Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sungai di Era Kesultanan dan Penjajahan

×

Sungai di Era Kesultanan dan Penjajahan

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Potret Sungai Banjar Kalimantan Selatan”

Di masa lalu penyiaran Islam banyak dilakukan lewat sungai. Itu sebabnya daerah-daerah pinggiran sungai lebih dahulu menerima Islam dibanding daerah yang berada di darat dan pegunungan. Para ulama juru dakwah seperti Khatib Dayyan, Malik Ibrahim, Imam Santoso, Habib Marwan, Mujahid Malik, Rangga Alibasah, Santri Umar, Imam Bukhari dan yang lainnya, berdakwah dari Banjarmasin hingga ke berbagai pelosok hulu sungai juga melalui sungai. Mereka membangun masjid-masjid dekat sungai, yang sekarang tercatat sebagai masjid-masjid tua dan bersejarah di Kalimantan Selatan. Bahan-bahan bangunan, khususnya tiang guru dan kayu-kayu, setelah ditebang di hutan juga dihanyutkan melalui sungai. Apalagi dulu belum ada kolam dan kran leiding untuk berwudlu, jadi orang-orang yang shalat juga mengambil air wudlu di sungai.

Baca Koran

Di zaman Kesultanan Banjar, sungai tetap menempati posisi penting. Kesultanan Banjar adalah sebuah negara maritim, perdagangan sungai dan laut menjadi ciri utamanya. Jukung, perahu, perahu layar, tongkang hingga kapal bermesin (dengan bahan bakar batubara) aktif mengangkut dan memperjualbelikan hasil bumi. Berbagai pedagang Nusantara bahkan mancanegara juga berdatangan. Mereka masuk hingga ke pelosok-pelosok daerah di Kalimantan, melalui sungai dan pelabuhan yang ada, baik di Banjarmasin, Marabahan, sepanjang sungai dan hulu Barito, Nagara, Amuntai hingga Kelua dan Tabalong.

Di masa peperangan melawan penjajah, sungai juga menjadi vital, baik bagi penjajah maupun pasukan perlawanan. Ketika mengangkut tentara, senjata dan logistik, pihak Belanda kebanyakan melalui sungai. Beberapa kisah perlawanan yang heroik antara penjajah dengan pejuang Banjar juga di sungai, seperti tenggelamnya kapal Onrust di sungai Barito, penyerangan kapal Bone, Suriname dan sebagainya. Begitu juga penyerangan pasukan Panglima Wangkang terhadap Benteng Tatas di Banjarmasin juga melalui sungai Barito, Martapura dan Marabahan. Penyerangan tentara Belanda dari Amuntai terhadap pasukan Penghulu Rasyid di Banua Lawas dan Kelua juga melalui sungai, yaitu sungai Hanyar dan sungai Rukam. Barabai juga demikian, baik serangan oleh Belanda maupun pertahanan pejuang banyak menggunakan sungai. Adakalanya sungai diberi penghalang agar pasukan Belanda terhambat. Nama Barabai, konon karena sungainya penuh raba. Pimpinan tentara bertanya kepada kurirnya, bagaimana keadaan sungainya, dijawab: baraba-ai.

Perhatian Belanda

Urang Banjar yang pergi merantau (madam) di zaman dulu, terutama ke pulau seberang (Sumatra, Kepulauan Riau dan Malaysia) juga menggunakan sungai, belum ada yang naik kendaraan darat apalagi pesawat udara. Menurut Dr Hilmi Mizani (2018) yang keluarganya dulu di Kelua banyak merantau ke Sumatra dan Malaysia, perantau dari Kelua naik perahu menempuh sungai-sungai yaitu sungai Kelua/Tabalong, terus melalui sungai Hanyar, masuk ke sungai di Pasar Arba Banua Lawas, sungai di Bangkiling, sungai di Haurgading, sungai di Amuntai dan sungai di Alabio. Sungai-sungai ini mempunyai lebar +75 meter dan dalamnya + 10-15 meter dan berfungsi sebagai urat nadi perhubungan dengan daerah lain, dan bepergian ke daerah-daerah tepian lainnya seperti ke Negara, Kandangan, Martapura, melalui sungai Negara yang panjang dan lebar hingga ke Banjarmasin dan daerah lainnya yang semuanya terletak di tepi sungai. Setelah menyusuri sungai Alabio, perahu perantau selanjutnya menyusuri sungai Danau Panggang, sungai Paminggir, Sungai Barito, s
ungai Palingkau, sungai Kapuas, Sungai Terusan, Sungai Batu, Sungai Kahayan, kemudian sampai ke laut lepas. (19/7/ 2011).

Baca Juga :  PRODUK LOKAL

Ketika Belanda berkuasa di Banjarmasin, mereka ingin mengembangkan kota ini sebagai kota sungai. Ir Thomas Karsten, seorang perancang bangunan Kota Banjarmasin, adalah orang yang pertama kali membuat Stadsvormings Ordonantie (Undang-Undang Pembentukan Kota). Ia merancang agar pembangunan Kota Banjarmasin, baik berupa rumah-rumah maupun bangunan lain tidak menggunakan jalur sungai Martapura dan sungai Barito, karena menurutnya tanah di tepi sungai tidak menguntungkan bagi bangunan, dan mengganggu kelestarian sungai-sungai sebagai kota air. Ia juga menyarankan agar rumah-rumah lanting yang ada di sungai Martapura tetap dipertahankan, karena lanting itu sudah ada sejak zaman Kesultanan Banjar, dan adanya lanting juga dapat meredam gelombang lalulintas sungai dan mencegah erosi di tepian sungai.

