Oleh : Saadah, S.Pd
Pengajar, Aktivis Hijrah dan Pemerhati Sosial
Pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa catin (calon pengantin) harus memiliki sertifikasi sebelum menikah. Proses mendapatkan sertifikat mengharuskan catin untuk mengikuti pelatihan berumah tangga selama tiga bulan. Dan kebijakan ini akan berlaku tahun 2020 yang akan datang.
Komisioner Komnas Perempuan mengatakan setuju dengan rencana pemerintah mewajibkan sertifikat layak kawin bagi calon pengantin.
“Saya setuju jika yang dimaksud sertifikasi adalah sertifikat yang diberikan setelah mengikuti suscatin (Kursus calon pengantin) yang telah digagas kementrian Agama,’’ katanya dalam pesan singkatnya kepada Tempo, Kamis November 2019. (Tempo.com)
Peraturan pemberian sertifikat layak kawin sebagai upaya pemerintah untuk membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera.
Selain itu pentinggnya sertifikasi perkawinan karena saat ini terjadi perang narasi ketahanan keluarga. Ada kelompok yang memaknai bahwa ketahanan keluarga dengan kembalinya perempuan ke ruang domestik, ketaatan penuh pada suami, dan kepemimpinan laki-laki.
Sementara konsep perkawinan yang ditawarkan kemenag adalah perkawinan yang berdiri diatas prinsip keadilan, kesalingan, kesetaraan. “Hanya melalui yang kedua ini ketahanan keluarga yang menjadi bangunan ketahanan negara bisa dicapai,’’ katanya.
Dan menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin. Pasangan yang akan menikah harus dibekali pemahaman yang cukup tentang pernikahan. Salah satu pengetahuan yang harus mereka miliki tentang ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi.
Efektifkah Sertifikat Layak Kawin
Persoalan ini masih menajdi pro dan kontar karena seandainya ini diwajibkan maka bagi yang tidak memiliki sertifikat maka dia dianggap tidak layak nikah. Sebenarnya yang melatar belakangi adanya program sertifikat layak nikah ini salah satunya karena adanya kehancuran keluarga, diantaranya banyaknya perceraian, banyaknya angka stunting, masalah kesehatan reproduksi. Dengan program ini diharapkan dapat menekan angka perceraian, menurunkan angka stunting dan mengatasi masalah kesehatan reproduksi.
Di era kapitalistik saat ini persoalan keluarga tidak hanya melibatkan satu unsur, yaitu berupa ketidaktahuan seseorang terhadap hak dan kewajiban dalam kelauarga, sehingga mereka tidak bisa menjalankan hak dan kewajibannya dan muncul masalah-masalah sampai berujung kepada perceraian.
Hari ini memang ada banyak orang yang tidak tahu hak dan kewajibannya dalam rumah tangga, tetapi ada banyak pula seseorang yang sudah tahu, tetapi nilai takwa tidak mendorong kuat pada dirinya sehingga pengetahuan tentang boleh dan tidak boleh, hak dan kewajibannya, seringkali dilalaikan tanpa merasa bersalah, dan hal ini tidak bisa diselasaikan hanya dengan pemberian pelatihan.
Demikian juga jika berbicara masalah keungan keluarga saat ini, yang masih menghasilkan keluarga-keluarga yang anakanya mengalami stunting. Kemudian timbul persoalan KDRT juga karena persoalan ekonomi, selain itu banyak persoalan lain karena faktor ekonomi yang juga tidak bisa diselesaikan dengan memberi palatihan manajeman keungan, seperti pelatihan pengelolaan keuangan agar bisa memberikan hidangan dikeluarga yang bergizi dan memperlakukan pola hidup bersih juga sehat, tidak cukup diselasaikan dengan pelatihan.
Karena pada faktanya angka kemiskinan di negeri ini masih sangat luar biasa besar, yaitu masih puluhan juta atau sekitar 25,14 juta penduduk yang masih berada pada garis kemiskinan. Berati ada sekian juta individu-individu di negeri ini yang tidak memiliki kemampuan uang dan ekonomi cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Artinya bagaimanapun mengatur dan memanajemen seperti apapun tetap saja mengalami kekuarangan, karena persoalannya kurangnya kemampuan secara pinansial keluarga. Dan kekurangan pinansial ini, maka masih akan memeberi peluang anak-anak mendapatkan gizi yang tidak memadai, serta tidak bisa hidup dengan pola hidup bersih juga sehat. Karena untuk itu semua membutuhkan biaya.
Kemudian kenapa muncul KDRT juga bukan hanya faktor suami yang kurang serius bekerja, tetapi iklim ekonomi yang hari ini ada, tidak mendukung banyak orang untuk bekerja dan mendapat imbalan layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka persoalan ini tidak cukup diselesaikan dengan pelatihan dan pemberian informasi dan pengetahuan baru.
Sebenarnya juga ada faktor lain yang mengancam ketahanan keluarga yaitu adanya pemikiran liberal atau kesetaraan gender yaitu termasuk tuntutan perempuan dibebaskan bekerja di luar rumah dan jauh dari rumah, maka faktor ini juga termasuk yang menghancurkan ketahanan keluarga.
Ini tentu tidak bisa diselesaikan dengan pelatihan, karena ini juga pengaruh dari negara yang mengaruskan kesetaraan gender. Dan dorongan perempuan membantu keluarga dan akhirnya posisinya berganti, perempuan jadi tulang punggung keluarga, sedangkan suami jadi pengatur rumah tangga. Maka ini sebenarnya persoalan sistemik dan tidak mamapu diselesaikan dengan pelatihan yang waktunya sangat terbatas dan dibatasi hanya kepada pengetahuan dan informasi.
Seandainya negara serius hadir mengatasi ketahanan keluarga, maka tidak hanya pelatihan tetapi harus mengubah sisitem pendidikan, pola pendidikan dalam keluarga, sistem ekonomi dan negara juga tidak menjadikan perempuan sebagai aset yang mendongkrak penyelesaian persoalan ekonomi yang dialami negara dengan bekerja di luar rumah.
Apalagi dengan negara memberlakukan sistem sekuler-kapitalisme justru menghalangi negara berperan langsung menyelesaikan masalah ketahanan keluarga ini, karena sisitem inilah yang menghasilkan persoalan bagi individu-individu di masyarakat. Dan keterikatan negara dengan komitmen global yaitu yang harus mengarus utamakan gender dan mendorong perempuan keluar rumah sebesar-besarnya. Padahal peran utama perempuan adalah membentuk generasi yang tangguh, dan memaksimalkan perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Sebagaimana peran ini termaktub dalam firman Allah SWT : “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar’’. (QS. An Nisa: 4/9).
Dalam ayat ini “lemah’’ secara ekonomi, namun yang lebih besar lemah dari masalah ekonomi yaitu lemah dalam keinginan menjalankan syriat Allah SWT, memperjuangkan tegaknya syariat dan menyelesaikan persoalan kehidupan dengan syariat, termasuk masalah ketahanan keluarga.