Oleh : AHMAD BARJIE B
Di sebuah jalan raya saya melihat baliho Walikota Banjarmasin H Muhammad Yamin HR, bertuliskan “Waktu mahasiswa penuh mimpi, sekarang jadi walikota penuh aksi”.
Kalau saya boleh menggarisbawahi arti semboyan ini, ketika kita menjadi mahasiswa, kita boleh bermimpi dan bercita-cita apa saja. Memang dunia mahasiswa penuh idealisme, penuh mimpi. Setelah sarjana, ada yang tetap sekadar bermimpi dan berkhayal, dan ada pula yang berusaha merealisasikan agar mimpi itu menjadi kenyataan.
Muhammad Yamin, adalah satu dari sedikit orang yang berusaha mewujudkan mimpinya. Walaupun ayahnya seorang pengusaha, agaknya Yamin memilih dunia politik sebagai ladang pengabdian dan ibadah. Karena berpolitik secara benar hakikatnya juga ibadah mahdhah untuk orang banyak. Ia terjun ke dunia politik, menjadi politisi, menjadi anggota DPRD Kota Banjarmasin. Selanjutnya merangkul partai, berkoalisasi untuk mencalonkan diri. Dia juga proaktif merangkul masyarakat agar mendapatkan dukungan. Termasuk kalangan agama, pemuda, ibu-ibu dan sebagainya, banyak memberi dukungan.
Menurut Yamin saat memberi sambutan Halal Bihalal di rumah Ketua JATMAN Kalsel Drs KH Syakerani Nasri, ketika ayahnya hidup sudah ada obsesi untuk menjadi walikota, namun ia dan ayahnya meminta nasihat ulama lebih dahulu, dan kelihatannya belum direstui untuk maju periode itu. Kali ini ia maju dan berhasil, walaupun ayahnya, H Rusliansyah sudah meninggal dunia, beberapa bulan sebelum Yamin terpilih menjadi walikota.
Menjadi walikota merupakan awal pengabdian sebagai pejabat atau pemimpin eksekutif, menjadi orang nomor satu di Kota Banjarmasin bersama dengan Dr Ananda, yang juga berasal dari legislatif. Banjarmasin adalah kota besar yang prospektif dan menantang, banyak masalah tapi banyak pula peluang. Dilihat dari analisis SWOT, ada kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan. Ini adalah kesempatan untuk meneruskan dan melanjutkan keberhasilan pembangunan yang sudah ada, mengatasi masalah-masalah yang terjadi, dan melahirkan gagasan-gagasan baru pembangunan yang belum ada. Artinya, agenda-agenda pembangunan menunggu aksinya, sehingga manfaatnya dirasakan masyarakat banyak. Termasuk aksi mengatasi masalah sampah yang begitu menguras energi dan pikirannya di bulan-bulan pertama sesudah terpilih. Yamin mengatakan, hari raya lalu ia harus berhari raya di rumah sakit. Mungkin disebabkan kelelahan karena tiap hari, saat berbuka puasa dan sahur, ia harus bersafari dari masjid ke masjid.
Narasi di atas menunjukkan pentingnya sebuah cita-cita, yang diwujudkan dengan usaha. Bung Karno berkata “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”. Ada pula ungkapan, “Bercita-citalah setinggi lagit, tapi jangan lupa berpijak di bumi”.
Intinya, tidak salahnya kita bercita-cita tinggi. Masa bermimpi dan bercita-cita saja tidak boleh. Kebanyakan orang besar dan berhasil, biasanya didahului dengan suatu cita-cita, suatu obsesi yang luhur. Bung Karno mencita-citakan Indonesia merdeka sejak ia jadi mahasiswa ITB, di tahun 1920-an. Itu sebabnya ia banyak aktif di dunia pergerakan, organisasi kepemudaan, dan juga menulis, guna melahirkan gagasan-gagasannya, dan supaya gagasannya itu dibaca banyak orang. Walaupun ia harus masuk keluar penjara dan dibuang Belanda berkali-kali.
Kala itu Indonesia sudah mapan sebagai negeri terjajah. Melalui politik etis (politik balas budi), yang diberlakukan di awal abad XX, Belanda berusaha berbaik-baik dengan pribumi. Ada badan semacam DPR untuk menampung aspirasi pribumi. Ada anggaran untuk membantu sekolah-sekolah pribumi walaupun kecil. Sejumlah orang dibolehkan sekolah, bahkan hingga ke negeri Belanda dan diberi beasiswa. Belanda juga membangun jalan, jembatan dan gedung yang kuat-kuat, melebihi kekuatan bangunan sesudah merdeka. Belanda juga menata kota, sungai, lingkungan hidup dan sebagainya.
Banyak rakyat pribumi (inlander) terutama elitnya sudah merasa enak dan mustahil merdeka. Lagi pula Belanda sebagai penjajah suka meremehkan dan menakut-nakuti orang yang mau merdeka. Menurut alm Lambran Ladjim (1926-2011) seorang pejuang dan saksi sejarah, Ketua Paguyuban Palagan Negara di Banjarmasin, Belanda ketika itu sering mengatakan: berapa punya orang pintar, berapa punya uang, berapa punya senjata, sudah pandaikah membuat benang dll, kok berani-beraninya mau merdeka. Serahkan saja pada Belanda yang pandai mengelola negara….”.
Tapi para pendiri negara kita adalah orang-orang idealis, orang-orang yang bercita-cita mulia. Mereka gigih dan militan, mereka berjuang di ranah pergerakan, pendidikan maupun perang fisik, mereka bersatu tekad untuk merdeka. Bung Karno menekankan, untuk merdeka, tidak perlu menunggu banyak orang pintar, uang dan senjata, yang penting merdeka dulu. Karena kemerdekaan itu merupakan jembatan emas untuk mewujudkan cita-cita, menjadi bangsa yang maju dan sejahtera secara secara adil dan merata. Akhirnya kemerdekaan itu terwujud. Namun kesejahteraan dan keadilan belum merata. Tugas pemimpin yang ada sekarang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang diinginkan para pejuang pendiri bangsa.