Oleh : Yulia Sari, SH
Pemerhati Kebijakan Publik
Semakin sering saat ini kita dengar pemberitaan terkait kasus buang bayi, aborsi, kekerasan atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh pacar, juga beberapa postingan paramedis di media sosial yang menceritakan kasus penyakit kelamin atau HIV/AIDS yang kesemuanya itu dilakukan dan dialami oleh remaja atau bahkan anak usia sekolah. Bukan lagi anak sekolah menengah, tetapi hal tersebut juga terjadi pada anak usia Sekolah Dasar.
Bagi sebagian remaja sendiri saat ini mereka menganggap hubungan seksual pranikah itu adalah hal yang biasa, alias normal-normal saja di mata mereka. Pada Maret lalu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr Hasto Wardoyo, menyoroti kenaikan persentase remaja usia 15-19 tahun yang melakukan hubungan seks untuk pertama kali. Ia menyebutkan remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual ada di angka 59 persen sedangkan pada remaja laki-laki ada di angka 74 persen. “Menikahnya rata-rata pada usia 22 tahun, tetapi hubungan seksnya pada usia 15-19 tahun. Jadi perzinaan kita meningkat. Ini pekerjaan rumah untuk kita semua,” ucap Hasto.
Selain alasan normalisasi seks dikalangan remaja sebagai “bukti cinta”, tak jarang para remaja melakukan hal tersebut karena dorongan ekonomi. Remaja terdorong “menjual diri mereka” karena dengan dagangan “itu” merupakan cara mudah untuk memperoleh uang. Entah karena memang menanggung beban hidup, atau karena tuntutan gaya hidup. Maka semakin merajalela lah kasus prostitusi anak, menurut PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) ada sekitar 130.000 transaksi yang melibatkan 24.049 anak usia di bawah 18 tahun yang merupakan transaksi prostitusi anak.
Begitu prihatin dengan kondisi remaja dan generasi kita, semakin serasa ditimpa badai ketika pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024, yang salah satu pasalnya terkait pemberian alat kontrasepsi kepada remaja dan anak usia sekolah. Dalam pasal 103 ayat 4 disebutkan “Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja) meliputi…, pada poin (e) disebutkan penyediaan alat kontrasepsi. Pasal ini secara gamblang dapat diartikan bahwa pemerintah memberikan layanan atau menyediakan kepada anak usia sekolah dan remaja alat kontrasepsi.
Apa fungsi alat kontrasepsi bagi mereka? Padahal mereka harusnya disibukkan dengan urusan pendidikan. Dengan adanya aturan demikian, artinya pemerintah memberikan dukungan untuk menormalisasikan zina asalkan seks itu “aman, tidak menyebabkan kehamilan dan bertanggung jawab”. Bukankah artinya penguasa menjadi semakin liberal dengan membiarkan seks pra nikah dan mengkangkangi aturan agama yang menjadikan zina sebagai salah satu “dosa besar”.
Pemerintah berdalih maksud dari aturan tersebut adalah untuk diberikan kepada remaja yang telah menikah agar mereka menunda kehamilan dan mencegah anak yang lahir mengalami stunting. Tetapi pasal itu sendiri tidak jelas menyatakan tentang remaja yang dimaksud, dan bahkan bagaimana pula dengan aturan terkait anak usia sekolah karena dalam pasal 103 ayat 1 disebutkan juga tentang kesehatan reproduksi anak usia sekolah. Aturan yang tidak jelas ini seolah menjadi pembuka izin pergaulan bebas dan rentan dimaknakan demikian.
Jika PP ini dibuat dalam rangka untuk mengurangi dampak dari “perzinahan” yang dilakukan oleh remaja dan anak sekolah. Seperti hamil di luar nikah,kasus buang bayi, aborsi ilegal, penyakit kelamin atau HIV/AIDS, maka jelas hal ini bukan solusi tetapi hanya kebijakan “cari aman” yang dilakukan oleh pemerintah. Seharusnya ada sistem pencegahan yang jelas dan tegas. Juga harus jelas pula akar persoalannya sehingga jelas juga solusinya.
Asal mula perbuatan kriminal diatas adalah dengan dimulainya pelanggaran aturan agama. Di dalam Islam, seks sebelum atau diluar nikah adalah perzinahan, dan hukumnya adalah haram dan termasuk dosa besar. Hukum ini adalah baku dan tidak berubah karena perkembangan tekhnologi dan zaman. Indonesia jelas adalah negara yang berlandaskan agama dan mayoritas muslim. Setiap perbuatan seorang muslim adalah terikat dengan hukum syara’. Maka sudah wajar jika pemerintah menerapkan hukum yang berlaku dimasyarakat sebagai landasan pijakan setiap hukum yang dibuatnya. Jika tidak demikian maka dapat dikatakan negara ini telah menjadi negara sekuler yang meniadakan agama dalam kebijakan dan membiarkan rakyatnya tersesat dalam keinginan mereka masing-masing. Manusia selalu cenderung pada nafsunya, jika tidak diatur oleh aturan agama maka mereka akan berbuat sesuka hati. Bahkan jika agama adalah pilihan pribadi masing-masing maka pastilah mereka akan memilih kembali berbuat sesuai nafsu yang mereka inginkan. Karena itu agama butuh alat pemaksa agar syariatnya dapat dilaksanakan, dan alat pemaksa itu adalah negara.
Negara menjadikan agama sebagai dasar dari pembuatan Undang-Undang, halal dan haramnya ditetapkan oleh syariat. Dan negara memiliki instrument agar UU ini dilaksanakan dengan benar yaitu adanya sistem sanksi pidana dan juga aparat penegak hukumnya. yaitu para Qadhi atau hakim dan syurthoh atau polisi. di dalam Islam pelaku zina mendapat ancaman hukuman yang sangat berat. Islam mengancam pelaku zina dengan ancaman cambuk 100 kali bagi pezina yang belum menikah (ghayr muhshan) dan hukuman rajam sampai mati bagi pelaku zina yang telah menikah (muhshan).
Fungsi ancaman ini sebagai pencegah kejahatan sekaligus penebus dosa jika dilaksanakan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Karena itu para pelaku zina akan berpikir seribu kali jika ingin melakukan perbuatan tersebut. Sehingga dampak lanjutan atas perbuatan zina seperti kasus hamil diluar nikah, buang bayi atau penyakit kelamin tidak akan terjadi.
Jika saat ini banyak kejahatan demikian, itu dikarenakan sanksi yang tidak tegas yang tidak berefek jera. Perzinahan hanya dianggap sebagai delik aduan, dan itu pun jika salah satunya telah menikah. tak ada yang mengadu atau bahkan dilakukan suka sama suka maka dia tak bisa dipidana. Kalaupun dipidana itu karena perbuatannya telah merembet ke hukum yang lain. Misalnya jika telah melakukan kekerasan baik secara fisik maupun seksual, membuang bayi bahkan membunuh bayi tersebut atau aturan hukum lainnya, tetapi bukan aturan atau sanksi terkait zina itu sendiri.
Aturan hukum yang berlaku saat ini sangat sekuleris dan liberal sehingga nilai-nilai barat lebih berkuasa di banding dnegan aturan agama yang dimiliki mayoritas rakyat Indonesia. Bukan kah harusnya negara berupaya untuk menyelamatkan rakyatnya dunia akhirat dan bukannya menormalisasikan perbuatan dosa melalui sebuah peraturan. Karena itu PP tersebut harus ditolak karena dapat menjadi asas legalitas perilaku zina. Wallahu A’lam Bishawab