Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

MAKNA FILOSIFIS DEWA RUCI

×

MAKNA FILOSIFIS DEWA RUCI

Sebarkan artikel ini

Oleh : CAKRAWALA BINTANG

Melihat perkembangan Tasauf dalam pandangan akademis, menurut Prof Purbotjaroko dan Dr Stutterheim, orang hanya dapat memahami “Dewa Ruci” bila ia memiliki latar belangilmu tasauf. Merujuk pada paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibnu Arabi (dalam buku Dewa Ruci/Misteri Air Kehidupan oleh Imam Musbikin). Bahkan Purbotjaroko mengatakan, bahwa nilai sastra Dewa Ruci itu besar nilainya sebagai buku tasauf. Dikatakan sebagai tidak begitu penting. Bagi kebanyakan orang Jawa, kalangan yang tua, merupakan sumber ajaran kejawen, sebagai tujuan mencapai ilmu kesempurnaan.

Baca Koran

Jika dalam kisah Bima itu adalah mencari “tirta pawitra”, dalam cerita Dewa Ruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani “perjalanan bathin” guna menemukan identitas dirinya atau menari yang dinamakan “sangkan paraning dumadi” (asal-dan usul tujuan hidup manusia). Atau ada yang mengatakan dengan “manunggaling kawula Gusti”, dalam makna bagi penulis adalah sejauh mana manusia mampu mendekat kepada Tuhannya. Karena pada dasarnya antara Tuhan dan makhluk tidaklah pernah sama hakikatnya. Tuhan tetap tuhan, serta manusia atau hamba tetaplah hamba. Karena itu hawa nafsu yang sangat mendominasi atau keinginan kuat pada hasrat manusia, menyatu dengan Tuhan seakan sudah menjadi penguasa, lupa bahwa semua itu hanyalah bisikan setan semata.Di mana setan terus berusaha untuk memasukkan manusia ke dalam neraka,dengan menjadikannya tersesat dari kebenaran yang nyata.

Konsep Ketuhanan yang terus bergulir sampai saat ini, tentulah semakin banyak bahan dan literatur serta perbandingan untuk lebih dekat dengan Tuhan yang disebut dengan takwa. Takwa adalah merupakan target tertinggi manusia, dimana mereka yang dengan itu lebih dekat kepada Tuhannya. Karena itulah adalah istilah perjuangan dan saling berlomba serta bersegera kepada Tuhannya. Mereka yang sangat mengenal “Tuhannya” tentunya akan menjadikan itu sebagai ilmu yang tersendiri, yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Sehingga dengan itulah, surga bertingkat-tingkat, sesuai pengetahuan seseorang di dalam menginterprestasikan Al-Qur’an.

Baca Juga :  Menolak "Pikun" Kecurangan Pemilu

Maka dengan perbandingan Bima mencari dirinya sendiri itu telah menempuh tahapan, dengan setidaknya empat tahap. Tahapan yang banyak diketahui orang, yaitu tahap Syariat, kemudian Tharikat, Hakikat dan Ma’rifat. Semuanya itu memerlukan waktu, sehingga menjadi pengalaman pribadi sendiri. Bahkan disebutkan jika semua itu ada pada symbol kepala.Di mana syariat seperti pada mata, kemudian Tharikat itu pada telinga, kemudian hakikat pada hidung. Dan ma’rifat itu pada mulut. Pada mulut adalah seperti pada surat Ar-Rahman, artinya mereka yang pandai berbicara, tentunya semutlaknya adalah mereka yang asal-usulnya diciptakan oleh Allah, yang telah diajari Al-Qur’an oleh sang Rahman.

Seseorang itu juga berdakwah dengan karena pengalamannya, sebagaimana dalam surat Adh-Dhuha, bahwa nikmat yang telah diterima hendaklah disampaikan. Karena itu, sebagai ciptaan Allah SWT adalah perlombaan serta bersegera kepada Allah SWT belum selesai, karena itu siapakah anda?

Iklan
Iklan