Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Indonesia Merdeka, Sudahkah Dirasakan Rakyat?

×

Indonesia Merdeka, Sudahkah Dirasakan Rakyat?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Sala Nawari
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Belum hilang gegap gempita rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke 80 tahun yang sangat terasa. Berbagai perlombaan hingga jalan santai di berbagai kota hingga desa semakin menambah semarak kebersamaan. Semua bergembira ria bak euforia yang terkalibrasi dengan semangat nasionalisme. Namun, rakyat Indonesia juga harus merasakan kepedihan dengan menunjukkannya dalam unjuk rasa secara nasional pada tanggal 25 Agustus.

Kalimantan Post

Bahagia dirasa karena kita memang telah merdeka dari penjajahan fisik yang nyata di depan mata. Bebas dari penjajahan Belanda dan Jepang yang sekian lama, membuat rakyat menderita membelenggu jiwa dan raga. Namun dibalik sukacita perayaan kemerdekaan, kembali membuat rakyat berpikir dengan seksama, apakah Indonesia benar–benar merdeka?

Ramai diadakan lomba tarik tambang, namun berbagai pertambangan nyatanya dikuasai oleh asing dan aseng. Ya, itulah sekelumit fakta negara ini yang terkenal sebagai zamrud khatulistiwa, kaya sumber daya alam, namun nyatanya dieksploitasi dan dikuasai para kapital lokal maupun global.

Viral pernyataan Menteri Keuangan di media sosial yang menyampaikan pidato bagaimana kondisi keuangan negara yang berat dengan berbagai tantangannya. Banyaknya keluhan para tenaga pendidik akan kesejahteraan mereka, sehingga beliau secara tidak langsung menyatakan bahwa itu beban yang berat jika harus ditanggung sendiri oleh negara.

Sontak pernyataan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, terkhusus para guru yang selama ini sudah berjuang dengan keras menjalankan tugas mulia nya mendidik serta mencerdaskan generasi dan bangsa. Ini bukan tanpa alasan, karena memang pada faktanya potret pendidikan di Indonesia hari ini masih sangat buram.

Sarana dan fasilitas pendidikan masih saja menjadi masalah yang tidak terurai. Setelah 80 tahun merdeka, fasilitas pendidikan di salah satu sekolah dasar di Desa Embonatana, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Sekatan masih sangat terbatas. Ruang kelas yang digunakan jauh kondisinya dari ruang-ruang kelas yang ada di kota. Lantainya berupa tanah dengan dinding papan. Beberapa bagian dinding mulai rusak. Papan tulis kayu di bagian depan sudah tua, bahkan ada dua bagian yang bolong tepat di tengah.

Pemerintah mengumumkan program besar-besaran perbaikan sekolah rusak di seluruh Indonesia. Lewat alokasi dana sebesar Rp16,9 triliun, 13.763 sekolah akan direnovasi tahun ini. Akan tetapi, jumlah sekolah yang direnovasi jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah sekolah yang rusak. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), terdapat sekitar 980 ribu sekolah yang saat ini berada dalam kondisi rusak sedang hingga berat.

Baca Juga :  PENDAPATAN

Sementara itu, ada anak didik yang harus menempuh kiloan meter menyusuri tanah becek, menyeberangi arus sungai yang deras dengan seutas tali dan papan seadanya, bahkan berjalan kaki tanpa alas kaki yang layak demi dapat bersekolah.

Sekolah di perguruan tinggi menjadi layanan pendidikan mahal bagi kelompok ekonomi ke bawah. Kampus negeri dibebani dengan UKT, kampus swasta harus mandiri membiayainya. Di sisi lain, lulusan perguruan tinggi hanya disiapkan untuk menjadi tenaga kerja murah, sedangkan pemegang kendali industri dan ekonomi tetap berada di tangan kapitalis.

Padahal, pendidikan sejatinya adalah benih dalam membangun SDM dan peradaban unggul. Negara yang tidak memprioritaskan pendidikan sebagai proyek jangka panjang pasti akan tertinggal. Salah satu indikatornya adalah memangkas setengah anggaran pendidikan demi program politis, seperti MBG (Makan Bergizi Gratis) yang juga menyisakan banyak masalah.

