Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Keagamaan
Masa Rasulullah SAW belum ada kitab sebagai pegangan dakwah. Jangankan kitab, Al Quran saja baru dibukukan di masa Khalifah Umar bin Khattab dan Hadis masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Al Quran sebagai sumber Islam yang pertama diturunkan sering disebabkan alasan atau sebab tertentu, sehingga ada istilah asbab al-nuzul. Begitu ada permasalahan muncul di tengah umat, atau ada sahabat bertanya, bila Rasulullah tidak tahu jawabannya, beliau akan menunggu turunnya wahyu. Begitu pula hadis disampaikan karena alasan dan pertanyaan tertentu, sehingga dikenal asbab al-wurud. Ilmu-ilmu keislaman saat itu muncul karena adanya tanya jawab, al-sual wa al-jawab. Tidak beralasan kalau ada pendapat, tanya jawab dalam menuntut ilmu tidak boleh atau tercela. Justru tanya jawab bagian dari Sunnah.
Sampai sekarang metode tanya jawab dalam dakwah terus berlangsung. Dari cara tradisional seperti forum pengajian, halaqah, sampai yang agak modern seperti muzakarah di media massa atau dialog interaktif melalui radio, televisi, bahkan internet. Organisasi keislaman juga punya forum untuk menjawab berbagai persoalan umat, seperti Komisi Fatwa MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadyah. Banyak manfaat lahir dari tanya jawab; suasana dakwah lebih hidup, penanya terlatih berbicara, ulama tertantang menyiapkan bekal ilmunya, dan berbagai masalah agama terungkap. Dapat dibayangkan bagaimana soal-soal nikah siri, nikah pertelepon, sewa rahim, bayi tabung, kloning, SMS berhadiah, shalat jamaah berhadiah, bom bunuh diri, mogok makan, mogok bicara menjahit mulut, bunga bank dll, kalau tidak ditanyajawabkan.
Buku-buku tebal juga bermunculan, seperti Soal Jawab Masalah Agama karangan Ahmad Hassan Bandung atau Sirajuddin Abbas, Fiqih Kontemporer karya Yusuf Qardhawi, Dialog Sunah-Syiah, Dialog Islam-Kristen, Tanya Jawa Ulama-Pendeta, dll, semuanya lahir karena adanya tanya jawab. Khazanah ilmu tergali dan berkembang dari tanya jawab.
Model Tanya Jawab
Mengacu Al Quran dan hadis Nabi, banyak sekali model tanya jawab yang dapat diterapkan dalam dakwah masa kini. Pertama, yang bertanya menjawab sendiri pertanyaannya. Misalnya Allah bertanya apa itu malam kemuliaan (QS al-Qadr), apa itu hari Kiamat (QS al-Qari’ah), dan apa alasan manusia mendustakan nikmat Allah (QS al-Rahman), dan sejumlah ayat hiwar (tanya jawab) lainnya. Kesemuanya dijawab Allah sendiri, dengan maksud manusia dapat mengambil pelajaran.
Kedua, orang yang bertanya boleh saja sudah tahu tentang sesuatu masalah, tetapi ingin mengajar orang lain lewat jawaban pertanyaannya. Sebuah hadis riwayat Muslim yang populer menceritakan, saat Rasulullah duduk bersama sahabat, Jibril datang menyerupai manusia, lalu bertanya tentang Iman, Islam dan Ihsan. Setelah Nabi menjawab satu persatu, Jibril berkata: shadaqta (engkau benar) hai Muhammad. Artinya, Jibril sudah tahu. Itu sebabnya ketika tiba giliran Jibril bertanya kapan hari Kiamat tiba, Nabi menjawab: Yang bertanya lebih tahu daripada yang ditanya. Maka gantian Jibril yang menjawab.
