Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Pendidikan
Pemerintah Presiden Prabowo Subianto tergolong banyak punya gagasan besar dalam pembangunan lima tahun berjalan ke depan, termasuk di bidang pendidikan. Belum lama ini pemerintah melalui Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan Tinggi berencana membangun Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda. Sekolah Rakyat (SR) adalah program pendidikan berasrama (boarding school) untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu. Di 2025 ini sebanyak 200 SR akan dibangun dengan kapasitas 1.000 orang siswa persekolah, dari jenjang SD, SMP sampai SMA, dengan anggaran Rp100 miliar untuk biaya operasionalnya.
Adapun Sekolah Garuda (SG) merupakan program pendidikan unggulan tingkat SMA yang khusus diperuntukkan bagi siswa berprestasi. Tujuannya untuk mempercepat talenta unggulan Indonesia di bidang sains dan teknologi, sehingga lulusannya mampu bersaing di era dan tingkat global. Rencananya di 2025 dibangun 20 SMA SG dan 20 SMA lainnya ditingkatkan statusnya menjadi SG dari SMA reguler yang sudah ada. (BPost, 16 April 2025).
Sejauh ini belum diketahui persis respon dunia pendidikan terhadap gagasan ini. Provinsi Kalimantan Tengah mengaku tegak lurus saja dengan pemerintah pusat, dengan merespon positif program ini. Empat kabupaten di provinsi ini yakni Kabupaten Katingan, Gunung Mas, Kapuas dan Pulang Pisau sudah meminta SR, sedangkan di kabupaten-kota lainya, masih dalam tahap verifikasi dan koordinasi. (Kalimantan Post, 16 April).
Kalimantan Selatan, menurut pantauan Komisi X DPR RI yang membidangi Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kunjungan reses ke Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Kalimantan Selatan di Banjarbaru 9 April 2025 lalu menyatakan, selama ini partisipasi pendidikan SD hingga SMA di Kalsel agak rendah, sedangkan untuk pendidikan PAUD sudah tinggi. Pertanyaannya, apakah hal ini harus diatasi dengan pembangunan SR, atau pendekatan lainnya.
Bila kita amati rata-rata anak remaja yang putus sekolah SD, SMP hingga SMA sederajat, selain karena yang bersangkutan malas dan tidak mau sekolah, lebih banyak karena membantu orangtuanya bekerja, atau bahkan menjadi tulang punggung keluarganya. Karena orangtuanya bercerai atau meninggal dunia, mereka terpaksa meninggalkan bangku sekolah, lalu bekerja apa saja guna menghidupi keluarganya.
Hal ini dapat dikonfirmasi dari banyaknya anak remaja putus sekolah yang bekerja di sektor informal seperti menjadi petani, peternak, buruh, tukang, nelayan, berjualan di pasar, dan sebagainya. Mereka ini bila ditanya, dengan gampang menjawab bahwa mereka tidak sekolah lagi karena tidak ada biaya dan membantu orangtua bekerja. Walaupun banyak sekolah gratis, namun untuk sekolah tetap perlu biaya, seperti untuk pakaian, sepeda/kendaraan, belanja sehari-hari, dan lain-lain.
Agar mereka ini dapat sekolah lagi, minimal sampai jenjang SMA, jelas solusinya bukan sekolah berasrama seperti SR, dengan konsekuensi mereka meninggalkan keluarganya. Yang lebih masuk akal dan sesuai dengan kondisi riil di lapangan, pendekatan yang mungkin diterapkan adalah:
Pertama, memastikan anak usia SD sampai SMA sekolah. Dengan kata lain memastikan program wajib belajar pendidikan dasar (SD-SMP) dan menengah atas (SMA) terwujud. Dilakukan penyisiran (razia) dan pendataan di masyarakat langsung oleh petugas dari instansi terkait, bisa juga dibantu Ketua RT/RW dan pihak kelurahan, sehingga diperoleh data pasti anak remaja yang putus sekolah SD hingga SMA sederajat. Apabila mereka putus sekolah karena malas atau enggan, harus ada kebijakan yang sifatnya membujuk dan memaksa agar mereka sekolah lagi, serta memberi sanksi jika mereka tetap tidak mau sekolah.
Kedua, jika alasan putus sekolah karena biaya, maka ketiadaan biaya itu diatasi dengan semacam beasiswa. Artinya mereka diberi beasiswa agar mau sekolah lagi, sampai pendidikan SMA-nya tuntas dan berijazah resmi, bukan sekadar sekolah paket.
Ketiga, apabila mereka putus sekolah karena membantu orangtua bekerja, atau mereka sendiri sebagai pekerja utama dalam keluarga, maka mereka diberi beasiswa, sekaligus bantuan untuk ekonomi keluarganya. Anggaran besar yang akan digelontorkan pemerintah untuk membangun dan mendukung biaya operasional SR, lebih dari cukup untuk kebutuhan tersebut.
Sebagai tindak lanjut pendekatan di atas, kiranya pemerintah dalam hal ini instansi terkait perlu memberikan kelas khusus pada sekolah-sekolah reguler. Kelas khusus tersebut diperuntukkan bagi anak-remaja dari keluarga kurang mampu yang diinginkan sesuai dengan kehendak awal dibukanya program SR. Kelas khusus ini misalnya cukup waktu belajarnya hanya 3 hari dalam seminggu, supaya mereka masih bisa bekerja membantu orangtua, atau supaya otaknya tidak terlalu panas bagi yang kecerdasannya lemah. Target dan kurikulum minimal agar bisa lulus saja, bukan untuk mengejar prestasi sebagaimana di sekolah reguler, sekolah khusus dan SG sebagaimana diobsesikan pemerintah. Guru/pengajar di kelas khusus ini bisa diambil dari guru-guru yang sudah ada atau merekrut guru baru, dengan insentif tersendiri.
Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka siswa tersebut dapat sekolah dan menuntaskan pendidikan hingga SMA tanpa harus meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Kehadiran anak setiap hari bagi sebuah keluarga dengan kondisi tertentu sangat penting dan tidak tergantikan. Keluarga tidak bisa berpisah dengan anak dalam waktu lama. Apalagi kalau SR tersebut dibangun khusus di perkotaan.
Rubrik Anang Gayam BPost mengatakan, “pamarintah handak maulah sakulah rakyat, Lak-ai. Dijawab oleh Anang: kabanyakan program, Nang-ai”. Intinya, pemerintah tidak perlu terlalu banyak program di bidang pendidikan, cukup membenahi program yang sudah ada. Dengan analisis yang tajam dan akurat, diketahui di mana saja kelemahannya. Kalau program wajib belajar sampai SMA belum tercapai tuntas, tentu ada penyebabnya. Tidak perlu harus selalu menggagas program-program besar yang sifatnya uji coba, belum teruji dan terbukti efektif. Kalau nanti tidak efektif, tentu akan mubazir.
Di atas segalanya, pemerintah perlu serius meningkatkan kesejahteraan rakyat dan membuka banyak lapangan kerja, meminimalkan biaya hidup, pungutan dan pajak. Diperkirakan ke depan banyak masyarakat kelas menengah bergeser ke bawah dan kelas bawah akan mendekati miskin karena kehidupan ekonomi yang berat. Biaya pendidikan harus semurah mungkin, kalau tidak mungkin digratiskan sama sekali. Apabila kesejahteraan meningkat dan pendidikan gratis/murah, otomatis komitmen mereka terhadap pendidikan akan meningkat pula. Tidak hanya pendidikan dasar dan menegah, bahkan juga pendidikan tinggi pun akan tercapai. Wallahu A’lam.