Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Republik Keluh-Kesah

×

Republik Keluh-Kesah

Sebarkan artikel ini

Oleh : M. Rezky Habibi R
Mahasiswa Magister Hukum ULM dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi)

Keluh-kesah kini menjadi bagian yang selalu menghinggapi perasaan sebagian umat manusia di dunia, semenjak munculnya fenomena wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-l9) yang telah merenggut paling tidak 494.421 jiwa manusia (who,28/06/2020). Covid-19 membuat pemimpin banyak negara berlomba-lomba dalam membuat dan mengambil kebijakan untuk melindungi rakyatnya guna melawan musuh yang tak kasat mata ini.

Android

Dari sebagian besar negara, kebijakan Indonesia melawan musuh tak kasat mata terbilang cukup menimbulkan polemik disana-sini. Mulai dari polemik perbedaan kebijakan menangani Covid-19 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, polemik perbedaan kebijakan antar kementerian, polemik pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dianggap tidak efektif (kompas/09/05/2020), serta polemik terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Covid-19 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) yang hari ini konstitusionalitasnya sedang di uji di Mahkamah Konstitusi (MK), hingga polemik pemberlakukan new normal ditengah fakta empiris masih tingginya angka yang terinfeksi Covid-19 telah cukup memunculkan perasaan keluh-kesah masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

Keluh-kesah juga seakan melebarkan sayapnya tidak hanya pada polemik kebijakan penanganan covid-19, di bidang legislasi misalnya, riak-riak keluh-kesah masyarakat memunculkan protes bernada sumbang ihwal munculnya segerombolan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dianggap tidak representatif dan abai akan kondisi sulit masyarakat di tengah pandemi covid-19. Alih-alih fokus mengoptimalkan fungsi pengawasan DPR dalam mengawasi dana besar penanganan Covid-19, justru seolah-olah mengoptimalkan fungsi legislasi.

Gerombolan RUU yang memunculkan keluh-kesah tersebut mulai dari RUU “omnibus law” Cipta Kerja yang dianggap tidak demokratis, mengingat metode omnibus law banyak mengganti dan merubah norma beberapa UU dalam satu waktu. Padahal pada prinsipnya beberapa UU tersebut memiliki inisiatif politik hukum yang berbeda-beda secara ratio legis-nya serta mengatur subjek (adressat) yang berbeda-beda. Ditambah lagi sejumlah substansi pasal dalam RUU Cipta Kerja yang mengabaikan 31 putusan MK yang telah membatalkan sejumlah norma dalam beberapa UU yang justru dimasukan kembali dalam RUU Cipta Kerja, hingga potensi menerobos aspek formil pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU 12 Tahun 2011 yang menjadi kiblat dan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kedua, RUU Minerba yang hari ini telah disahkan menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020 dalam waktu singkat di tengah perjuangan masyarakat melawan Covid-19. Keluh-kesah satu dari beberapa pasal adalah soal jaminan perpanjangan kontrak karya (KK) atau Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa melalui pelelangan sebagaimana diatur dalam Pasal 169A memunculkan sinyal kuat keberpihakan pada kepentingan pelaku industri batubara. Sehingga keluh-kesah masyarakat yang muncul tak berlebihan, mengingat substansi perubahan UU Minerba tidak berbicara banyak tentang bagaimana pengelolaan dampak lingkungan akibat pertambangan dan perlindungan hak-hak kepada masyarakat di daerah yang terdampak pertambangan tersebut.

Ketiga, RUU MK yang substansinya mengatur pengangkatan dan pemberhentian hakim MK menjadi pertaruhan marwah sang pengawal konstitusi ini. Lebih jauh jika mencermati draf Naskah Akademik yang beredar, pada prinsipnya tidak memberikan jawaban secara akademik tentang legal reasoning apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis dan yuridis akan pentingnya merubah syarat umur untuk menjadi hakim MK yang semula dalam UU 24 Tahun 2003 minimal 47 tahun menjadi paling rendah 60 tahun, penghapusan periodesasi 5 tahunan masa jabatan hakim MK juga menjadi pertanyaan besar publik, terlebih hakim MK bukanlah hakim karir sebagaimana hakim dilingkungan Mahkamah Agung (MA) serta perpanjangan masa jabatan hakim MK hingga usia pensiun 70 tahun. Sejumlah substansi dalam RUU MK inilah yang mensiyalir sejumlah NGO yang tergabung dalam Koalisi Save Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai cara untuk “tukar guling” antara DPR, Presiden dan MK supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti revisi UU KPK dan Perppu Penangangan covid-19 yang telah disahkan menjadi UU yang hari ini di uji di Mahkamah Konstitusi.

Perlu untuk digarisbawahi adalah bukan agenda RUU MK yang pada prinsipnya harus ditolak, akan tetapi substansi yang ditermuat dalam RUU tersebutlah sebenarnya yang tidak menjawab problem hukum kontemporer judicial review di Indonesia. Mestinya RUU tersebut memberikan penguatan MK secara kelembagaan, misalnya memasukan hukum acara MK ketingkat UU yang hari ini masih diatur dalam tingkat peraturan MK (PMK). Lazimnya jika dibandingkan dengan hukum formil lainnya seperti hukum acara pidana, hukum acara perdata dan hukum acara TUN semuanya diatur dalam derajat UU. Lebih dari itu, pengujian peraturan perundang-undangan satu atap di MK juga penting untuk dibahas dalam RUU agar disparatis putusan judicial review antara MK dan MA tak terjadi lagi hingga pemberian kewenangan constitutional complaint jauh akan representatif untuk dilakukan pembahasan dalam substansi RUU MK guna mengoptimalkan peran MK dalam menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara.

