Oleh : Cici Afifah S.ST
Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan
Merdeka.com – Indonesia termasuk urutan ke-4 dunia dan kedua di Asia Tenggara dalam hal balita stunting. Hasil riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan tahun 2019 mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta atau 27,7 persen balita di Indonesia menderita stunting. Jumlah yang masih jauh dari nilai standard WHO yang seharusnya di bawah 20 persen. Oleh sebab itu pemerintah memberikan otoritas yang lebih besar pada BKKBN untuk menjadi leading sektor pengentasan stunting.
Menko PMK telah menyebutkan pemerintah sedang mempersiapkan satu badan khusus yang menangani persoalan stunting di tanah air. Harapannya agar hasilnya lebih maksimal. Pasalnya, permasalahan stunting selama ini ditangani 21 lembaga pemerintah. “Bagaimana kita bisa mencetak SDM unggul jika stunting masih menghantui calon generasi bangsa,” kata Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher dalam keterangan pers, Minggu (20/12).
Namun, problem utama di negeri ini sejatinya tak semata pada minimalisnya penanganan stunting. Justru tegaknya sistem demokrasi sebagai sistem penegak kehidupan itulah yang meniscayakan beragam kepentingan, hingga stunting tak dapat dihindari.
Kita lihat bagaimana disparitas ekonomi begitu tinggi, kesenjangan gaya hidup antara si kaya dan si miskin juga sangat dikotomis. Belum lagi beragam kebijakan impor pangan berikut masuknya korporasi pangan asing, ternyata masih belum cukup mendeskripsikan niat baik pemerintah untuk mengatasi ketersediaan dan aksesibilitas pangan. Alih-alih mengatasi stunting, jelas masih jauh dari kata layak.
Karena realitasnya, demokrasi lebih condong pada pertumbuhan ekonomi, daripada pengurusan hajat hidup rakyat secara manusiawi. Ini juga fakta yang tak bisa dihindari. Sebab demokrasi lahir dari ideologi kapitalisme yang profit oriented, hingga kebijakan yang dihasilkannya sering kali mengabaikan hajat hidup publik, bahkan mempertaruhkan kualitas generasi.
Padahal, mandat untuk mengatasi stunting yang digali dari UU Pembangunan Keluarga (UU Nomor 52 tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga), kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan, dan hidup layak.
Masih dalam UU yang sama disebutkan, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa.
Namun semua mandat itu hanya akan ada di atas kertas jika sistem pelaksananya dikuasai motif kapitalistik. Sebagai UU produk manusia, “niat baik” yang coba disuguhkan dalam UU ini pasti akan bertabrakan dengan berbagai kepentingan manusia yang lain. Yang diharuskan “mengalah” ketika bertanding dengan sistem ekonomi, selaku jargon utama ideologi kapitalisme.
Tak ayal, memang sudah waktunya kaum muslimin dan manusia seluruhnya beralih pada satu-satunya sistem alternatif untuk mengelola kehidupan ini, agar senantiasa sesuai fitrah. Itulah Khilafah, sistem pemerintahan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah, penegak syariah kaffah.
Bagi Khilafah, sumber daya manusia adalah kekuatan peradaban dan kecemerlangan pemikirannya adalah kekayaan tak ternilai, yang semuanya itu semata-mata menjadi bekal untuk menuju ketaatan kepada Allah SWT.
Dan oleh karenanya, umat Islam akan beroleh posisi selaku khairu ummah (umat terbaik). Firman Allah SWT, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”. (QS Ali Imran: 110).
Inilah hakikat pengurusan urusan umat. Inilah yang disebut Islam politik. Politik adalah unsur terpenting di dalam Islam. Kesalahan memaknai politik menjadi makna dalam konteks sekuler, akan berakibat pada kesalahan output pelaksanaan kebijakan publik.
Agar dapat disolusi tuntas, kasus stunting hendaknya diatasi dengan Islam politik pula. Karena Islam adalah ideologi yang ketika diterapkan akan memberikan solusi yang sesuai fitrah, memuaskan akal, dan memberikan ketenangan jiwa.
Mekanisme Islam mengatasi stunting berawal dari pemenuhan kebutuhan pangan dan nutrisi masyarakat individu per individu. Negara juga tidak mendominasikan ketersediaan pangan semata-mata pada impor.
Sebaliknya, negara akan fokus pada peningkatan produksi pertanian dan pangan, berikut segala riset dan jaminan kelancaran seluruh proses pengadaannya. Negara juga memiliki akurasi data untuk ketersediaan dan distribusi pangan agar tepat sasaran.
Negara Khilafah benar-benar menunaikan mandatnya selaku khadimul ummah (pelayan umat) dengan melaksanakan sabda Rasulullah SAW, “Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya”. (HR Bukhari).
Selanjutnya, Khilafah memberikan jaminan ketahanan dan pembangunan keluarga yang berlandaskan akidah Islam. Agar keluarga mampu menjadi pilar peradaban. Khilafah juga akan menjamin keberlangsungan pendidikan generasi. Agar di samping menjadi generasi muslim kuat dan sehat, mereka juga terjaga dalam keimanan dan ketakwaan.
Inilah pentingnya menyolusi stunting agar sejalan dengan fitrah manusia. Islam selaku ideologi yang berasal dari Allah SWT diposisikan menjadi pengatur kehidupan. Islam adalah riayatusy syuunil ummah (mengurusi urusan umat). Hal ini jelas sekali perbedaannya dengan politik dalam demokrasi, yang berorientasi pada kekuasaan bahkan mengabaikan aturan-aturan Sang Khaliq.
Aktivitas politik dalam demokrasi menghalalkan segala cara, menerapkan dan membuat hukum-hukum buatan manusia, sekaligus mengeliminasi hukum-hukum Allah, yang semuanya akan berbuah kemaksiatan. Sebaliknya Islam, aktivitas politiknya bertujuan menegakkan hukum-hukum Allah dan mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin, sehingga segala sesuatunya berbuah khairu ummah.