Oleh : Maryam
Pemerhati Masalah Sosial
Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta para pendakwah atau dai dapat menjalankan perannya dengan menyebarkan toleransi dan berpikir terbuka di Indonesia. Demikian kata Ma’ruf Amin pada Webinar BNPT bertajuk “Peran Dai dalam Deradikalisasi Paham Keagamaan di Indonesia”. Selanjutnya beliau juga menyampaikan bahwa dai harus menyebarkan paham antikekerasan.
Peristiwa tembak menembak antara personel Polri dan terduga di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan mengundang perhatian dari banyak pihak, termasuk dari para aktivis perempuan. Mengundang banyak Tanya dari peristiwa ini. Ada apa di balik fenomena ini? Perempuan yang dikenal dengan kelembutan hatinya, tega untuk membunuh orang lain.
Jika melihat narasi terorisme ini identik dengan Islam, seperti pada kasus perempuan yang menembak tersebut menggunakan berkerudung, bergamis dan bercadar. Terorisme ini seperti memojokkan Islam, pelibatan perempuan dalam berbagai aksi terror hakikatnya merupakan salah satu bentuk upaya kriminalisasi yang bertujuan untuk menciptakan terror yang lebih kuat. Sebab, perempuan yang dikenal sebagai lembut telah berani untuk melakukan aksi penembakan ini.
Bila radikalisme di identikkan dengan bom bunuh diri, aksi teror dan kekerasan di tengah massa, maka radikalisme yang seperti ini layak ditinggalkan. Efeknya adalah munculnya ketakutan secara menyeluruh terhadap kaum muslimin, bukan hanya laki-lakinya saja, tetapi juga perempuan karena sama-sama berjiwa “teroris”. Inilah yang diinginkan siapa pun yang berada di balik layar skenario peristiwa ini.
Kasus merebaknya pelaku penembakan dari kalangan perempuan, membuat agenda kontraradikalisme di kalangan perempuan akan semakin diperkuat. Narasi-narasi kontra radikalisme, deradikalisasi dan moderasi Islam sangat layak untuk diwaspadai karena intinya adalah deislamisasi. Narasi-narasi ini banyak mereduksi ajaran Islam. Jihad terutama, yang berusaha untuk diubah makna dan hukumnya.
Jihad hanya dimaknai sebagai usaha sungguh-sungguh untuk berhasil, bukan berperang. Begitu pun umat dijauhkan dari politik, baik secara pemahaman maupun aktivitas politik yang benar.
Maka, umat boleh salat, berzakat, naik haji, dan berkegiatan Islam lainnya, tapi tidak boleh mengkritik penguasa, tidak boleh menuntut penerapan syariat oleh negara, tidak boleh menolak calon pemimpin kafir, dan harus mau menerima demokrasi dan HAM, serta mau terlibat dalam peringatan hari raya agama lain.
Intinya, mengubah pemahaman umat menjadi sekuler, moderat, liberal, dan “toleran”. Ini adalah agenda besar yang diusung musuh-musuh Islam untuk menghalangi kebangkitan Islam secara halus.
Mampukah Moderasi Islam Jadi Solusi?
Upaya moderasi Islam diyakini menjadi solusi bagi terorisme dan radikalisme. Faktanya, sekian tahun program ini dijalankan, kasus terorisme tidak berakhir. Mengapa?
Moderasi Islam merupakan bentuk penyimpangan pemahaman Islam. Justru ketika menghadapi moderasi Islam, seorang muslim yang telah memiliki pemahaman dasar akan menolaknya karena terlihat upaya penyesatan di baliknya.
Kondisi ini bisa berbalik menyebabkannya mencari pemahaman lain yang boleh jadi akan membuat terjerumus dalam pemahaman teroris. Ia menerimanya mentah-mentah karena menganggap inilah kebenaran yang disembunyikan.
Mengembangkan moderasi juga akan berbahaya bagi keberlangsungan umat Islam sendiri. Sebab, generasi penerus Islam akan kehilangan izzah-nya, mereka tidak tahu bagaimana mempertahankan agama dan negaranya dari musuh.
Kasus yang terjadi pada masyarakat Rohingya di Myanmar, yang memilih lari daripada berjihad sehingga terhina di negaranya dan terhina di negeri orang, cukuplah menjadi pelajaran bagi umat.
Hal ini tidak terjadi saat seorang muslim diberikan pemahaman Islam yang benar. Dengan dalil dan hujah yang kuat, ia akan tunduk dan mengambil pemahaman ini. Pemahaman yang benar terhadap jihad akan membuatnya menolak bom bunuh diri atau bentuk-bentuk teror lain.
Pemahaman yang benar terhadap proses pengambilan hukum Islam akan membuatnya memahami perbedaan dan menyikapinya dengan benar. Ia akan mengembangkan toleransi yang benar. Ia akan memahami seperti apa Islam sebagai rahmatan lil’alamiin.
Selain itu, perlu dipahami bahwa terorisme bukan hanya sekadar pemahaman. Ada faktor-faktor lain yang memicunya, seperti yang disampaikan Musni Umar, seorang sosiolog terkemuka. Beliau menyebutkan antara lain faktor ketidakadilan ekonomi, ketakadilan hukum, penjajahan, intervensi asing, pemahaman agama yang sempit, dan keinginan mengubah negara atau sistem. Tentu faktor-faktor ini tidak akan bisa diselesaikan dengan Islam wasathiyah.
Solusi Terorisme pada Perempuan
Merupakan tugas dari seluruh pihak yang terkait dengan dakwah untuk mengajarkan umat tentang Islam kafah, menanamkan akidah yang lurus, dan membentuk kepribadian Islam.
Juga mengajarkan bahwa makna toleransi adalah “lakum dinukum waliyadiin”; mengajarkan untuk menerima pluralitas tetapi menolak pluralisme; dan mengajarkan untuk menerima Islam secara keseluruhan dan memperjuangkannya, bukan menerima sebagian dan menolak sebagiannya.
Sedangkan faktor lain seperti ketakadilan ekonomi, hukum, dan seterusnya, persoalan ini tidak akan mampu dihilangkan selama diterapkannya sistem kapitalisme.
Hanya Islam yang mampu memberikan solusi sempurna, karena syariat Islam diturunkan dari sang Maha Pencipta, yang mengetahui secara detail karakter ciptaan-Nya dan apa yang terbaik bagi mereka.
Maka, tak perlu takut menjadi radikal dalam makna menjalankan Islam secara kafah. Justru inilah yang akan mengantarkan perempuan menjadi ibu yang melahirkan umat terbaik bagi manusia. Insyaallah.
Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya,
“Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (QS. Ali Imran[3]: 110).