Keempat, adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang memunculkan keluh-kesah akan kekhawatiran meredukasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Walaupun Jika dicermati RUU HIP secara mendetial, maka akan terlihat politik hukumnya adalah untuk memperkuat legitimasi keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang hanya dibentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) 7 Tahun 2018, tentu saja jika hanya diatur dalam tingkat Perpres bukan suatu hal sulit keberadaan BPIP akan dapat dengan mudah dibubarkan oleh Presiden terpilih selanjutnya.

Akan tetapi, pilihan isu politik hukum untuk memperkuat keberadaan BPIP seperti dikalahkan dengan munculnya konsep Trisila dan Ekasila dalam pasal 7 RUU HIP. munculnya pasal 7 RUU HIP ini seakan menurunkan derajat Pancasila ke tingkat UU. Bahkan lebih jauh, keberadaan pasal 7 RUU HIP seolah mengingkari hasil amandemen UUD NRI 1945 dengan meletakan Pancasila dalam pembukaan UUD NRI 1945 yang bersifat final.

Dalam kacamata yang lain, munculnya konsep Trisila dan Ekasila ini jika dikaitkan dengan ketiadaan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam konsideran mengingat RUU HIP memunculkan sinyal akan tumbuh-kembang kembali keberadaan PKI dan komunis. Sehingga unjuk rasa turun ke jalan beberapa hari yang lalu di tengah badai pandemi Covid-19 dalam memprotes RUU HIP harus dimakni sebagai ekspresi keluh-kesah masyarakat.

Oleh karena itu, agar keluh-kesah masyarakat tidak meluas maka menjadi penting segerombolan RUU di atas harus dihentikan atau ditunda pembahasannya dan dilanjutkan dengan membuka kran partisipasi publik dalam pembahasan selanjutnya. Tentu saja pembahasan tersebut dilakukan setelah pandemi covid-19 sudah melandai.

Ibarat gelinding bola salju, keluh-kesah masyarakat juga muncul ketika terjadinya ancaman teror, intimidasi hingga ancaman pembunuhan kepada panitia dan guru besar hukum tata negara Ni’matul Huda sebagai narasumber dalam kegiatan diskusi online yang mengangkat judul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Di Tinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan oleh Constitutional Law Society (CLS) beberapa bulan lalu, tentu saja suatu ketidakpahaman akan disiplin hukum tata negara tidak dapat dimaklumi jika diskusi akademik seperti ini dianggap sebagai makar. Ancaman terdapat ruang-ruang diskusi akademik seperti ini mestinya tidak terjadi dalam republik yang menganut paham demokrasi. Oleh karenanya menuntut penegak hukum untuk membongkar pelaku penebar teror, intimidasi dan ancaman pembunuhan merupakan keharusan agar kemerdekaan kebebasan akademik tetap terjaga.

Tak berhenti disitu, dalam alam demokrasi ditengah pandemi Covid-19 juga memunculkan keluh-kesah ketika ruang publik dikejutkan dengan pemangggilan Ismail Ahmad oleh Polres Kepulauan Sula atas postingan facebook yang mengunggah kalimat yang pernah diucapkan Presiden ke-4 Gus Dur soal tiga polisi jujur (kompas,19/06/2020). Kendati kasusnya telah dihentikan bahkan Polri sendiri meminta jajaranya untuk tidak reaktif menyikapi peristiwa tersebut. Paling tidak potret peristiwa yang menimpa Ismail Ahmad menjadi pelajaran akan pentingnya untuk membedakan sebuah joke sebagai kritik sosial dan sebuah bentuk penghinaan terhadap institusi.

Dalam peristiwa lain di tengah pandemi Covid-19, kenaikan BPJS berdasarkan Perpres 64 juga memunculkan keluh-kesah. Padahal jika ditarik kebelakang persoalan fraud BPJS dalam putusan MA No. 7 P/HUM/2020 juga belum terjawab sampai kini hingga defisit puluhan triliun berdasarkan hasil pemeriksaan audit dalam tubuh BPJS yang tidak dipublis ke masyarakat. Tidak hanya kenaikan tarif BPJS, sengkarut kontroversi program kartu prakerja yang berdasarkan hasil temuan KPK menemukan adanya konflik kepentingan antara platform digital dan lembaga pelatihan. Dalam perspektif antikorupsi, temuan ini adalah permasalahan yang signifikan yang dapat mengarah terjadinya praktik korupsi. Oleh karenanya sudah seharusnya Pemerintah meninjau kembali program kartu prakerja ini.

Bahkan dalam penegakkan hukum antikorupsi, keluh-kesah masyarakat muncul ketika Jaksa penuntut umum hanya menuntut 1 tahun terhadap terdakwa penyiraman mata Novel Baswedan. Padahal semestinya melakukan tindak pidana terhadap aparat penegak hukum merupakan alasan pemberatan sanksi pidana, bukan malah sebaliknya. Sehingga jelas tuntutan Jaksa penuntut umum yang mengakibatkan rusaknya organ tubuh tersebut sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan di masyarakat dan menjadi preseden buruk perlindungan negara terhadap aparat penegak hukum serta semangat pemberantasan korupsi di republik ini.

Selain itu, keluh-kesah masyarakat seakan memuncak ketika pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tetap dilaksanakan ditengah badai Covid-19 berdasarkan Perppu 2 tahun 2020 dan PKPU 5 tahun 2020. Walapun secara yuridis perhelatan Pilkada telah dipastikan dilaksanakan tahun ini, akan tetapi sampai hari tambahan anggaran Pilkada bagi penyelenggara belum dicairkan oleh Pemerintah (dpr/26/06/2020). Padahal tambahan anggaran tersebut penting bagi penyelenggara untuk memenuhi kebutuhan penyediaan alat pelindung diri (APD) di lapangan.

Iklan
Iklan