Oleh: Ahmad Barjie B
Penulis Buku ‘Wanita, Keluarga dan Pendidikan Anak’
Perzinaan memang sudah terjadi sejak zaman dulu, dalam berbagai bentuk dan modusnya. Hal ini tidak terlepas dari adanya nafsu syahwat pada diri manusia, di mana banyak yang dapat disalurkan secara benar melalui perkawinan, dan banyak pula yang disalurkan secara salah melalui perzinaan dan sejenisnya.
Agama Islam tidak saja melarang perzinaan, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada perzinaan. Yang tersebut terakhir ini seperti pornografi dan pornoaksi yang marak sekarang. Apabila kita secara sengaja atau tidak sengaja membuka internet, maka di sana banyak sekali situs atau aplikasi yang memperlihatkan pornografi dan pornoaksi. Wanita-wanita cantik, muda, seksi, mulus, dari berbagai bangsa dengan bangga memamerkan tubuhnya dengan berbagai gaya.
Pemerintah atau pihak terkait tampaknya memang sudah menghapus adegan-adegan seksual dari situs-situs online, tetapi pornografi dan pornoaksi tampaknya tetap saja dibiarkan bebas bertebaran, dan seolah merupakan hal biasa. Sakralitas kelamin dan aurat wanita menjadi hilang sama sekali. Organ tubuh wanita yang sejatinya ditutup dan disembunyikan, malah dibuka dan diobral begitu saja.
Keadaan ini dapat mendorong orang kepada perzinaan dan protitusi, tidak saja bagi mereka yang belum memiliki pasangan, bahkan yang sudah punya pasangan pun tergoda untuk mencari sensasi seksual kepada selain pasangannya. Tidak mustahil pula banyak orang akan tenggelam dalam khayalan-khayalan yang tidak perlu, sehingga waktu tidur dan konsentrasi kerjanya terganggu.
Kekosongan Hukum
Dalam soal perzinaan, prostitusi berbayar maupun suka sama suka, negara kita sepertinya masih mengalami kekurangan aturan hukum. Sebab aturan hukum KUHP warisan kolonial Belanda hanya menyasar pelaku bisnis prostitusi, sementara untuk perzinaan biasa, hanya pria atau wanita beristri saja yang dapat dikenakan hukuman, itu pun masuk ranah delik aduan, bukan delik biasa. Apabila ada keberatan dari pasangannya barulah hukum berbicara. Apabila tidak ada aduan, hukum tidak bisa menjaringnya.
Jika masalah perzinaan dan (termasuk di dalamnya prostitusi) diukur dari sudut pandang moral, sehingga muncul predikat benar atau salah, maka bagi negara hukum seyogyanya kembali kepada aturan hukum. Dan jika aturan tersebut tidak ada, mau tak mau harus kembali kepada aturan agama
Dalam kacamata agama, perzinaan suka sama suka maupun berbayar, kedua pelaku dianggap bersalah. Artinya pria dan wanitanya sama-sama bersalah, melanggar hukum hadd zina, yang di dalam aturan hukum pidana Islam dikenakan dera/pukulan jika kedua pelaku belum pernah menikah, dan dikenakan rajam jika kedua pelaku sudah pernah atau sedang menikah.
Pihak wanita bisa dibebaskan dari hukuman, jika kasusnya tergolong perkosaan, di mana si wanita dipaksa dan tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya. Dalam kasus perkosaan, hanya pihak lelaki yang dikenakan hukuman. Jenis dan berat ringannya hukuman tergantung kepada statusnya, apakah ia masih perjaka atau sudah menikah.
Di luar hadd perzinaan juga ada yang namanya hukuman ta’zir, yaitu hukuman denda, penjara atau teguran keras kepada pelaku, misalnya terhadap pria dan wanita yang mendekati zina, bermain-main pornografi dan pornoaksi dan sejenisnya, tetapi tidak sampai berzina. Jenis hukuman ini ditentukan oleh hakim atau pengadilan yang memutusnya. Karena itu Islam melarang, tak hanya perzinaan, tetapi juga mendekati zina dalam berbagai bentuknya.
Berdasarkan hal di atas, kita sependapat dengan pihak-pihak yang menyatakan bahwa dalam kasus begini, pria hidung belang harus dihukum. Namun karena dalam perzinaan berbayar ada beberapa pihak yang terlibat, yaitu wanita penyedia jasa, mucikari penyalur jasa dan pria pemakai jasa, maka ketiganya mesti dikenai sanksi hukum yang setimpal.
