oleh: Noorhalis Majid
REKOS, merupakan peristilahan dalam perkuliahan, yaitu proses mengulang mata kuliah, disebabkan nilai yang telah didapat pada ujian tidak memenuhi standar, alias rendah, tidak cukup mencapai nilai kelulusan.
PSU Banjarbaru, merupakan “rekos” Pilkada. Ada tiga hal paling substantif dalam Pilkada yang dinilai tidak lulus, sehingga terpaksa harus diulang, yaitu nilai kebebasan, nilai keadilan dan nilai kejujuran.
MK dan begitu juga dengan DKPP, menyatakan bahwa Pilkada yang telah dilakukan dengan calon tunggal tanpa menghadirkan kolom kosong, sangat tidak bebas dan tidak adil, publik pun ikut memberikan penilaian, bahwa Pilkadanya juga tidak jujur.
Layaknya “rekos”, standar yang diberlakukan mestinya tambah tinggi. Dalam perkuliahan, apabila ada mahasiswa yang merekos, sudah menjadi pengetahuan umum nilainya tidak mungkin A. Paling tinggi hanya B. Nilai A hanya boleh didapat pada kesempatan pertama, bukan kesempatan kedua. Hal ini menggambarkan, standar bagi yang merekos, lebih tinggi dari ujian sebelumnya. Bahkan soal dan tata cara ujiannya lebih ketat.
Rekos adalah kesempatan yang diberikan untuk memperbaiki, bukan untuk mengulang kesalahan.
Point penting yang harus diperbaiki dan tidak boleh terulang dalam PSU Banjarbaru adalah hilangnya kebebasan, keadilan dan kejujuran. Standar terhadap tiga nilai tersebut tentu diberlakukan lebih tinggi, lebih ketat, karenanya diawasi banyak pihak.
Apabila kesalahan yang sama justru diulang dan bahkan lebih massif, sanksi yang diberikan pasti lebih tegas. Mungkin saja sanksinya pembatalan atau pencoretan kepesertaan, atau bila pengulangan kesalahan dilakukan oleh penyelenggara, sanksinya pemberhentian.
Sambil menyaksikan sidang MK dan DKPP kembali bergulir, publik tentu dapat menilai dengan akal sehat dan hati nuraninya, apakah PSU kemaren sudah bebas, sudah adil dan sudah jujur?
Kalau praktinya memang banyak kecurangan, berarti tidak jujur. Kalau ada yang dihalang-halangi, dikriminalkan dan diintimidasi, berarti tidak bebas. Dan kalau ada perlakuan diskriminatif, memanipulasi jabatan dan kedudukan yang mestinya netral namun faktanya berpihak, berarti tidak adil.
Harus diingat, substansi PSU yang diulang tersebut menyangkut nilai “mahkota” Pilkada, yaitu kebebasan, keadilan dan kejujuran. Dan karena “rekos”, standar penilainnya lebih tinggi dari sebelumnya.
Tidak mudah mewujudkan standar Pilkada yang tinggi tersebut, perlu upaya sungguh-sungguh semua pihak, kerja keras pegiat dan pejuang demokrasi yang pantang menyerah, walau penuh tekanan.
Perempuan Pejuang Demokrasi
Di era sekarang, dimana politik sudah semakin busuk, Pemilu dan Pilkada curang dianggap lajim, bila ada yang memperjuangkan supaya kembali sebagaimana amanat UU, agar berlangsung bebas, jujur dan adil, maka pejuang tersebut dianggap kurang kerjaan.
Karena dianggap kurang kerjaan, mungkin ada yang menertawakan. Hal yang terjadi dengan Syarifah Hayana, justru lebih tragis. Maksud hati ingin mewujudkan Pilkada yang jujur dan adil, malah ditekan sedemikian rupa. Perempuan pemberani tersebut mengalami intimidasi dan bahkan kriminalisasi.
Padahal perempuan, yang merupakan ibu rumah tangga tersebut, telah berjuang pada ranah yang tidak biasa, yaitu demokrasi. Sedikit sekali perempuan mau menceburkan diri pada wilayah yang keras seperti ini. Dia melakukan pemantauan pada 403 TPS, hingga proses rekapitulasi di Kelurahan, Kecamatan, Kota Banjarbaru dan sekarang memperjuangkannya di MK.
Perempuan ini berjuang, karena menginginkan lahirnya pemimpin yang benar-benar amanah, melalui Pilkada yang demokratis. Bukan demokrasi palsu, sekedar diucapkan, namun praktiknya dimanipulasi sedemikian rupa. Demokrasi “sahibar” prosedural, substansinya justru membunuh demokrasi, karena tidak jujur, tidak bebas, dan tidak adil.
Perempuan yang menghibahkan tenaga, pikiran, perhatian, bahkan uangnya sendiri. Bukannya mendapat apresiasi, tapi justru mengalami tekanan demi tekanan.
Dia didesak agar mencabut laporan di MK. Perjuangannya ditekan melalui surat yang ditanda tangani semua Forkopimda. Rasanya, belum ada orang yang mengalami seperti itu, disurati dengan surat berlogo lambang garuda emas, dan ditanda tangani bersama seluruh pimpinan daerah.
Penyelenggara Pilkada, yaitu KPU Provinsi, tiba-tiba mencabut akreditasi pemantaunya. Belum sampai di situ, dia dilaporkan ke Polisi, ditetapkan sebagai tersangka. Karena berstatus sebagai tersangka, aparat sigap memanggil, mendesaknya hadir dimintai keterangan. Desakan, tekanan dan intimidasi tersebut, dialaminya seorang diri.
Dia berkata dengan tegar, “saya tidak takut pada tekanan, saya siap menghibahkan diri untuk suatu perjuangan mulia, demi lahirnya pemimpin yang amanah”. Dia hanya khawatir pada keluarganya, pada anak-anaknya yang terpaksa berhenti sekolah dan harus diungsikan karena takut ikut mengalami tekanan.
Di tengah ribuan pemilih yang tidak merasa berdosa telah menerima suap dalam Pilkada, dia justru berdiri tegak memperjuangkan Pilkada yang jujur dan adil. Hal yang sangat langka bagi seorang perempuan.
Mestinya, seluruh pihak yang mengaku memperjuangkan demokrasi, terutama perempuan, berada di barisan Syarifah Hayana, dialah perempuan pejuang demokrasi tersebut, yang menolak bungkam, tidak takut apapun, mesti penuh tekanan dan intimidasi.
Kalau tidak bisa ikut serta dalam barisannya, minimal mendukungnya dalam bentuk tulisan, pernyataan, atau sekedar memberi semangat. Lagi-lagi, memperjuangan demokrasi di era sekarang, apalagi dilakukan oleh seorang perempuan, sangatlah tidak mudah. Tidak jarang penghambatnya justru orang-orang yang mengaku sangat paham demokrasi, tapi terbeli atau sengaja menjual idealisme, mengabdi pada pihak yang memanipulasi demokrasi untuk tujuan kekuasaan.
PSU Banjarbaru, sebagai bagian “rekos Pilkada”, layak menjadi pembelajaran berharga. Segala dinamika yang ditimbulkan, menyimpan pembelajaran yang sangat kaya, agar tidak terulang dikemudian hari.
Sebaliknya, bila tidak mampu menjadi pembelajaran, segala trik dan intrik kecurangan, berpotensi diduplikasi di tempat lain. Kalau demikian, berarti Banjarbaru menjadi inspirasi pembusukan demokrasi yang semakin masif, semoga tidak terjadi. (nm)