Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan

Space Iklan
Hukum & Peristiwa

Dianggap Beracun, Kecubung tidak Digunakan Lagi sebagai Obat Tradisional

×

Dianggap Beracun, Kecubung tidak Digunakan Lagi sebagai Obat Tradisional

Sebarkan artikel ini
1000475970
Arsip foto - Direktur Reserse Narkoba Polda Kalimantan Selatan Kombes Pol Kelana Jaya menunjukkan tanaman buah kecubung. (Kalimantanpost.com/Antara)
Space Iklan

JAKARTA, Kalimantanpost.com – Kasus mabuk kecubung cukup viral Kalimantan Selatan (Kalsel) yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia dan hingga saat ini 47 orang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum di Jalan Gubernur Syarkawi, Gambut, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalsel.

Penyalahgunaan buah kecubung di Banua tersebut mendapat perhatian berbagai pihak.

GBK

Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional Jamu Indonesia (PDPOTJI) menyatakan kecubung sudah tidak digunakan lagi sebagai salah satu obat tradisional karena efek sampingnya yang berbahaya.

“Sekarang ini, kecubung tidak dianjurkan lagi sebagai obat tradisional dan digolongkan sebagai tanaman beracun,” kata Ketua PDPOTJI Dr. (Cand.) dr. Inggrid Tania, M.Si di Jakarta, Senin (15/7/2024).

Menanggapi kasus mabuk kecubung yang terjadi di Kalimantan Selatan, Inggrid menuturkan sebelumnya terdapat beberapa bagian dari tanaman kecubung memang biasa digunakan sebagai obat tradisional dalam kehidupan sehari-hari.

Tanaman yang memiliki bentuk seperti terompet itu dahulu banyak digunakan sebagai obat untuk menambah stamina dan meredakan nyeri pada bagian tubuh tertentu. Contohnya yakni penggunaan daun kecubung yang diremas, kemudian ditempelkan di atas kulit yang ototnya mengalami pegal linu.

Daun kecubung yang telah diremas itu juga bisa ditempelkan ke dahi untuk meredakan sakit kepala.

Sayangnya, tidak semua orang bisa tahan dengan efek samping dari kecubung yang dapat menimbulkan halusinasi, meningkatnya gairah seksual secara tiba-tiba, gangguan denyut jantung sampai mengalami kematian.

“Efek dan durasinya itu bisa berbeda-beda pada setiap orang, jadi walaupun tidak diminum dan hanya ditempel, pada beberapa orang bisa menimbulkan psikoaktif. Ini yang berbahaya,” ucap Inggrid.

Lebih lanjut Inggrid menyampaikan hal tersebut membuat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melarang peredarannya. Kini kecubung hanya dapat ditemukan di area sekitar hutan.

Baca Juga :  Modus Tambal Sulam Ditemukan KPK dalam Penyidikan Korupsi LPEI

Kalaupun ditanam, penggunaannya hanya sebatas menjadi tanaman hias karena tumbuhan itu memiliki warna bunga yang indah seperti putih atau ungu.

Dengan demikian, ia mengimbau supaya masyarakat tidak sekali-kali mengonsumsi kecubung bahkan sampai membuat oplosan dari buah tanaman tersebut agar tidak mengalami efek dari zat skopolamin yang terkandung di dalamnya.

Sementara kepada pemerintah, ia mengharap agar pihak yang berwenang segera melakukan kajian mendalam dan membuat regulasi khusus pada kecubung karena kasus yang ditemukan baru-baru ini telah memakan korban jiwa.

Misalnya, membatasi penanaman kecubung untuk meminimalisasi jumlah orang yang mengonsumsi kecubung dan menderita keracunan.

“Kemudian bagi yang sudah tahu informasi soal kecubung, mohon bantu mengedukasi atau memberikan informasi kepada keluarga dan teman agar tidak coba-coba,” saran dia.

Sebelumnya, sebanyak 47 orang telah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sambang Lihum, Kalimantan Selatan diduga karena mengalami mabuk buah kecubung, di mana dua di antaranya meninggal dunia.

Terkait fenomena itu, Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol. Adam Erwindi pada Minggu (14/7) menyatakan pihaknya segera mengambil beberapa langkah konkret yang dipimpin oleh Direktorat Resnarkoba Polda Kalsel.

Beberapa langkah konkret itu di antaranya pendataan di RSJ Sambang Lihum selama sepekan dan berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) dan BPOM, serta melakukan uji laboratorium forensik (labfor) di Surabaya, Jawa Timur untuk mengetahui kandungan dari pohon kecubung. (Ant/KPO-3)

Iklan
Iklan