Oleh : Baiq Lidia Astuti S.Pd
Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak
Entah apa yang merasuki pemerintah Republik Indonesia. Tak hentinya mengeluarkan kejutan demi kejutan. Disela makin sulitnya rakyat hari ini akibat dampak covid 19, pemerintah membuat kebijakan yang mengejutkan publik dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II yang berlaku 1 Juli 2020, dan kelas III pada 2021.
Menaikan iuran BPJS bukanlah pertama kali di lakukan pemerintah, sebelumnya di awal tahun 2020 pemerintah juga menaikan BPJS , tapi kemudian membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir pada 2 Januari 2020.
Ironinya, kenaikan iuran ini tidak sejalan dengan kualitas layanan BPJS Kesehatan yang justru menurun di tengah pandemi. Hal tersebut terlihat dari banyaknya keluhan masyarakat.
Sungguh aneh, di saat pandemi seperti ini pemerintah justru memberi kado ‘istimewa’ untuk rakyat dengan kebijakan yang zalim dan semakin menambah beban berat rakyat. Kita semua bisa secara terang benderang melihat bagaimana pandemi ini berefek luar biasa bagi seluruh lapisan masyarakat terutama kelas menengah dan kelas bawah bahkan para pengusaha sekalipun tidak luput terkena imbas dari pandemi ini.
Masyarakat kesulitan dari segi ekonomi untuk bertahan hidup, PHK dimana mana, UKM gulung tikar, buruh banyak di rumahkan, dan bahkan banyak keluhan masyarakat yang tidak ada penghasilan sama sekali selama pandemi karena tidak bisa bekerja lagi. Apakah semua ini belum cukup jelas bagi penguasa, bahwa masyarakat saat ini sedang butuh pemerintah yang mengurusi rakyat dengan sungguh sungguh, bukan justru semakin membebani rakyat dengan kebijakan yang sangat zalim.
Tidak dipungkiri bahwa sejak muncul pada 2013, keberadaan BPJS Kesehatan sudah menimbulkan persoalan. Mulai dari premi yang harus dibayar peserta, layanan kesehatan yang kurang layak atau tidak maksimal, serta defisit yang kian membengkak.
Rakyat diminta bayar premi sebagai jaminan kesehatan. Saat ‘jaminan’ itu dipakai berobat, bukannya layanan terbaik yang didapat, justru kesulitan yang dihadapi. Diantaranya sistem administrasi kesehatan yang ribet, layanan minim dan perlakuan kurang nyaman.
Negara mengalihkan tanggung jawab mengurusi aspek kesehatan warga negara dengan mekanisme iuran kolektif. Padahal kesehatan adalah sesuatu yang amat vital seharusnya negara bertanggung jawab penuh memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik, murah, dan mudah bukan malah menjadikan rakyat lahan bisnis atas kebutuhan kesehatan ini.
Ini adalah imbas dari sistem neoliberalisme atau penjajahan gaya baru dimana negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya melainkan hanya regulator semata. Alih-alih menolong rakyat, kenyataan sebenarnya pemerintah menodong rakyat dengan iuran yang kenaikannya hingga naik 100 persen.
Hal ini tentu berbeda dengan konsep jaminan ala Islam. Dalam Islam, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan dasar masyarakat. Negara wajib memenuhinya tanpa kompensasi. Kebutuhan pokok ini akan menjadi perhatian utama.
Memang, berharap kesehatan murah di sistem yang kapitalistik sekuler seperti sekarang, ibarat memasukkan unta ke lubang jarum. Tak mungkin!. Lalu, bisakah kesehatan diperoleh secara murah? Jawabannya, bisa. Jika kita membaca lintasan sejarah, akan didapati bahwa peradaban Islam pernah berhasil mewujudkan layanan kesehatan murah. Bahkan gratis. Kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhinya secara optimal dan terjangkau oleh masyarakat. Khalifah memosisikan dirinya sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan.
Khilafah tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS. Lembaga asuransi bertujuan mencetak untung, bukan melayani rakyat. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.
Dari manakah dana untuk menggratiskan layanan kesehatan di Khilafah Islam? Dalam Khilafah, kesehatan merupakan salah satu bidang di bawah divisi pelayanan masyarakat (Mashalih an-Nas). Pembiayaan rumah sakit seluruhnya ditanggung oleh negara.
Dananya diambil dari baitul mal yakni: Pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dan sebagainya. Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Demikianlah, layanan kesehatan dalam khilafah yang begitu bagus kualitasnya dan juga gratis.Layanan kesehatan seperti ini hanya ada dalam Khilafah. Solusi Islam ini akan efektif mengatasi polemik BPJS Kesehatan. Saat Khilafah tegak, sehat tak lagi mahal. Wallahu a’lam bishshawab.