Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel
Pujangga besar Arab Lebanon Khalil Gibran (l883-l93l), dalam adikaryanya Sang Nabi (2003: 13) bercerita tentang al-Musthafa di kota Orphasale. Banyak orang bertanya kepada al-Musthafa tentang berbagai terkait hakikat kehidupan. Salah seorang wanita, al-Mitra namanya, bertanya tentang cinta. Al-Musthafa menuturkan, “Bila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia, walaupun jalannya sukar dan curam. Bila sayap-sayap cinta memelukmu menyerahlah kepadanya, walau pedang tersembunyi di antara ujung sayapnya bisa melukaimu. Dan bila dia bicara padamu, percayalah padanya, walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara mengobrak-abrik taman”.
Melodi cinta al-Musthafa lewat Gibran mengandung makna, manusia yang mengaku cinta sesuatu atau seseorang harus bersedia berkorban apa saja, termasuk mengorbankan dirinya sendiri. Cinta mensyaratkan penyerahan utuh, saling percaya, kesabaran dan kesediaan menderita. Mustahil membangun cinta sejati tanpa prasyarat dan pengorbanan apa-apa.
Energi Cinta
Cinta memang sebuah energi potensial yang mampu membuat hidup lebih hidup, dan ketika cinta merasuki manusia maka kehidupan akan terus berlanjut. Manusia, bahkan hewan sekalipun memiliki cinta. Mengapa seekor sapi, kerbau dan kuda baru bersalin begitu hati-hati menginjakkan kakinya, mengapa seekor induk burung rela terbang ke sana ke mari mencari makan, tak lain karena cintanya pada anak. Mengapa seorang ayah rela bekerja berat membanting tulang memeras keringat, dan mengapa seorang ibu rela mengasuh anak siang hari malam, bahkan kadang ikut mencari nafkah, itu juga karena cintanya pada keluarga.
Energi cinta mampu memotivasi dan menggetarkan hati. Amrul Qais yang sedang dimabuk cinta kepada Layla berujar dalam syairnya: Amurrud-diyar diyaril layla, Uqabbilu zal jidar wa zal jidar. Wama hubbud-diyar syaghabnal qalbi, Walakin hubbu man sakanad-diyar (Ketika aku melewati kotanya Layla. Aku mencintai setiap lorong dan dinding kota itu. Sebenarnya bukanlah kecintaan kepada kota itu yang menggetarkan hatiku. Melainkan kecintaanku kepada orang (Layla) yang tinggal di kota itu).
Jadi, orang yang mencintai bersifat utuh. Ketika seorang pria mencintai wanita, yang dicintai tentu tidak hanya kecantikannya, tapi juga pada sifatnya, kelebihan dan kekurangannya. Sehingga cintanya bertahan dalam berumah tangga dan beranak cucu. Ketika seorang wanita mencintai pria, tentu yang dicintai tak hanya ketampanan, kepintaran atau harta dan kedudukannya, tapi juga kepribadiannya apa adanya dan keluarganya. Sehingga cinta itu tidak lekang saat pria (suami) tidak lagi memiliki kegagahan, kekayaan dan daya tarik. Hubungan pria dan wanita pada hakikatnya untuk memperluas jalinanan kekeluargaan, bukan merenggangkannya.
Tetapi dalam realita acapkali manusia suka mengatasnamakan dan mengeksploitasi cinta. Pria dan wanita suka mengekpresikan cintanya secara terlarang dan mengedepankan nafsu syahwat padahal keduanya belum menikah. Bukti cinta sering dalam bentuk menyerahkan kehormatan, padahal itu tak lebih dari kebejatan. Bahkan kini orang berzina, berselingkuh pun dianggap bercinta. Padahal cinta merupakan tetesan rahmat Tuhan, cahaya kebenaran, ia menuntut kejujuran, tanggung jawab dan pengorbanan.
Suami istri acapkali menginjak-injak cintanya, sehingga semakin lama usia rumah tangga semakin rapuh. Istri yang tidak lagi cantik menarik dan suami yang tak lagi gagah kaya, sering menjadi alasan memutus cinta kasih. Elit dan pemimpin pun amat suka menggunakan bahasa cinta ketika mendekati rakyatnya dengan mengobral janji palsu dan gombal ketika minta dipilih. Tapi setelah terpilih rakyat tidak lagi dihiraukan, malas menyahut telpon orang awam, enggan menerima pengaduan rakyat, para tamu diseleksi, berjalan dengan mobil tertutup, suka tampil eksklusif dan elitis, suka pesta, foya-foya dan bepergian, dan sense of crisis-nya rendah.
Tidak Terbatas
Mestinya manusia bercermin pada Allah yang menciptakannya. Cinta Allah pada manusia melebihi semua. Kasih sayang Allah lewat sifat Rahman dan Rahim tanpa batas. Orang yang tidak beriman dan menantangnya, yang jahat dan maksiat sekalipun tetap diberiNya nikmat, dengan kesehatan, kekuatan dan rezeki. DiberiNya kesempatan untuk introspeksi dan bertaubat sebelum ajal tiba. Bila ada hamba yang maksiat bertaubat, maka gembiranya Allah melebihi kegembirakan orang kehilangan hewan atau barang kesayangan yang ditemukan kembali. Dosa manusia yang segunung, kalau Allah menghendaki bisa saja terbuka pintu ampunan, asalkan manusia tidak merekayasa dan merencanakan taubatnya dalam usia tertentu, karena takaran usia sepenuhnya hak prerogartif Allah. Asalkan kesalahan manusia tidak disengaja untuk menantang agamanya.
