Oleh : H AHDIAT GAZALI RAHMAN
Asal kata “marah” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dan sebagainya), berang, atau gusar. Secara singkat, marah adalah perasaan tidak senang yang kuat karena suatu situasi atau perlakuan. Sedangkan menurut Islam, marah (ghadab) adalah suatu perasaan tidak senang, bisa karena diperlakukan tidak benar atau karena sesuatu yang membuat kita tersinggung. Marah juga diumpamakan sebagai api dari setan yang bisa menimbulkan kebencian dan gejolak darah. Islam tidak melarang manusia untuk marah, tetapi menekankan pentingnya mengendalikan dan menahan amarah Marah ialah emosi yang ditandai oleh pertentangan terhadap seseorang atau perasaan setelah diperlakukan tidak benar. Kemarahan membantu kita memahami bahwa kita merasa dirugikan dan memberi dorongan untuk bertindak atau memperbaiki keadaan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki emosi di dalam dirinya. Ada banyak jenis emosi yang bisa mempengaruhi bagaimana cara manusia menjalani hidupnya dan berinteraksi dengan orang lain. Tak jarang, manusia seringkali dikuasai oleh emosinya sendiri, padahal seharusnya manusia lah yang mengontrol emosi-emosi tersebut. Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia, mulai dari pilihan yang kita buat, tindakan yang kita ambil dan semua persepsi yang kita miliki terhadap sesuatu.Ranah psikologi menjelaskan ada enam jenis emosi dasar yang ada pada manusia. Emosi gembira, sedih, takut, muak atau jijik, terkejut, dan marah. Tidak hanya di dalam dunia ilmu pengetahuan, emosi juga sudah tercantum di dalam kitab suci umat Islam. “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, “Wahai anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim.” (QS. Al A’raf : 150).
Marah bisa ditandai dengan perubahan emosional yang menimbulkan pe nyerangan dan penyiksaan, yang bertujuan untuk melampiaskan dan mengobati perasaan tidak nyaman dalam hati. Menurut pendapat ahli sosiologi, marah itu terbagi dua, yakni : (1). Marah sebagai Perasaan. adalah suatu perasaan tidak senang atau emosi negatif yang muncul ketika seseorang merasa dirugikan, diperlakukan tidak adil, atau tersinggung oleh sesuatu; (2). Marah sebagai api dari setan, diumpamakan sebagai api dari setan, yang dapat mengobarkan kebencian dan menyebabkan gejolak darah.
Islam tidak melarang marah, tetapi menekankan pentingnya mengendalikan dan menahan amarah Orang yang mampu mengendalikan amarahnya dianggap lebih kuat daripada orang yang menang dalam perkelahian. Amarah yang tidak terkontrol bisa menyebabkan tindakan merusak, anarkis, atau bahkan saling bunuh.
Dalam Islam, ada beberapa cara untuk mengendalikan amarah, di antaranya:
a. Berwudhu. Ketika marah, disarankan untuk berwudhu karena air wudhu dapat memadamkan api amarah; b. Menahan diri. Menahan amarah adalah keutamaan yang sangat dianjurkan dalam Islam; c. Memaafkan. Memaafkan kesalahan orang lain juga merupakan cara untuk meredam amarah; d. Mengikuti sunnah Rasulullah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula, maka berbaringlah.” (Abu Daud); d. Menghindari perdebatan. Jika merasa akan marah, disarankan untuk menghindari perdebatan atau situasi yang memicu amarah.
Sebagai manusia umumnya, dan umat Islam khususnya, sangat dianjurkan untuk tidak menjadi “pemarah”, karena sifat pemarah ini sangat dibenci oleh agama dan manusia lainya, orang pemerah terkadang dalam kehdiupan mengutamakan kepentingan pribadi, menghindari kepentingan bersama, yang perhitungannya adalah kepentingan pribadinya, yang akhirnya bisa melahirkan sifat egoisme.