Oleh : Dr Aswin Rivai,SE, MM *)
PENURUNAN cepat keanekaragaman hayati di planet kita bukan hanya isu lingkungan, namun juga ancaman serius bagi ekonomi, kesehatan masyarakat, keamanan nasional, dan stabilitas global. Untuk itu, para pemimpin dunia harus segera menanggapi krisis ini dengan alokasi perhatian, tenaga, dan pendanaan yang jauh lebih besar.
Prospek kesejahteraan jangka panjang dan generasi mendatang berada dalam bahaya akibat rusaknya ekosistem penting yang tak hanya mengancam lingkungan, namun juga menambah risiko terhadap ekonomi, kesehatan publik, keamanan nasional, dan stabilitas global.
Dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB 2024 yang berlangsung di Cali, Kolombia, pemimpin dunia diajak menunjukkan komitmen politik dan pendanaan yang sepadan dengan skala krisis ini.
Keanekaragaman hayati sering dipahami sebagai ragam kehidupan di Bumi, mencakup jutaan spesies tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang menopang kehidupan manusia. Layanan ekosistem yang dihasilkan dari keanekaragaman hayati, misalnya, pemurnian air, pengendalian banjir, dan regulasi iklim sangat penting bagi keberlanjutan hidup.
Kini, lebih dari satu juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah. Kehilangan ini berpotensi memperparah perubahan iklim dan dampaknya, seperti peningkatan bencana alam dan guncangan pasar.
Sistem pertanian juga akan makin rentan terhadap bahaya seperti serangan hama dan cuaca ekstrem, yang pada akhirnya menyebabkan kelangkaan pangan.
Di Indonesia dan negara-negara Selatan, dampak dari krisis ini bisa sangat serius. Ketergantungan yang tinggi pada sektor pertanian sebagai sumber penghidupan membuat Indonesia sangat rentan terhadap perubahan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Dengan produksi perikanan Indonesia yang mendukung sekitar 7 juta pekerjaan, berkurangnya stok ikan di lautan akan langsung berdampak pada harga dan ketersediaan pangan. Di kawasan yang rapuh, seperti di sejumlah provinsi timur Indonesia, masalah ini dapat memperburuk ketidakamanan dan memicu peningkatan migrasi dari desa ke kota, mencari kondisi hidup yang lebih baik.
Laporan Institute for Economics and Peace memperkirakan bahwa ancaman ekologis seperti bencana alam dapat menyebabkan migrasi paksa terhadap 1,2 miliar orang secara global pada tahun 2050. Para “pengungsi lingkungan” ini diprediksi memicu ketegangan di negara tujuan, meningkatkan beban hubungan internasional, dan bahkan memperburuk keamanan.
Dalam konteks Indonesia, potensi migrasi internal yang tinggi akan berdampak pada kota-kota besar yang belum siap untuk menampung lonjakan penduduk, mengingat luas area layak huni terus berkurang dan persaingan sumber daya semakin ketat.
Kehilangan keanekaragaman hayati juga mengancam kesehatan publik. Di Indonesia, hutan yang luas memiliki peran penting dalam pencegahan penyebaran penyakit zoonosis, seperti COVID-19, yang muncul ketika habitat satwa liar terganggu sehingga mereka berinteraksi lebih dekat dengan manusia.
Oleh karena itu, keanekaragaman hayati perlu diintegrasikan dalam kebijakan keamanan dan kebijakan luar negeri Indonesia. Ini mencakup upaya pembiayaan yang lebih kuat untuk melindungi ekosistem serta langkah ambisius untuk mengatasi penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati, seperti perusakan habitat dan perubahan iklim.
Dibutuhkan sekitar 700 miliar dolar AS per tahun hingga 2030 untuk mengatasi krisis ini. Pada Konferensi Biodiversitas PBB 2022 (COP15), pemimpin dunia sepakat untuk menutup kesenjangan ini dengan menghapus subsidi senilai 500 miliar dolar AS dan meningkatkan sisanya sebesar 200 miliar dolar AS.
