Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Jebakan PayLater, ‘Beli Sekarang Bayar Belakangan’

×

Jebakan PayLater, ‘Beli Sekarang Bayar Belakangan’

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja

Seiring berkembangnya teknologi digital, termasuk di sektor keuangan, diantaranya adalah paylater atau bayar nanti. Tidak sedikit yang terjebak dengan tawaran kemudahan transaksi ini, hingga muncul budaya konsumtif yang berujung dengan tumpukan utang.

Baca Koran

banyak layanan atau aplikasi yang menyediakan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau Beli Sekarang Bayar Belakangan. Fitur ini sangat memudahkan sebagian orang yang ingin membeli barang sebelum mereka memiliki uang, pembayaran bisa dilakukan belakangan layaknya menggunakan kartu kredit. Produk dari fintech ini menawarkan kemudahan mendapatkan pinjaman (berutang) untuk membeli barang idaman secara cepat dan instan. Namun, di balik kemudahan tersebut, belum ada regulasi yang mengikat dari pemerintah yang dapat mencegah dampak negatif yang menghantui dan bersifat jangka panjang.

BNPL berkembang signifikan sejak 2016 di seluruh dunia. Pesatnya BNPL di Indonesia sejak 2020 lahir sebagai reaksi dari berkembangnya e-commerce. Dulu penundaan pembayaran menggunakan kartu kredit mensyaratkan hal yang sangat detail seperti penilaian kelayakan melalui Bank Indonesia Checking (BI Checking). Kini hadirnya BNPL memberi penawaran kemudahan yang menggiurkan pengguna, baik pendaftaran dan perolehan promosi terhadap potongan harga produk.

Berdasarkan riset KataData Insight Center, dari 5.204 responden yang di survei, sebanyak 16,5 persen adalah gen Y atau milenial yang banyak menggunakan fitur PayLater. Sementara dari gen Z jumlahnya berkisar di angka 9,7 persen. Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia (Redaxi) Irmawati Puan Mawar menjelaskan, skema PayLater mirip dengan kartu kredit yang memberikan batas berbelanja. Namun, skema ini memberikan jaminan yang lebih rendah dari kartu kredit sehingga mampu menarik minat konsumen.

Selain itu, kelebihan yang ditawarkan PayLater adalah kemudahan transaksi, cepat, dan efisien. “Umumnya, kalangan milennial membeli gawai (ponsel atau laptop) dengan menggunakan fitur PayLater, sementara gen Z menggunakannya untuk membeli produk mode dan aksesoris,” ujar Irmawati dalam webinar “Mengulik Kegemaran Generasi Muda terhadap Sistem Pembayaran Digital ‘Pay Later’”, Jumat (11/11/2022) di Makassar, Sulawesi Selatan.

Baca Juga :  Desakan Me-nuklir Gaza, Ketidaklayakan Sistem Sekuler Mengatur Dunia

Ia menambahkan, PayLater memiliki cara kerja di mana konsumen membeli barang atau jasa di merchant yang menyediakan fasilitas ini. Konsumen memiliki tenor pembayaran sesuai kebutuhan, misalnya 30 hari sampai 12 bulan. Konsumen kemudian akan melakukan pembayaran secara berkala sesuai tenor dan suku bunga yang diberlakukan.

Fenomena jebakan Paylater pada para pemuda ini menandakan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol diri. Mereka terjebak pada penawaran yang kelihatannya mudah, apalagi dengan model kehidupan mayoritas milenial dan Gen Z yang terpengaruh hedonisme dan konsumerisme, menjadikan mereka sebagai ladang subur bagi rentenir gaya baru.

Para kapitalis (baca: rentenir) mencari celah setiap kesempatan untuk meraup untung, salah satunya dengan menggunakan perkembangan teknologi.

Dalam kemajuan dunia digital, mereka membuat aplikasi pinjaman untuk “menggaet” nasabah sebanyak-banyaknya. Jadi, demi mendapatkan banyak pelanggan, mereka mempermudah persyaratan pengajuan Paylater. Cukup dengan verifikasi data dan persetujuan pengguna. Menjamurnya pinjaman seperti ini juga tidak lepas dari peran pemerintah. Mereka membolehkan berbagai fintech berdiri dengan syarat terdaftar di OJK.

Selain itu, kisaran bunga yang rendah juga dinilai dapat membantu masyarakat mengatasi kesulitannya untuk membeli barang. Dengan makin mudahnya pengurusan menjadi pengguna Paylater, akhirnya cara seperti ini dianggap hal yang biasa. Padahal, jika didalami lagi, konsep pinjaman semacam Paylater adalah solusi tambal sulam dari kesulitan masyarakat yang tidak memiliki uang cukup untuk membeli sesuatu.

Dalam kapitalisme, hal ini adalah kesempatan untuk mengunduh laba. Sedangkan bagi pengguna, ini adalah jebakan kaum kapitalis yang membuat hidup makin melarat. Konsep pinjaman seperti ini tentu tidak ada dalam Islam. Islam mengharamkan riba (tambahan). Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS Al-Baqarah : 275).

Baca Juga :  KINERJA LEGISLATID DI DAERAH

Pinjaman Paylater mayoritas mengandung riba. Hal ini dapat dilihat dari adanya perjanjian bunga pinjaman (meski rendah) dan terkena denda jika telat membayar. Selain itu, Allah pun telah mengancam pemakan riba, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Oleh karenanya, pemerintahan Islam akan mengondisikan masyarakatnya berkepribadian Islam. Dengan demikian, sebelum melakukan aktivitas, mereka akan menyandarkan segalanya sesuai dengan Islam. Kepribadian Islam akan menghindarkan masyarakat, termasuk pemuda, dari pola hidup hedonistik atau konsumtif. Mereka akan membeli sesuatu sesuai kebutuhan, bukan keinginan, termasuk ketika bertransaksi pinjam-meminjam.

Terkait fintech, Islam akan mengatur sesuai pandangan Islam: tidak boleh memungut riba, akad pinjam meminjam harus jelas, tujuannya tidak boleh melanggar syariat. Islam pun menegaskan pinjam-meminjam hanya dilakukan untuk ta’awun atau tolong menolong, bukan untuk mencari keuntungan. Agar tidak terjebak pada gaya hidup “buy now, pay later” pemuda perlu memiliki pijakan kuat, yaitu akidah Islam.

Akidah dapat membentuk mereka memiliki kepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikap inilah yang akan menjadi tameng dari gempuran gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Namun, untuk mewujudkan itu tentu tidak bisa sendirian. Perlu adanya sinergi yang baik antara orang tua, lingkungan masyarakat, sekolah, dan negara.

Iklan
Iklan