Ketiga, penanya boleh penasaran dengan jawaban, jika memang belum jelas, tetapi tidak bermaksud menyusahkan orang yang menjawab. Suatu hari seorang Arab Badui datang ke majelis Rasulullah, lalu bertanya kapan hari Kiamat. Walau orang itu menghendaki jawaban pasti, Nabi tidak memberikan jawaban objektif berupa jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, melainkan jawaban esai panjang lebar, yang lebih bermanfaat bagi penanya dan orang lain. Nabi menjawab, Kiamat itu akan tiba jika amanah tidak dipegang teguh. Orang itu bertanya lagi, apa maksud amanah ditinggalkan tsb. Jawab Nabi, bila suatu urusan diserahkan dan dipegang oleh orang bukan ahlinya, tunggulah saat kiamat atau kehancuran. Jawaban Nabi yang mengandung hikmah itu dalam ilmu balaghah disebut uslub al-hakim.
Kempat, materi yang ditanyakan, boleh mengarah kepada hal-hal berbau seksual, jika memang diperlukan. Suatu ketika ada yang bertanya pada Aisyah, bagaimana cara Nabi menggauli istri. Aisyah menjawab, dia dan Nabi bergaul pakai kain, dan tidak saling melihat kelamin masing-masing. Saat lain, ada sahabat bertanya kepada Nabi, apa hukum azal (coitus interruptus), yaitu mengeluarkan sperma di luar vagina. Nabi tidak memberi jawaban, sebagai pertanda beliau tidak menyuruh dan tidak melarang. Belakangan ada imam mazhab membolehkan azal, dengan syarat atas persetujuan istri, sebab cara itu mengurangi kenikmatan istri.
Umar bin Khattab pernah bertanya kepada putrinya Hafsah, janda Rasululllah, berapa lama sebenarnya wanita tahan kesepian ditinggal suami. Mulanya Hafsah enggan menjawab karena malu, tetapi demi hukum, dia jawab, maksimal tiga bulan. Akhirnya Umar membuat kebijakan, maksimal mengirim tentara tiga bulan, satu bulan pergi, satu bulan di tempat tugas, dan sebulan untuk pulang. Ini tidak porno sebab terkait hukum.
Memperhatikan Etika
Meski disunahkan, ada etika tanya jawab yang mesti ditaati. Pertama, yang menjawab harus sabar, teliti dan tidak emosional, supaya jawabannya jernih dan objektif. Ia tidak boleh menyembunyikan ilmunya, karena menyembunyikan ilmu agama ketika ditanya, padahal ia tahu, sangat tercela. Fanatisme mazhab kadang membuat seseorang emosional atau menyembunyikan dalil, hal ini hendaknya dihindari. Semua dalil perlu dipaparkan, terserah penanya mau yang mana. Tetapi sekiranya tidak tahu, jangan dipaksakan menjawab bahafal atau sekenanya, sehingga menyesatkan. Imam al-Ghazali berkata, seorang ulama bukannya yang serba tahu, tetapi hendaknya tidak segan berkata “saya tidak tahu” bila memang tidak tahu. Berani bersikap demikian, adalah tanda orang berilmu. Meminta jawaban dari orang lain juga baik. Nabi sering bertanya kepada sahabatnya tentang strategi perang, dan kadang pendapat sahabat lebih jitu.
Kedua, penanya tidak boleh merepotkan yang ditanya, ingin menguji guru, membandingkan dengan ulama lain atau mempermalukannya. Sikap demikian tidak sopan. Penanya harus maklum keterbatasan guru atau ulama, tidak memaksakan kehendak. Penanya sebaiknya tidak menanyakan masalah khilafiyah di forum terbuka, materi begini hanya cocok didiskusikan di forum akademis terbatas. Penanya dan penjawab tidak boleh menyebut nama orang bila konotasinya menjelekkan.
Ketiga, penanya tidak cerewet dengan pertanyaannya, sehingga mempersulit diri sendiri. Cerita Bani Israil yang cerewet bertanya ketika disuruh menyembelih sapi betina, adalah contoh tidak dibolehkannya bertanya terlalu detil, jika muaranya hanya mempersulit diri. Inti bertanya untuk tahu dan mudah mengerjakan sesuatu. Sesuai peribahasa, malu bertanya sesat di jalan. Wallahu A’lam.