Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Di Balik Surplus BPJS

×

Di Balik Surplus BPJS

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mariana, S.Pd
Guru MI. Al Mujahidin II Banjarmasin

Sekarang yang jadi problematika masyarakat mengenai BPJS Kesehatan mengalami surplus. Sepanjang lima tahun terakhir, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit dan gagal bayar. Padahal masyarakat tiap bulannya selalu membayar tagihan BPJS. Pada 2016 saja BPJS punya piutang dalam proses bayar mencapai Rp.2,41 triliun, sangat fantastis.

Baca Koran

Setahun kemudian, defisit Rp1,01 triliun dan utang klaim Rp4,72 triliun. Tahun 2018, defisit mencapai Rp9,16 triliun dan utang klaim Rp1,47 triliun. Puncaknya, pada 2019, defisit mencapai Rp15,56 triliun dan utang klaim dalam proses Rp1,56 triliun. BPJS Kesehatan mengumumkan dalam laporan keuangan unaudited pada 31/12/2020, arus kas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tercatat surplus Rp18,7 triliun. (Bisnis.com, 9/2/2021).

Surplus BPJS Kesehatan lebih dikarenakan adanya kenaikan iuran yang hampir 100 persen sejak awal tahun 2020. Perinciannya, iuran kelas I dari Rp.80.000 menjadi Rp150.000, kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp100.000 dan kelas III dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Namun pemerintah memberi subsidi Rp7.000 sehingga peserta membayar Rp35.000.

Berjalan tiga bulan, Perpres ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Iuran kemudian kembali seperti semula. Namun hanya rentang April—Juni 2020. Pada Juli 2020, iuran kembali naik berdasarkan Perpres No.64 Tahun 2020.

Pola yang selalu sama. Saat kekurangan dana, iuran dinaikkan. Seperti anggaran negara, ketika defisit, pemerintah melakukan berbagai cara dengan menarik pajak segala rupa. Begitu pun BPJS Kesehatan. Menaikkan iuran demi menutup defisit dan gagal bayar.

Dalam data BPJS Kesehatan, peserta PBI melonjak dari 106,52 juta orang menjadi 132,76 juta orang. Sedangkan pekerja swasta naik dari 41,02 juta menjadi 55,14 juta. Sedangkan peserta mandiri naik dari 19,33 juta orang menjadi 30,43 juta orang.

Peserta BPJS naik, iuran naik, pelayanan kesehatan pasien non-Covid berkurang. Logisnya, ya mesti surplus. Pemasukan dari iuran bertambah, sementara pengeluaran berkurang karena rumah sakit lebih banyak menangani pasien Covid-19 selama pandemi.

Meski berganti nama dari Askes menjadi BPJS Kesehatan, kapitalisasi kesehatan tetap terjadi. Atas nama gotong royong, rakyat diminta membayar iuran sebagai kompensasi mendapat pelayanan kesehatan. Mereka selalu mendengungkan, Iuran Anda menyelamatkan mereka yang sakit. Iuran ini tak ubahnya dengan pemalakan atas rakyat.

Yang namanya jaminan kesehatan, mestinya dijamin baik dari pelayanan ataupun pembiayaannya. Membayar iuran termahal sekalipun belum ada jaminan mendapat pelayanan kesehatan maksimal. Banyak cerita bagaimana ribetnya administrasi demi mendapat layanan kesehatan yang layak. Pelayanan kesehatan yang baik seperti barang langka di sistem kapitalis.

Baca Juga :  Paradoks Persatuan Umat dalam Haji dan Realita Bermasyarakat dan Bernegara

Kesehatan adalah hak dasar publik, maka dari itu, mestinya negaralah sebagai penyelenggara utama sistem kesehatan. Karena kesehatan adalah kebutuhan dasar, negara berkewajiban memberikan layanan kesehatan secara gratis tanpa memungutnya dalam bentuk iuran atau premi. Tugas negara adalah melayani, bukan memalaki dengan berbagai dalih.

Melayani yang dimaksud adalah pelayanan berkualitas tanpa pamrih. Karena negara adalah pengurus urusan rakyat. Ia bertanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya. Sabda Nabi SAW, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR al-Bukhari)

Usulan itu tampak bagus karena penurunan tarif bisa mengurangi beban berat masyarakat akibat ekonomi terpuruk. Namun, menurunkan tarif iuran bukanlah solusi fundamental atas buruknya pelayanan kesehatan. Yang harus dievaluasi besar-besaran ialah bagaimana sistem kesehatan itu berjalan.