Belum lagi potret generasi hari ini yang mengalami degradasi moral, maraknya bullying yang mengakibatkan kelumpuhan bahkan kehilangan nyawa bagi korbannya, generasi banyak yang terperosok pada jerat narkoba, judi online, pergaulan bebas yang marak dan merusak. Mau seperti apa masa depan bangsa dan negara ini jika para pemuda dan generasinya rusak.

Kesenjangan tidak hanya menimpa pendidikan, tetapi juga sektor kesehatan. Pada April 2025, seorang ibu hamil di Kabupaten Luru Utara, Sulawesi Selatan terpaksa ditandu warga sejauh 22 km menuju puskesmas karena akses jalan rusak parah. Akibat terlambat tiba di puskesmas, bayi kembarnya meninggal dunia.

Terbaru, seorang balita berusia 4 tahun di Sukabumi meninggal karena mengalami infeksi akibat tubuhnya dipenuhi cacing. Diketahui, sang bayi bernama Raya ini terlambat menerima penanganan darurat karena biaya administrasi yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarga. Raya hidup bersama ayah yang sakit-sakitan dan ibu yang mengalami gangguan mental. Mereka hidup bersama ayam dan kotorannya dengan segala keterbatasan, baik ekonomi maupun kesehatan. Masih banyak potret buruk lainnya akibat fasilitas kesehatan yang belum memadai.

Kompleksitas masalah ini membutuhkan peran utama negara sebagai pemangku dan penyelenggara kebijakan, yakni kemudahan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan bagi seluruh elemen masyarakat.

Baca Juga :  Pustaka di Layar Kaca

Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dan kesehatan diperlakukan sebagai komoditas seperti bisnis. Negara memberi akses bagi swasta untuk memainkan peran dalam memenuhi layanan publik tersebut. Akibatnya, banyak sekolah mentereng dan rumah sakit swasta berdiri, tetapi hanya di wilayah elite yang mampu dijangkau oleh kalangan berduit saja. Sementara itu, di wilayah 3T (tertinggal, terpencil, dan terluar) hanya diberikan fasilitas dan sarana seadanya. Sehingga untuk menikmati layanan pendidikan dan kesehatan, penduduk setempat harus menempuh jarak yang jauh.

Ini bukanlah merdeka, tetapi belenggu penjajahan dalam bentuk yang berbeda, yaitu kesenjangan dan ketimpangan. Kondisi ini sangat berbeda ketika Islam menjadi panduan dan paradigma dalam bernegara.

Pandangan Islam

Dalam Islam, negara berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat). Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar publik yang wajib dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu, negara harus mewujudkannya secara gratis dan berkualitas, bahkan anggaran pendidikan dan kesehatan adalah anggaran yang bersifat mutlak dan prioritas.

Dalam Islam, negara adalah penyelenggara dan penanggung jawab dalam menyediakan sistem, layanan, dan fasilitas kesehatan untuk rakyat. Tidak ada pungutan dalam memenuhi kebutuhan ini. Bahkan, negara harus memberikannya secara gratis kepada seluruh lapisan masyarakat.

Perhatian di bidang kesehatan tidak hanya terbatas di kota-kota besar, melainkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling yang menyusuri dari desa ke desa. Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dan pendidikan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, status sosial, dan tingkat ekonominya. Seluruh rakyat terjamin dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Dengan pemasukan yang banyak dari baitulmal, negara Khilafah akan merawat dan merenovasi gedung dan sarana prasarana sekolah agar senantiasa dalam kondisi baik dan layak. Pembiayaan tersebut dari pos-pos pemasukan baitulmal yang salah satunya berasal dari pengelolaan barang tambang yang jumlahnya melimpah. Negara juga memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf bagi individu yang ingin beramal dan berkontribusi untuk kepentingan umat sehingga banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya.

Iklan
Iklan