Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
HEADLINE

Otak Atik Dana Pendidikan, Bagaimanakah Sistem Islam Mengatur?

×

Otak Atik Dana Pendidikan, Bagaimanakah Sistem Islam Mengatur?

Sebarkan artikel ini
Iklan

Oleh : Mahrita Nazaria, S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah Muslimah Muda 

Rencana reformulasi mandatory spending alias tafsir ulang anggaran pendidikan dalam APBN yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR dinilai tidak tepat oleh sejumlah ekonom. Seperti diketahui, selama ini anggaran pendidikan dipatok dari belanja negara, akan tetapi patokan ini hendak disesuaikan dalam wacana terbaru.

Baca Koran

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai kebijakan mandatory spending ini penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah. Bhima menjelaskan, meskipun anggaran pendidikan sering dievaluasi karena dianggap tidak tepat sasaran dan bahkan ada indikasi korupsi, itu tidak berarti anggaran tersebut harus dikurangi. Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki efektivitas program, bukan mengurangi anggaran secara keseluruhan.

Wacana ini mencuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan basis 20% mandatory spending dari belanja negara menjadi pendapatan negara. Usulan ini berpotensi mengurangi anggaran yang dialokasikan untuk sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya Rp665 triliun (mengacu pada belanja negara) dapat turun menjadi sekitar Rp560,4 triliun (mengacu pada penerimaan negara). (bisnis.com)

Pemerintah semakin menunjukkan karakter kapitalistiknya dengan kembali mengubah dana pendidikan. Tahun lalu, mandatory spending (belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang) untuk kesehatan dihapuskan. Kini, mandatory spending untuk pendidikan juga terancam dihapuskan.

Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah semakin lepas tangan terhadap pemenuhan hak-hak rakyatnya. Padahal, pendidikan berkualitas adalah kunci untuk mewujudkan negara yang maju.

Mengapa pemerintah semakin abai terhadap kebutuhan rakyat? Semua itu tidak bisa dipisahkan dari paradigma kepemimpinan kapitalistik. Negara dengan kepemimpinan kapitalistik memandang rakyat sebagai pembeli dan memosisikan penguasa sebagai pihak penjual, sehingga hubungan antara keduanya sebatas untung-rugi. Dalam hal ini, pemerintah tentunya tidak mau rugi dan ingin selalu untung.

Baca Juga :  Muslimat NU Kalsel Bedah Buku KH Hasyim Asy'ari

Perubahan anggaran pendidikan yang berdasarkan pada perhitungan anggaran dan bukan pada kebutuhan biaya pendidikan itu sendiri, menunjukkan bahwa pemerintah menganggap pendidikan sebagai beban yang dapat memperbesar defisit APBN. Selain itu, negara cenderung menyerahkan urusan pendidikan kepada sektor swasta. Sekolah-sekolah swasta menjamur, dibarengi dengan ketersediaan fasilitas yang baik, tetapi hanya golongan menengah ke atas yang dapat merasakan pendidikan berkualitas.

Paradigma kapitalistik ini juga mempengaruhi pemerintah daerah yang enggan mengalokasikan dana APBD untuk pendidikan. Data dari Kemendikbudristek (2024) menunjukkan bahwa belum banyak pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang mengalokasikan APBD mereka sebanyak 20% untuk pendidikan.

Kepemimpinan kapitalistik dalam sistem politik demokrasi yang penuh dengan orang-orang bermental oportunis membuat dana pendidikan yang sedikit tetap saja dikorupsi. Mereka menutup mata terhadap anak-anak yang bahkan tidak memiliki seragam dan buku untuk sekolah serta nasib guru honorer yang gajinya tidak memadai. Rendahnya gaji mereka jelas membuat kualitas pendidikan menurun karena para guru tidak fokus mendidik siswa, melainkan harus mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Parahnya lagi, pada saat yang sama, ada kebijakan yang katanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tetapi nyatanya ditetapkan berdasarkan kepentingan politik pragmatis, seperti program MBG untuk anak sekolah yang mencapai Rp722,6 triliun. Seharusnya, dana tersebut dialokasikan untuk gaji guru honorer dan pembangunan fasilitas belajar yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, agar lebih bermanfaat.

Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Pembiayaan pendidikan tidak didasarkan pada pendapatan atau belanja negara, melainkan pada kebutuhan pendidikan itu sendiri. Pembahasan anggaran fokus pada kemaslahatan umat, bukan semata kemudahan perhitungan apalagi berdasarkan kepentingan penguasa. Seluruhnya akan ditanggung negara tanpa ada campur tangan pihak lainnya. Jika kas negara (baitulmal) tidak mencukupi, kewajiban pendidikan akan dibebankan kepada umat.

Baca Juga :  Presiden Prabowo Lantik Muhidin jadi Gubernur Kalsel

Namun, kosongnya kas negara Islam (Khilafah) sangat jarang terjadi karena kas tersebut memiliki pemasukan yang melimpah. Kekuatan finansial Khilafah, yang dikelola melalui baitulmal, memungkinkan penyelenggaraan pendidikan berkualitas. Kekuatan baitulmal ini berasal dari pengaturan yang sangat baik yang dicontohkan oleh Rasulullah saw..

Terlebih di negeri yang kaya akan SDA, regulasi kepemilikan dalam Islam mengharamkan pihak swasta memiliki dan mengelola SDA sehingga pemerintah akan mandiri mengelola SDA tersebut. Inilah yang akan menjadi pemasukan utama baitulmal dan menjadi bekal untuk terwujudnya sistem pendidikan terbaik dan berkualitas.

Sumber pendapatan negara menurut syariat terbagi menjadi tiga, yakni dari fai dan kharaj, kepemilikan umum, serta zakat. Dana untuk layanan publik, termasuk pendidikan, dapat dialokasikan dari pos kepemilikan umum. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”

Dengan kas negara yang memadai, negara dapat mengelola pendidikan secara mandiri, sehingga pendidikan bisa tersedia secara murah atau bahkan gratis. Meskipun individu juga bisa berkontribusi dalam pembangunan pendidikan dengan dorongan keimanan, seluruh pengelolaan pendidikan tetap berada di bawah kontrol negara. Dengan dukungan dari baitulmal, semua warga akan memperoleh layanan pendidikan yang terjangkau atau bahkan tanpa biaya.

Iklan
Iklan