Oleh Dhimas Budi Pratama
MINGGU malam, 5 Agustus 2018, tepatnya pada pukul 19.46 Wita, seismograf milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merekam kurva gempa dengan kekuatan 7,0 skala Richter.
Episentrum gempa terdeteksi berada pada 18 kilometer barat laut Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dengan kedalaman 15 kilometer. Getarannya terasa hingga Pulau Bali dan Sumbawa.
BMKG menyimpulkan titik gempa terletak di daerah pedalaman, dekat Desa Loloan, Kabupaten Lombok Utara. Patahan lempeng Bumi akibat gempa menyebar ke arah utara menjulur hingga ke dasar laut.
BMKG pun kala itu mengeluarkan peringatan tsunami. Kondisi demikian memaksa warga eksodus ke dataran tinggi. Plang jalur evakuasi sudah tak dihiraukan lagi karena bayang pilu tsunami Aceh 2004 turut menghantui.
Dari periode gempa yang terekam terjadi ratusan kali secara berkala, tercatat sedikitnya ada 564 orang meninggal. Ribuan bangunan ambruk dan ratusan ribu orang mengungsi. Dalam peristiwa itu pemerintah mencatat kerugian materiil sedikitnya Rp7 triliun.
Bencana alam 6 tahun silam tersebut ternyata masih meninggalkan trauma bagi Sri Wahyuni, perempuan paruh baya asal Gerung, Kabupaten Lombok Barat.
Bersama anak cucu, Sri telah lama menetap di samping gedung tempat evakuasi sementara (TES) atau Shelter Tsunami yang berada dekat dengan kawasan Pelabuhan Bangsal, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Hingga kini, kondisi bangunan bertingkat tiga lantai tersebut masih menyisakan bekas keganasan gempa tahun 2018. Dari puluhan pilar gedung yang menjulang tinggi, di antaranya terlihat retak dan menampilkan jeroannya, begitu pula dengan kondisi dinding.
Terdapat pula ramp atau jalur pengganti anak tangga dalam kondisi sangat memprihatinkan: menggantung dan rentan roboh. Tak sedikit juga di sekitar gedung terdapat bongkahan dinding bata berserakan.
Siapa pun yang melintas di sekitarnya, pasti merasa prihatin melihat kondisi Shelter Tsunami. Tak terkecuali bagi Sri. Rasa khawatir menyelimuti setiap melihat anak cucunya sedang asyik bermain dan beraktivitas di sekitar gedung.
“Ngeri kita lihat bangunannya, Pak, apalagi di sini banyak anak bermain,” ujar Sri waswas.
Sri berharap Pemerintah bisa segera mengambil langkah konkret untuk mengurus gedung Shelter Tsunami yang sudah lama terbengkalai, mengingat sudah beberapa kali ia melihat pihak Pemerintah datang mengecek, namun belum juga ada tindak lanjut perbaikan.
“Kalau orang datang mengecek, itu sudah berapa kali kami lihat, tapi belum ada perubahan,” katanya.
Pelaksanaan Proyek
Proyek pembangunan gedung TES atau Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara dibangun pada tahun 2014 di bawah kendali Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (Satker PBL) Provinsi NTB pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI.
Pembangunan gedung dilaksanakan Kementerian PUPR RI bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai desain teknis.
Shelter Tsunami yang berada di Kabupaten Lombok Utara tersebut merupakan salah satu dari 12 proyek pembangunan skala nasional yang berlangsung pada periode 2014–2015.
Selain dirancang untuk menampung sementara warga pada saat muncul peringatan bencana tsunami, gedung ini juga dapat dimanfaatkan warga sebagai balai pertemuan dan tempat ibadah atau menara pandang.
Kala itu, Pemerintah menyiapkan dana APBN senilai Rp20,9 miliar. Proyek ini dikerjakan PT Waskita Karya dengan anggaran Rp19 miliar. Sesuai kontrak kerja, proyek dimulai 21 Juli 2014 dalam waktu pelaksanaan 164 hari kalender kerja.
Adapun konsultan perencana dari gedung yang dapat menampung 3.000 orang tersebut adalah PT Qorina Konsultan Indonesia dengan konsultan pengawas dari CV Adi Cipta.
Peletakan batu pertama dari pelaksanaan proyek ini digelar bersama Pemerintah Kabupaten Lombok Utara, saat itu Najmul Akhyar menjabat sebagai bupati.
Dalam pengerjaan, gedung terbangun dengan struktur beton bertulang dan dinding bata merah. Proyek dikerjakan di atas lahan dengan luas sekitar 1 hektare dengan tinggi bangunan mencapai 25 meter.
