tidak menimbulkan efek jera/pelaku tidak mendapat hukuman maksimal, bahkan tidak sedikit kasusnya tidak diselesaikan secara hukum, melainkan hanya dengan jalan damai/kekeluargaan, tanpa mempertimbangkan trauma korban.
Biang Keladi
Berbagai regulasi yang ada ternyata belum cukup efektif dalam menangkal masalah kekerasan seksual ini. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam mengidentifikasi akar permasalahan, sehingga aturan yang berlaku gagal memberikan solusi terhadap maraknya kasus pelecehan seksual yang semakin memprihatinkan.
Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan kepada generasi dan masyarakat sejatinya bersumber pada paradigma sekuler kapitalisme. Kehidupan sekuler kapitalisme yang serba bebas menjadikan aspek apapun menjadi komoditas yang dapat menghasilkan materi, tanpa melihat halal haram. Sistem kapitalisme sekuler mengembangbiakkan kebebasan tanpa batas. Alhasil, tayangan, film, dan kesenangan yang berbau sensual dapat dengan mudah diakses siapa saja.
Keterbukaan akses terhadap konten-konten bermuatan seksual inilah yang menjadi salah satu pemicu maraknya pelecehan seksual. Tidak jarang, kasus-kasus kekerasan seksual terjadi lantaran pelaku terangsang setelah menonton video atau tayangan porno. Sistem kapitalisme sekuler telah mendorong pemenuhan syahwat secara liar dan haram. Akibatnya, masyarakat kehilangan perisai iman dan agama yang seharusnya mencegah mereka berbuat maksiat.
Kondisi buruk ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan sekuler kapitalisme dalam melahirkan insan beriman yang terjaga dari maksiat dan perbuatan buruk. Sistem ini justru mendegradasi kepribadian mulia yang seharusnya dimiliki individu. Akibatnya, lahirlah manusia-manusia kejam, tega, dan sadis yang melakukan kejahatan, kekerasan, dan pelecehan seksual, baik di dunia nyata maupun maya.
Fakta ini semestinya membuka kesadaran kita akan pentingnya peran vital negara dalam membangun literasi digital kepada masyarakat. Pendidikan literasi digital mencakup pemahaman tentang pemanfaatan teknologi dan informasi digital yang benar dan tepat, yakni tidak melanggar aturan agama (Islam), berkontribusi positif dalam menyebarkan informasi yang benar, menjauhkan diri dari konten-konten maksiat, dan mampu menjadi warga digital yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia.
Sayang, peran tersebut tidak berjalan secara optimal karena pengaruh paradigma sekuler kapitalisme dalam sistem pendidikan kita hari ini. Negara hanya bertindak sebagai penyelenggara pendidikan dengan peran minimalis dan seadanya. Bahkan, pendidikan dikembalikan pada masing-masing individu atau orang tua.
Solusi Islam
Seluruh narasi dalam rangka menanggulangi kekerasan seksual jelas mustahil lahir dari sistem yang sama-sama liberal, sebagaimana sistem yang menumbuhsuburkan tindakan bejat itu. Sebaliknya, kita membutuhkan sistem yang memiliki standar halal-haram yang hakiki. Itulah sistem sahih, sistem Islam. Islam memberikan solusi komprehensif untuk menanggulangi kekerasan seksual :
- Negara menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam. Di antara ketentuan Islam dalam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ialah: a. kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i; b. larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan);c. larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja;
- Negara menyaring dengan standar syari’at seluruh konten media yang berdampak negatif bagi warga masyarakat dan generasi. Seperti konten pornografi, kekerasan, mengajak bermaksiat dan lainnya.
- Negara menerapkan hukum pidana Islam yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan kadar kejahatannya menurut pandangan syariat.
- Negara menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, kurikulum, media belajar, dan proses pembelajaran akan mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, saling menasihati dalam kebaikan, dan saling mengingatkan satu sama lain.
Dengan perlindungan berlapis seperti ini, upaya pencegahan akan berjalan efektif. Jika upaya preventif sudah dilakukan tetapi masih terjadi pelanggaran, maka tindakan kuratif, yakni sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera sekaligus penebus dosa bagi pelaku kejahatan.