Di zaman pra Islam tersebutlah seorang kriminal kakap yang sudah membunuh 99 orang. Ketika ia mendatangi seorang rahib untuk bertaubat, tidak diterima dengan simpatik, karena dianggap tak ada lagi pintu taubat baginya, terpaksalah ia membunuh sang rahib hingga genap 100 orang korbannya. Untunglah rahib berikut yang didatanginya lebih bijaksana. Orang itu disarankan merealisasikan taubatnya dengan berhijrah ke suatu tempat yang lebih bersih karena banyak dihuni orang saleh. Di tengah jalan, karena kelelahan dan usia tua, sang pembunuh meninggal. Malaikat rahmat dan malaikat siksa saling berebut kapling karena merasa si pembunuh adalah bagiannya. Akhirnya Allah memenangkan malaikat rahmat, setelah diukur jarak perjalanan sang pembunuh sudah lebih dekat beberapa senti ke tempat ia akan bertaubat.
Allah dan Rasul sangat ingin memasukkan setiap manusia ke surga, kecuali yang enggan saja karena selalu bermaksiat. Allah balas pahala hamba dengan nilai sepuluh setiap kebajikan dan nilai satu untuk niat kebajikan walau belum terlaksana. Allah nilai satu saja untuk kejahatan dan kalau sebatas niat tidak akan dihitung. Bahkan ada waktu, tempat dan bulan tertentu Allah lipatgandakan lagi pahala amal-amal hamba.
Cuma manusia memang malas berpikir dan enggan bersyukur. Selalu merasa tidak puas dengan nikmat yang diberikan. Manusia juga suka berperilaku kontroversial, mengaku cinta pada Allah, tapi sering praktiknya bertentangan dengan kehendak Allah dan dia enggan berkorban untuk Allah. Penyair berkata, “Ta’shil ilaaha wa anta tuzhhiru hubbuh, wa haaza li’umrii fil fi’aali badii’, laukaana hubbuka shaadiqan laatha’tah, innal muhibba liman yuhibbu muthii” (Kamu pura-pura mencintai Allah, padahal perbuatanmu bertentangan dengan perintah-Nya. Seandainya cintamu sejati, niscaya engkau selalu menaati-Nya. Sungguh orang yang mencintai selalu patuh kepada yang dicintai).
Menyintai Rasul sejatinya melebihi cinta kepada yang lain. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, beliau SAW bersabda, “La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihi min ahlihi wa malihi wannasi ajma’in”. (Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sampai aku lebih dicintainya daripada keluarganya, hartanya, dan manusia semuanya).
Manusia sering menyatakan cintanya pada Rasul sangat besar, tapi enggan menjalankan sunnahnya. Padahal menghidupkan sunnah merupakan indikator kecintaan sejati pada Nabi. Man ahya sunnati faqad ahabbani, waman ahabbani kana ma’i fil jannah. Apa artinya kita mengaku mencintai Rasul kalau ajarannya ditinggalkan. Seharusnya, apa saja yang diperintah Rasul ikuti dan apa yang dilarang jauhi. Mana bagusnya anak yang selalu menuruti nasihat orang tua padahal ia tidak pandai memuji ortu-nya, daripada anak yang pandai bicara dan suka merayu ortu, tapi ketika disuruh dan dinasihati suka membandel.
Kemaslahatan Bersama
Mencintai Allah dan Rasul-Nya mestilah sesuai kehendak Allah dan Rasul lewat prosedur ibadah yang digariskan, kemudian direfleksikan dalam kehidupan nyata. Seperti berqurban, yang Allah tuntut bukan darah dan daging hewan, tapi ketaqwaan yang ditunjukkan dengan selalu mendekatkan diri pada-Nya dan pada sesama manausia. Allah tidak ingin kelebihan yang Dia berikan hanya dinikmati perorangan. Kekayaan, kedudukan dan kelebihan yang diberikan Allah mestilah dibagi-bagi untuk manusia lain. Allah mengutuk orang kaya yang enggan berzakat dan berinfaq, Allah mencela pemimpin yang arogan, tidak jujur dan tidak adil, Allah tidak suka orang yang egoistik.
Di zaman dahulu, ada seorang ahli ibadat (‘abid) yang diberi Allah keistimewaan tidak terkena sengatan matahari setiap berjalan di padang pasir luas. Selalu ada awan mendung di atas kepalanya sehingga merasa sejuk. Di tengah jalan, ada orang ahli maksiat sedang kelelahan karena tidak tahan oleh panasnya matahari gurun pasir. Ia minta tolong, agar sang ‘abid mau membagi keistimewaannya. Tapi sang ‘abid tampil eksklusif dan arogan. Ia bilang: “Kau orang maksiat, tidak berhak ikut berlindung bersamaku”. Baru saja selesai sang ‘abid berucap, awan mendung yang menaunginya langsung pergi, dan si ‘abid pun ikut kepanasan sambil menyesali kesombongan dan egoismenya. Padahal sekiranya ditolong, selain beroleh pahala siapa tahu ahli maksiat itu akan bertaubat dan jadi orang baik. Ini menunjukkan, kelebihan yang diberikan Allah pada kita tidak untuk dinikmati sendiri dan tidak boleh pilih kasih dalam menolong orang. Wallahu A’lam.