Proyek pembangunan gedung itu dilengkapi dapur umum dengan kelengkapan MCK (mandi, cuci, kakus), serta plang jalur evakuasi yang terpasang di area gedung hingga di setiap sudut jalan sekitar kawasan Pelabuhan Bangsal.
Sebagai pelengkap sarana evakuasi sementara, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTB pada tahun 2015 turut menyisihkan anggaran daerah untuk penambahan ruangan pada setiap lantai dan pemasangan keramik pada lantai atap, serta pagar bertembok yang mengitari area gedung.
Sebelum ada penambahan, gedung ini sempat dimanfaatkan untuk penampungan korban banjir yang telah mengakibatkan rumah di perkampungan warga terendam setinggi 1 meter.
Kondisi kala itu memaksa warga yang menjadi korban bencana pergi meninggalkan rumah dan mengungsi ke gedung Shelter Tsunami. Musibah banjir terjadi pada 27 Desember 2014.
Selanjutnya, pada 6 Februari 2015, gedung ini kembali dimanfaatkan untuk kegiatan penyuluhan yang diajukan Sekolah Tinggi Kesehatan (Stikes) Mataram. Pemanfaatan gedung itu berlangsung pada masa pemeliharaan 180 hari kalender kerja.
Aprialely Nirmala selaku Pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek dari Satker PBL Provinsi NTB turut mengetahui dan menyetujui perihal pemanfaatan gedung tersebut.
Kemudian, pada 3 Maret 2017, usai masa pemeliharaan selesai, Shelter Tsunami yang masuk dalam barang milik negara (BMN) ini dihibahkan kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara atas persetujuan Presiden RI Joko Widodo melalui Kementerian Sekretaris Negara RI.
Persetujuan Presiden RI ditindaklanjuti Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR RI dengan membuat naskah hibah BMN dan berita acara serah terima Shelter Tsunami kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara pada 16 Juni 2017.
Dalam Surat Nomor 311/BA/DC/2017, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR RI Ir. Sri Hartoyo sebagai pihak pertama bersama Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar menandatangani naskah hibah dan berita acara serah terima Shelter Tsunami tersebut.
Pemerintah Kabupaten Lombok Utara sebagai pihak kedua sepakat melaksanakan kewajiban mencatat BMN Shelter Tsunami sebagai aset barang milik daerah (BMD) dan melakukan pemeliharaan serta pengoperasian termasuk perawatan dengan biaya dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Namun, pascagempa tahun 2018 terjadi, gedung Shelter Tsunami mengalami kerusakan yang cukup parah. Pemerintah Kabupaten Lombok Utara melalui Djohan Sjamsu selaku bupati mengajukan permohonan bantuan optimalisasi dan fungsionalisasi Shelter Tsunami kepada Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR RI pada 14 Juni 2021.
Kasus Hukum
Sebelum terjadi gempa tahun 2018, Polda NTB tercatat pernah melakukan penyelidikan terhadap proyek pembangunan Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara pada tahun 2015.
Kepolisian kala itu menggandeng ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur, untuk mengecek struktur bangunan.
Namun, dari hasil gelar perkara pada tahun 2016, Polda NTB menyatakan tidak melanjutkan proses hukum dari dugaan kekurangan volume pekerjaan yang muncul dalam pekerjaan proyek tersebut.
Lama menghilang kabar, pada 8 Juli 2024 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa proyek pembangunan Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara telah masuk penyidikan sejak dimulainya penanganan pada tahun 2023.
Dalam penyidikannya, KPK mengungkapkan bahwa sudah ada penetapan dua tersangka. Meskipun belum menyebut identitas lengkap keduanya, KPK memberikan kisi-kisi bahwa tersangka merupakan penyelenggara negara dan pelaksana proyek dari kalangan BUMN.
Kerugian keuangan negara yang muncul dari penyidikan ini mencapai Rp19 miliar berdasarkan hasil penghitungan lembaga auditor.
Dalam proses penyidikan, KPK telah melakukan serangkaian pemeriksaan saksi dan melihat secara langsung kondisi Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Utara M. Zaldi Rahardian menyatakan pemkab setempat saat ini masih menunggu hasil penyidikan KPK, apakah nantinya gedung mesti direhab atau dirobohkan.
Apa pun hasil penyidikan KPK, keberadaan gedung Shelter Tsunami tetap penting di daerah rawan bencana alam seperti di Lombok Utara. (Antara/Tim Kalimantanpost.com)