Oleh : Yulia Sari, S.H.
Dengan pengesahan UU tentang provinsi Kalimantan Selatan yang menyebutkan bahwa Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Banjarbaru bukan Banjarmasin. Banyak orang mereka berpikir bahwa dengan adanya kantor gubernur di Banjarbaru, ibukota provinsi memang sejak dulu pindah. Sehingga cukup membingungkan justru penetapannya baru sekarang. Tetapi jika mencermati prosesnya, akan memahami bahwa sedari dulu tidak ada wacana perpindahan ibukota provinsi. Tetapi hanya berupa perpindahan pusat pemerintahan. Bukan memindah ibukota provinsi Kalsel yaitu Banjarmasin yang telah memiliki sejarah panjang selama 495 tahun menjadi ibukota provinsi.
Rupanya tak cukup dengan polemik ibukota baru di bumi Kalimantan, rezim ini menambah polemik baru di provinsi yang di sebut sebagai wilayah penyangga ibukota baru ini. Tak ayal kebijakan ini membuat walikota Banjarmasin berencana akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Beliau menganggap bahwa keputusan ini bukan aspirasi dari bawah, bahkan dirinya tak pernah merasa dilibatkan. Keputusan disepakati pada masa Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin dan Wakil Gubernur H Rosehan NB (2005–2010), hanya pemindahan pusat perkantoran dari wilayah Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru. “Di dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi saat itu juga hanya pemindahan pusat pemerintahan bukan perpindahan Ibukota”, demikian yang disampaikan beliau (kalsel.inews.id/22/02/2022).
Menarik untuk ditelisik tentang kebijakan pemerintah terkait pemindahan Ibukota, baik Ibukota Negara (IKN) maupun provinsi khususnya Kalsel. Meski beda level tetapi keduanya juga memiliki keterhubungan. Wilayah kalsel adalah wilayah yang tidak bisa diabaikan bagi pembangunan IKN maupun untuk seterusnya. Kelak siapapun yang akan ke ibukota negara maka beranda yang harus dilewatinya adalah Kalsel. Karena itu pemerintah pusat pun sangat antusias untuk menjadikan kalsel sebagai gerbang dan sekaligus wilayah penyangga IKN. Pemerintah pun siap mengucurkan dana demi pembangunan sarana dan prasarana sebagai penghubung antara Kalsel dengan IKN yang baru.
Sekali lagi kritik yang dimunculkan apakah kebijakan ini memang aspirasi masyarakat? Yang muncul adalah sebuah pertanyaan, mengapa harus pindah? Padahal tidak ada urgensi atau hal darurat lainnya yang mengharuskan suatu perpindahan. Apakah perpindahan ini justru untuk semakin memudahkan proyek IKN yang selama ini menjadi polemik di masyarakat, dan proyek ini bahkan ditolak oleh sebagian besar para pakar baik dari sisi ilmiah maupun sosial.
Kota Banjarbaru dirancang untuk menjadi penyangga IKN. Urusan birokrasi tentu lebih dekat jika urusan pemerintahannya di Banjarbaru. Wilayah ini juga lebih terbuka untuk para investor dengan adanya bandara Internasional, jalur yang lebih dekat ke pelabuhan trisakti serta posisi kota ini sebagai pertemuan antar kabupaten di Kalsel. Kota ini juga menjadi bagian rancangan pembangunan kota metropolitan “Banjarbakula” dimana Kota Banjarmasin dan Banjarbaru menjadi dua kota dengan magnet utama pembangunan dan pengembangan ekonomi.
Strategisnya posisi ini menjadi perhatian, penting untuk memastikan beranda sebuah rumah dalam keadaan siap menyambut sebelum masuk kedalam rumah. Artinya mengamankan posisi Kalsel agar siap menjadi suporting utama pembangunan IKN baru adalah hal utama yang menjadi fokus perhatian.
Padahal memindahkan suatu wilayah dalam suatu negara tak semudah seperti pindah rumah bagi sebuah keluarga. Ada beragam aspek yang harus diperhatikan, seperti aspek partisipasi publik, kontur wilayah, masyarakat dan juga dari aspek ekonomi. Perpindahan ibukota harus menelan banyak biaya. Padahal negara ini sedang dalam kondisi terpuruk.
Beragam persoalan tengah membelit, yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Dari banyaknya PHK dan pengangguran, learning loss yang terjadi sebagai dampak pandemi. Korupsi dan kriminalitas yang terus terjadi tak pandang apakah pandemi masih ada atau tidak. Serta berderet masalah sosial masyarakat. Dari kemiskinan, kelaparan dan kesehatan masyarakat yang buruk termasuk krisis lingkungan yang saat ini mendera hampir diseluruh negara didunia. Tidak kah ini seharusnya diatasi oleh pemerintah terlebih dahulu, bukan berpikir untuk bemegah-megahan membangun kota sementara manusia-manusianya terseok-seok antara hidup dan mati.
Sungguh saat ini kita merindukan pemimpin yang benar-benar mengurus rakyatnya. Islam memandang bahwa negara atau pemerintah adalah pelayan umat (publik). Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat beserta kebutuhan lain demi hidup layak. Negara harus menyediakan segala kebutuhan sarana dan prasarana untuk hajat hidup rakyat, bukan malah menyusahkan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Sistem pemerintahan Islam memperhatikan aspirasi publik dengan memiliki institusi bernama Majelis Umat, dimana masyarakat bisa menyalurkan aspirasi dan koreksi kepada penguasa atau pemimpin melaluinya. Jika pemimpin melakukan kesalahan dalam kebijakannya atau khilaf dalam perilakunya, rakyat bisa menyampaikan muhasabah melalui Majelis Umat dan pemimpin wajib menerima koreksi ini dengan lapang dada dan tidak menzalimi rakyatnya.
Oleh karena itu, seorang pemimpin wajib menjalankan amanahnya dengan sungguh-sungguh. Pemimpin tidak boleh membiarkan rakyat miskin dan lapar, apalagi melakukan pelanggaran terhadap UU ataupun UUD negara—yang dibangun berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Wallahualam.