Menindaklanjuti saran Karsten ini, maka dibangunlah Jalan S. Parman, yang di zaman Belanda bernama Jalan Militairweg, berjarak 500 m dari sungai Martapura. Di sisi jalan inilah dibangun rumah-rumah warga dan perkantoran. Di zaman Belanda ini pula dibangun (dikeruk) sungai-sungai kecil di kiri kanan Jalan Ahmad Yani (dulu bernama Jalan Ulin) selebar 20 meter. Sungai-sungai ini dimaksudkan sebagai prasarana jukung/perahu kecil para pedagang Banjar dari pedesaan atau luar kota agar bisa masuk perkotaan untuk menjajakan sayur-mayur, buah-buahan, ikan basah, alat-aat dapur dan keperluan lainnya. (Kompas, 23 September 1990).

Melupakan Sejarah

Ketika mewawancarai Melkianus Paul Lambut, seorang sejarawan, budayawan dan ahli antropologi sungai, beliau mengatakan: Saya yang hidup sejak zaman Belanda, tahun 2024 sudah berusia 93 tahun, menerangkan, kita ini tinggal di kota sungai, hidup dari sungai. Namanya juga Banjarmasin yang berasal dari kata bandar, Bandarmasih. Bandar itu artinya pelabuhan di sungai. Sungai tidak berarti kalau tidak memberi hidup. Sungai adalah anugerah Allah, sumber kehidupan. Namun bisa jadi bencana, karena tidak dipelihara, dan dijadikan tempat membuang sampah.

Saya selalu mengingatkan, pamali orang Banjar mambuang barang rigat ke sungai. Barang rigat itu adalah sampah, bersaudara kandung dengan limbah. Sebab sungai adalah rumah “dangsanak” kita, yaitu makhluk lain. Dulu datuk nenek kita membawa bayi umur tiga tahun ke sungai, lalu dicelupkan ke air sambil berkata: “ini dingsanak ikam yang baru lahir”. Ketika itu belum ada ekologi sungai.

Bahari tahun 1946 orang tidak berlangganan leiding, bahkan disebut bungul kalau berlangganan leiding, mambuang-buang duit saja. Sebab sungai masih bisa diminum, airnya bersih dan tawar. Sekarang kita tidak diberkati lagi oleh Allah. Banyak sungai yang kotor dan airnya tidak tawar lagi.

Baca Juga :  Beda Agama

Saya lahir di Dahirang Kapuas 5 Desember 1931. Dibawa orangtua ke Banjarmasin di usia kanak-kanak. Dulu tahun 1946, saya dibelikan orangtua 6 buah tantaran unjun, dan sejumlah kawat (dawai). Maunjun di Sungai Martapura hanya setengah sampai satu jam dapat ikan yang cukup untuk dimakan satu hari. Ada baung, lais, patin, udang, sanggaringan dan lain-lain. Jelawat tidak boleh dimakan orang awam, itu lauk makannya orang bangsawan Kesultanan Banjar.

Tahun 1971 saya pulang dari pendidikan di Amerika, masih bisa bermain di sungai. Dulu ada istilah banyu mati dan banyu hidup. Yang disenangi adalah banyu hidup yang langsung diambil dari sungai. Bahkan untuk berobat secara tradisional (banyu tawar) juga diambil banyu hidup. Sekarang kita tidak lagi merawat sungai. Siring bukan untuk sungai tapi untuk darat. Banyu bercampur limbah. Diadakan Forum World Water ke-10 di Bali untuk mengembalikan keasrian sungai. Semboyan UNESCO 2016: Who has water has the future, siapa yang memiliki sungai dialah memiliki masa depan.

Dulu (1985) Sungai Martapura dalamnya 7-9 meter di Muara, Tengah dan Hulunya. Sekarang tinggal 3-4 meter. Sungai Barito dulu dalamnya 12-15 meter, sekarang tinggal 6-9 meter. Dulu proyek ambang Barito ada untuk menjaga kedalaman airnya. Kita membuat bencana untuk diri sendiri. Leluhur kita marah dengan kita, karena sekarang sungai jadi rumah sampah. Ikan sangat tidak suka dan tidak bisa hidup di air yang kotor. Banjarmasin ini sangat istimewa. Tidak ada tandinganya di bumi ini. Sungai Martapura tidak sampai ke laut, tapi ke Sungai Barito. Sungai-sungai di Banjarmasin jadi rusak karena orang yang tidak berlatar belakang budaya sungai datang ke Banjarmasin. (Wawancara tanggal 13 dan 20 Juni 2024).

Di masa Walikota Banjarmasin HM Effendi Ritonga (1984-1989) hingga Walikota Sadjoko (1990-2000) dibangkitkan lagi program untuk menjadikan Banjarmasin sebagai Kota Air (akronim dari Aman, Indah, dilandasi Iman dan Rapi). Ketika itu diterbitkan buku Banjarmasin Kota Air yang memuat sejarah kelahiran Kota Banjarmasin dan foto-foto keberhasilan pembangunan dan kegiatan warga yang memanfaatkan air/sungai. Juga dilakukan pengerukan kembali sungai-sungai di kiri kanan Jalan Ahmad Yani yang sudah menyempit sepanjang 14 km, dari Kota Banjarmasin menuju Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar.

Namun program ini terhenti karena tidak semua walikota Banjarmasin memiliki komitmen terhadap sungai, dan mungkin juga dengan alasan biayanya dinilai sangat besar. Akhirnya sungai-sungai yang ada di pelosok kota dan di kecil di kiri kanan jalan makin menyempit oleh perluasan jalan dan bangunan, serta sikap warga Banjarmasin sendiri yang kurang peduli terhadap keutuhan dan kelestarian sungai.

Iklan
Iklan