Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
Kota Banjarmasin menduduki peringkat pertama sebagai daerah dengan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tertinggi di Kalimantan Selatan (Kalsel). Menurut Kepala Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalsel Irfan Sayuti pada acara penutupan program pemagangan berbasis pengguna dan penyerahan penghargaan Siddhakarya tahun 2022 di Hotel Jelita, Banjarmasin, Selasa (13/12) siang.
Rupanya angka tertinggi PHK di Banjarmasin itu dibenarkan Kepala Dinas Koperasi UKM dan Tenaga Kerja (Diskopumker) Kota Banjarmasin, Isa Anshari. Ia memaparkan sampai dengan awal Desember 2022 tadi, jumlah tenaga kerja yang terdata mengalami PHK sebanyak 717 karyawan. Jumlah tersebut berasal dari sektor perdagangan jasa dan investasi sebanyak 505 kasus, sektor keuangan delapan kasus, sektor pertambangan 11 kasus, sektor infrastruktur utilitas dan transportasi 187 kasus, sektor pendidikan dua kasus, dan sektor lainnya empat kasus.
Belum lama tadi, Pemko Banjarmasin menggelar job fair bekerja sama dengan Pemprov Kalsel. Ada seribu lebih lowongan pekerjaan yang tersedia dalam job fair. Ia menjelaskan bahwa job fair untuk menanggulangi angka pengangguran di Banjarmasin yang persentasenya memang paling tinggi di Kalsel. Job fair ini menjadi bagian langkah pihaknya membuka bursa tenaga kerja kepada masyarakat. “Tercatat di Banjarmasin angka pengangguran mencapai 15 persen dari angkatan kerja,” ungkapnya.
Ia juga mengakui jumlah orang dengan usia produktif terus mengalami peningkatan pada 2022. Pihaknya berusaha menurunkan angka peningkatan tersebut. Selain dengan pergelaran job fair, juga masih melaksanakan berbagai pelatihan yang bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja. Mulai dari menjahit dengan mesin, membuat kue, las, dan pelatihan lainnya. Diskopumker mengadakan pelatihan juga sebagai upaya mengatasi kasus kemiskinan. Warga yang disasar mendapat pelatihan UKM adalah pengangguran dan terdampak PHK.
Dosen Fakultas Ekonomi (Fekon) Universitas Islam Kalimantan (Uniska) MAB Banjarmasin, Mohammad Zainul menjelaskan secara teoritis banyak faktor. Misalnya ada mismanajemen pada perusahaan yang tidak mampu menyesuaikan keadaan. Misalnya tidak mampu membaca kebutuhan pasar, dan minimnya inovasi. Ini menyebabkan menurunnya produktivitas dan kerugian berkelanjutan. Ujung-ujungnya perusahan tidak bisa membayar karyawan. Jalan terakhir melakukan PHK.
Resesi ekonomi yang tengah melanda dunia dituding menjadi penyebab gelombang PHK massal startup raksasa. Namun, banyak pihak menepis dugaan ini. Pengaruh resesi tentu ada, tetapi bukan sebagai faktor tunggal dan dominan. Model perusahaan startup merupakan faktor dominan sehingga bisnis ini rapuh dan mudah goyah. Pendanaan perusahaan startup sangat tergantung pada suntikan dana dari investor. Namun, sebelum menyuntikkan investasi, investor akan melihat kinerja perusahaan terlebih dahulu yang tercermin dari pendapatan perusahaan.
Dalam kondisi ekonomi yang gonjang-ganjing tidak menentu seperti sekarang, investor bersikap lebih hati-hati. Jika perusahaan menghasilkan profit, barulah dana investasi akan diguyurkan. Jika tidak profit, dana akan sulit cair. Setelah puncak pandemi, sebagian aktivitas manusia beralih dari online ke offline. Hal ini berpengaruh terhadap transaksi digital.
Ketika transaksi turun, agar tetap bisa profit, perusahaan startup memilih melakukan efisiensi. Efisiensi yang paling memungkinkan adalah mengurangi jumlah karyawan, karena perusahaan digital tidak punya aset gedung, mesin, kendaraan, dan sebagainya, sebagaimana perusahaan konvensional. Aset perusahaan startup adalah sumber daya manusia dalam jumlah yang banyak. Oleh karenanya, PHK besar-besaran dilakukan.
Selain itu, perusahaan dalam alam kapitalisme senantiasa bersaing ketat untuk memenangkan bisnis dan memperoleh keuntungan besar. Akibatnya, perusahaan melakukan segala cara untuk memenangkan persaingan, meski risikonya besar. Demi memperbesar valuasi, perusahaan startup merekrut karyawan secara jor-joran. Akibatnya, ketika respons pasar tidak setinggi harapan, dilakukanlah pengurangan karyawan.
Tambahan lagi, dalam kondisi pasar tidak setinggi yang diharapkan, manajemen “besar pasak daripada tiang” yang dipakai dalam bisnis startup membuat beban perusahaan makin berat. Praktik “bakar duit” untuk iklan dan promosi membuat pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Ditambah lagi gaya hidup manajemen yang “selangit” demi kesan “wah” bagi value perusahaan, ternyata malah jadi “bunuh diri” finansial.
Inilah karakter bawaan ekonomi kapitalisme yang selalu menciptakan bubble ekonomi. Kondisi ini akan terus berulang sebab fondasi sistem ekonomi kapitalisme dibangun dari struktur ekonomi semu, yaitu sektor nonriil. Pakar Ekonomi Syariah Dwi Condro, P.hD. menjelaskan, pertumbuhan sistem ekonomi kapitalisme bertumpu pada tiga pilar utama. Pertama, sistem mata uang kertas yang tidak di-back up emas sehingga basisnya pada kepercayaan (trust), bukan nilai intrinsiknya. Kedua, sistem utang-piutang berbasis bunga (interest). Ketiga, sistem investasinya berbasis perjudian (spekulasi). Sistem investasi ini diwujudkan dengan bentuk jual beli saham, sekuritas, dan obligasi di sistem pasar modal.
Ketiga pilar ekonomi ini memang mempercepat pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhannya semu. Pertumbuhan ekonomi terjadi hanya berputar-putar pada uang kertas, kertas utang dan saham; tidak banyak berkontribusi besar pada ekonomi riilnya, kecuali hanya sedikit. Ini pula yang melanda perusahaan startup saat ini sehingga hanya dengan isu perang, gelembung ini bisa meledak.
Walhasil, pondasi bisnis startup sangat rapuh dan membutuhkan dana yang makin besar dan makin besar hingga kemudian rontok ketika tidak mampu lagi “bakar duit”. PHK pada perusahaan startup merupakan fenomena yang wajar terjadi dalam sistem kapitalisme. Sistem ini menuhankan materi sehingga bisnis akan dijalankan semata demi meraih materi sebesar-besarnya. Bisnis akan terus dibesarkan meski fondasinya rapuh, termasuk fondasi pendanaannya.
Islam adalah sebuah din yang sempurna, memiliki aturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam memiliki metode untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Negara secara langsung bertanggung jawab dan memberi jaminan kepada setiap individu rakyat dalam hal sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, termasuk pendidikan. Pemenuhan hal tersebut merupakan masalah pelayanan umum (riayah asy-syuun al-ummah).
Dalam Islam masalah pekerjaan diatur secara rinci. Pekerja dan pemberi kerja diikat dalam akad ijarah. Perjanjian keduanya harus saling menguntungkan. Tidak boleh ada yang melakukan kezaliman. Pengusaha akan mendapatkan keuntungan dari kerja yang dilakukan pekerja dan sebaliknya, buruh akan mendapatkan imbalan dari hasil kerjanya. Dalam penentuan imbalan, Islam memiliki ketentuan khusus. Dalam kitab Nidham Al Iqtishadi tulisan Syekh Taqiyudin an-Nabani, dijelaskan bahwa upah pekerja adalah kompensasi dari jasa pekerjaan yang sesuai dengan nilai gunanya.
Penentuan upah ini tidak boleh diserahkan pada pengusaha, penguasa, pekerja atau keumuman masyarakat, tetapi kepada ahlinya, yaitu orang yang punya keahlian menentukan upah.
Besarnya upah ini tidak boleh dibuat berdasarkan kemampuan produksi seorang pekerja, memperkirakan sesuai batas taraf kehidupan yang paling rendah atau dikaitkan dengan harga barang. Semua hal itu tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan pekerja diberhentikan ketika berkurangnya produksi barang.
Jadi, pekerja dengan akad ijarah bukanlah bagian dari biaya produksi. Banyak atau sedikit barang produksi tidak akan mempengaruhi gaji pekerja. Dengan demikian pekerja tidak akan terkena PHK massal hanya karena terjadi penurunan permintaan barang atau ekonomi lemah. Selain masalah akad ijarah, Islam membagi kekayaan menjadi tiga bagian, kekayaan negara, kekayaan pribadi dan kekayaan umum.
Metode pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan umat tersebut tentu dengan menerapkan ekonomi syariah (sistem ekonomi Islam) dalam pola hubungan ekonomi global melalui Khilafah Islamiah. Upaya membangun sistem ekonomi syariah yang mandiri dapat diperincikan antara lain sebagai berikut:
1. Islam mendorong setiap orang untuk bekerja, khususnya para lelaki yang berkewajiban menafkahi keluarganya. Negara akan memfasilitasi penciptaan lapangan pekerjaan di berbagai sektor yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat;
2. Pengaturan dan pemisahan yang jelas status kepemilikan harta, meliputi kepemilikan individu, umum, dan negara;
3. Pengelolaan harta yang mencakup pemanfaatan dan pengembangan harta harus dikelola berdasarkan hukum syarak. Mendahulukan yang wajib, sunah, kemudian mubah. Tidak boleh mengelola harta secara haram, contohnya mengembangkan riba;
4. Distribusi kekayaan, tidak boleh ada penimbunan uang, emas dan perak, serta modal, yaitu jika ditimbun bukan untuk membiayai sesuatu yang direncanakan;
5. Memajukan sektor riil, yaitu sektor yang menghasilkan barang dan jasa karena perekonomian dalam Islam berbasis sektor riil (lihat QS 2: 275). Kegiatan sektor riil meliputi pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Sektor moneter (keuangan) hanya berfungsi sebagai alat tukar untuk menunjang sektor riil, tidak sebagai sarana investasi dan spekulasi;
6. Menciptakan mekanisme pasar syariah yang adil. Negara diperbolehkan melakukan kerja sama dengan negara-negara lain jika secara politik negara tersebut terikat perjanjian damai dengan Khilafah. Khilafah diharamkan menjalin kerja sama dengan pihak asing yang sifatnya dapat merugikan dan membahayakan kemaslahatan umat, seperti utang luar negeri, penanaman modal asing yang menjerat, hak paten, dsb. Mekanisme pasar dalam Islam tidak mengharamkan intervensi negara, seperti subsidi dan penetapan komoditas yang boleh diekspor, tetapi negara tidak melakukan intervensi dengan mematok harga;
7. Iklim investasi harus memenuhi akad syirkah (perseroan) dan sistem pengupahan (ijarah)
yang sesuai syariat. Haram melakukan investasi dan pinjaman yang mengandung riba;
8. Teknologi digital akan dikembangkan sebagai sarana kemaslahatan umat.
Hanya saja, semua hal tersebut tidak akan bisa menyelesaikan masalah ekonomi secara paripurna apabila sistem ekonomi Islam tidak diterapkan secara menyeluruh. Sistem ekonomi Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus disokong oleh sistem pemerintahan yang menaunginya, yakni sistem Islam (Khilafah).