Dalam kapitalisme, peran negara hanyalah sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis. Karena kesehatan masuk dalam salah satu sektor jasa dalam perjanjian GATS, liberalisasi sistem kesehatan sulit dihindari dan ditolak. Akibatnya, negara tak lagi menjadi pemain tunggal sebagai penyelenggara sistem kesehatan untuk rakyat. Konsep inilah yang sebenarnya menjadi penyakit bagi sistem kesehatan hari ini.

Untuk mendapat layanan kesehatan prima, rakyat hanya punya satu pilihan, yaitu membayar. Gratis dan cuma-cuma tidak ada dalam kamus kapitalis. Seberapa banyak yang kita bayar, sebanyak itulah yang kita terima.

Sistem layanan kesehatan yang bertumpu pada kapitalisasi dan liberalisasi tidak akan pernah menjadikan kesehatan rakyat sebagai perhatian utama. Negara minim peran. Penyelesaian sistem kesehatan hanya bisa dilakukan secara tuntas jika paradigma dan sistem kesehatan dirombak total.

Islam memiliki sejumlah mekanisme dalam pembiayaan dan pengelolaan sistem kesehatan. Dari aspek paradigma, kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi rakyat. Negara Islam penyelenggara utama sistem kesehatan. Negara akan memenuhi kebutuhan itu dengan memberi jaminan kesehatan berupa pelayanan maksimal dan gratis.

Dari aspek pembiayaan, Baitulmal adalah sumber pemasukan negara, termasuk di dalamnya sektor kesehatan. Salah satu sumber pemasukan Baitulmal adalah harta milik umum berupa tambang, gas alam, minyak bumi, batu bara, emas, listrik, hutan, laut, sungai, perairan, mata air, dan lainnya. Pengelolaan harta ini sangat cukup membiayai sistem kesehatan.

Baca Juga :  Hijrahnya Pustakawan

Pengelolaan harta ini dapat membiayai seluruh fasilitas dan SDM yang dibutuhkan dalam bidang kesehatan. Seperti pendidikan SDM kesehatan berkualitas, rumah sakit dengan fasilitas lengkap, industri peralatan kedokteran dan obat-obatan, riset biomedis, pusat penelitian dan laboratorium, gaji tenaga kesehatan yang cukup, serta segala sarana dan prasarana yang mendukung penyelenggaraan sistem kesehatan seperti listrik, air, dan transportasi.

Rakyat tidak akan dipersulit dengan syarat dan administrasi berbelit. Semua layanan itu diberikan secara gratis oleh negara. Pembiayaan ini sifatnya mutlak. Artinya, ada tidaknya pemasukan, negara wajib memberikan pelayanan kesehatan. Jika pemasukan rutin di Baitulmal tidak terpenuhi, negara akan memberlakukan pajak temporer yang dipungut dari orang-orang kaya saja hingga anggaran yang dibutuhkan mencukupi.

Model pembiayaan seperti ini antidefisit dan membebaskan negara dari cengkeraman korporasi dan industrialisasi kesehatan yang membahayakan nyawa banyak orang.

Dari aspek pengelolaan, Konsep kendali mutu jaminan kesehatan Islam berpedoman pada tiga strategi utama, administrasi yang simpel, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh personal yang kapabel. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu.”

Pelayanan kesehatan dalam Islam harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

(1)Berkualitas, yaitu memiliki standar pelayanan yang teruji, lagi selaras dengan prinsip etik kedokteran Islam.

(2) individu pelaksana, seperti SDM kesehatan selain kompeten dibidangnya juga seorang yang amanah.

(3) Available, semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat mudah diperoleh dan selalu tersedia (continuous).

(4) lokasi pelayanan kesehatan mudah dicapai (accessible), tidak ada lagi hambatan geografis.

Selain dari aspek itu, upaya preventif promotif juga akan dilakukan. Yakni, sistem kehidupan Islam secara menyeluruh mulai dari sistem politik, ekonomi, pendidikan, pergaulan, kesehatan, dan pemerintahan.

Dengan penerapan syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, terwujudlah masyarakat berbudi luhur, pola hidup bersih dan sehat, emosi yang terkendali, orientasi hidup bervisi ukhrawi, pergaulan dan lingkungan yang sehat, keluarga yang berkepribadian mulia. Negara berdaulat, sehat, dan mandiri akan tercipta dengan sistem Islam.

Hanya Islam yang dapat memberikan solusi atas permasalahan ini dan kita harus bersegara untuk menerapkan Islam dalam kehidupan dan saatnya mengganti sistem dengan sistem yang lebih baik lagi yaitu Islam kaffah.

Waalahu ‘alam bishowab.

Iklan
Iklan