Perzinaan berbayar hanya bisa terjadi apabila ada penyedia (supply), orang yang memerlukan (demand), dan penyalur atau makelar. Kalau soal offline dan online itu hanya teknis. Di masa jahiliyah ada tanda bendera di rumah wanita penghibur, selanjutnya ada lokasi WTS, tempat hiburan raport merah dan ada warung remang-remang, era sekarang menggunakan perangkat teknologi. Makin tinggi teknologi, informasi prostitusi tak lagi manual, tetapi sudah online. Tapi secanggih apa pun komunikasi udara dan dunia maya, tetap dilanjutkan dengan eksekusi di darat.
Gaya Hidup
Saat ini diduga banyak sekali wanita muda dan cantik yang menyediakan dirinya untuk memberikan pelayanan seksual berbayar dengan berbasis online, dengan nilai bayar Rp20 juta, Rp50 juta, Rp80 juta hingga Rp100 juta sekali kencan. Kasus-kasus yang muncul selama ini hanya sebuah fenomena gunung es.
Prostitusi berbayar seolah sudah dianggap sangat biasa, cenderung menjadi bisnis yang dilegalkan oleh para pegiat dan pelakunya. Berarti di sini terjadi retardasi mental dan moral. Di pihak wanitanya mungkin terkena gaya hidup hedonis-materialis, sehingga harga dirinya bisa ditukar dengan segepok uang, sementara di pihak prianya ingin berpetualang dalam sensasi seksual tanpa keberatan mengeluarkan uang sebanyak apa pun. Sepanjang mereka mau dan mampu seolah tidak ada yang bisa menghalangi.
Kalau sudah begini, kita akan kesulitan mengidentifikasi siapa yang salah dan salah siapa. Sama sulitnya ketika kita menyusuri mana tuanya ayam dengan telur. Orangtua mungkin bersalah karena salah didik terhadap anaknya. Tetapi kalau orangtua sudah menasihati secara optimal, berarti anak wanitanya sendiri yang salah.
Si wanita salah, mungkin karena pengaruh pergaulan dan gaya hidup, atau hidup gaya yang semakin mengedepankan tampilan fisik dan materi, sehingga segala cara dihalalkan untuk mendapatkan uang, harta dan kesenangan. Pergaulan dan gaya hidup begini adalah produk sistem yang tidak lagi memihak kepada nilai-nilai etika dan moral agama, baik dan buruk, benar dan salah, halal dan haram dan sebagainya.
Mengatasi hal ini, tidak bisa mengandalkan dan mengembalikan semuanya kepada aturan dan perangkat hukum. Bahkan sekiranya ada aturan dan pelaku diadukan, tak jarang aparat hukum kita juga tumpul. Betapa banyak peraturan hukum di negara kita, tetapi pelanggaran hukum terus terjadi. Sosiolog UI Prof Dr Sarjono Jatiman (alm) mengatakan, di negara ini sepertinya makin diatur makin tidak teratur, karena manusianya tidak mau diatur. Pepatah Belanda mengatakan, het recht hink achter de feiten aan (Undang-Undang selalu terseok-seok mengejar peristiwa yang seyogyanya dia atur).
Sudah waktunya kembali kepada basis keluarga yang dibangun di atas ketaatan beragama. Kebahagiaan itu terletak pada keluarga, wanita punya suami, dan suami punya istri. Bagi pria yang berkemampuan lebih dan bisa adil dalam urusan materi, agama juga membolehkan poligami. Uang sebanyak di atas, bagi orang biasa bisa digunakan untuk menikah seumur hidup. Istri yang tidak lagi bisa maksimal melayani suami, sementara suaminya masih punya gairah tinggi dan mampu di segi ekonomi, hendaknya tidak keberatan menyuruh suaminya menikah lagi, daripada suaminya terjerumus ke dalam perzinaan dan perselingkuhan secara sembunyi-sumbunyi.
Para suami yang menjadi pria hidung belang, apalagi tergolong kaya, mungkin sudah punya istri cantik, tetapi kalah menarik. Mungkin juga ia merasa kurang bahagia dalam rumah tangganya sendiri. Ada baiknya para istri melayani suaminya sehangat mungkin, tidak kalah dengan wanita mana pun di luar sana. Kalau keluarga bahagia, kita yakin kasus-kasus perzinaan, perselingkuhan dan sejenisnya bisa dikurangi, meski tak bisa dihilangkan sama sekali. Wallahu A’lam.