Negara-negara maju berjanji memberikan setidaknya 20 miliar dolar AS per tahun untuk negara berkembang pada tahun 2025, dan minimal 30 miliar dolar AS per tahun pada tahun 2030. Di Indonesia, pendanaan ini dapat diarahkan untuk melindungi kawasan hutan yang tersisa serta memperbaiki habitat laut di sekitar terumbu karang yang sangat penting bagi industri pariwisata dan perikanan.
Dalam konteks pertahanan jangka panjang, investasi pada alam jauh lebih hemat biaya dibandingkan biaya kerugian yang disebabkan oleh krisis biodiversitas.
Menurut proyeksi Environmental Change Institute dari University of Oxford, guncangan terhadap ekonomi global akibat hilangnya biodiversitas dapat mencapai 5 triliun dolar AS hanya dalam 5 tahun. Bahkan, kebutuhan pendanaan untuk keanekaragaman hayati dunia masih jauh lebih rendah dibandingkan pengeluaran pertahanan global yang mencapai 2,24 triliun dolar AS pada 2022.
Pendekatan ini dapat diperluas ke Indonesia, yang saat ini juga memperkuat sektor pertahanan. Melalui perjanjian multilateral, negara-negara diharapkan bekerja sama melindungi habitat kritis, menegakkan regulasi lingkungan, dan mempromosikan praktik pembangunan berkelanjutan.
Para pembuat kebijakan di Indonesia dapat belajar dari inisiatif “30×30” yang bertujuan melindungi 30 persen daratan dan lautan planet pada 2030. Pendanaan yang konsisten dari negara maju juga penting untuk mendukung negara berkembang, seperti Indonesia, dalam menetapkan kawasan lindung.
Dengan alokasi pendanaan yang terjamin, Indonesia dapat mengamankan keanekaragaman hayati di kawasan-kawasan penting, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser dan Laut Seram, yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Indonesia.
Peningkatan kesadaran publik juga krusial. Kampanye edukasi yang menjelaskan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati dapat mendorong dukungan masyarakat terhadap kebijakan yang mendukung sumber daya alam. Jika ancaman dari suatu negara terhadap ekonomi, kesehatan publik, dan keamanan nasional begitu serius, kita pasti akan mengerahkan segala upaya untuk membela diri. Krisis keanekaragaman hayati seharusnya dipandang sama seriusnya.
Indonesia perlu memprioritaskan kebijakan dan pendanaan yang mendukung keanekaragaman hayati dan ketahanan lingkungan. Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan, pertama, integrasi dalam kebijakan pertahanan dan luar negeri.
Indonesia dapat memanfaatkan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri untuk meningkatkan upaya pelestarian keanekaragaman hayati sebagai bagian dari strategi keamanan nasional. Pendekatan ini akan lebih relevan karena ancaman terhadap stabilitas nasional juga terkait dengan dampak ekologis.
Kedua, pendanaan dan subsidi hijau. Indonesia dapat merumuskan kebijakan subsidi hijau, menggantikan subsidi yang merusak lingkungan dengan program yang melindungi ekosistem lokal. Misalnya, alokasi anggaran dapat diarahkan pada perlindungan hutan dan kawasan pesisir, serta untuk investasi dalam teknologi yang ramah lingkungan.
Ketiga, kerja sama regional untuk pelestarian ekosistem. Indonesia dapat memimpin kerja sama regional, seperti ASEAN, untuk menciptakan upaya pelestarian ekosistem yang lebih terkoordinasi, khususnya di kawasan Asia Tenggara yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Keempat, dukungan finansial untuk komunitas lokal. Pemerintah dapat memberikan insentif finansial kepada masyarakat lokal yang berperan dalam menjaga kawasan lindung sehingga dapat membantu mengurangi konversi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman.
Kelima, pendidikan dan kesadaran publik. Program edukasi berbasis sekolah dan komunitas tentang pentingnya keanekaragaman hayati dapat dilaksanakan agar masyarakat memahami dampak dari perubahan ekosistem. Dukungan untuk organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi pelestarian lingkungan juga bisa ditingkatkan.
Dengan kebijakan yang berfokus pada pelestarian ekosistem dan peningkatan investasi hijau, Indonesia dapat menjaga keanekaragaman hayati yang melimpah dan memperkuat ketahanan negara di tengah ancaman lingkungan global. (Antara/Tim Kalimantanpost.com)
*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah pemerhati Ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta