BANJARBARU, Kalimantanpost.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI bersama Jala Storia Indonesia menggelar Workshop Peningkatan Kompetensi Wartawan dalam Pemberitaan, Pencegahan, dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers, Rabu (18/9/2024). Kegiatan ini melibatkan aparat penegak hukum, pengacara, advokat, wartawan, perusahaan pers, dan pemerintah daerah.
Melalui Workshop tersebut untuk mendorong komitmen pemberitaan yang berperspektif perlindungan korban dan responsif gender, sesuai dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Termasuk pentingnya peningkatan kapasitas serta pemahaman jurnalis mengenai etika jurnalistik dalam pemberitaan kekerasan seksual melalui pendekatan perlindungan korban dan kesetaraan gender menjadi fokus utama.
Analis Kebijakan Ahli Madya Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Susanti, menjelaskan jika survei mengenai pengalaman hidup perempuan akan kembali dilakukan pada tahun 2024.
“Kita menggunakan data 2016, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan, namun di tahun 2021 angkanya menurun menjadi satu dari empat. Kami berharap survei tahun 2024 akan menunjukkan penurunan lebih lanjut,” ujar Susanti.
Sementara itu Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, juga menyoroti tingginya intensitas pemberitaan kekerasan seksual di media sosial. Menanggapi kondisi tersebut Ninik menyarankan masyarakat tidak membagikan berita yang tidak sesuai dengan etika pemberitaan kekerasan seksual. Meski dari kacamata Dewan Pers, topik kekerasan seksual menjadi bahan pemberitaan yang paling diminati pembaca seperti kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan perdagangan perempuan.
Sayangnya dari pemberitaan di media online paling banyak menyajikam berita yang cenderung vulgar, stereotip, diskriminatif, dan memberi label pada korban demi menarik perhatian publik.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menekankan pentingnya memahami etika dalam penulisan berita kekerasan seksual. Ia menyebutkan bahwa jurnalis harus selalu mengedepankan prinsip-prinsip dasar seperti melindungi identitas korban, menggunakan bahasa yang tidak menyudutkan, serta menghindari narasi yang dapat menimbulkan stigma terhadap korban. “Media memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang benar dan berimbang, terutama terkait kekerasan seksual yang sangat sensitif,” ujar Ninik.
Lebih lanjut, Ninik juga menyoroti pentingnya menghindari judul yang bersifat sensasional atau clickbait, yang sering kali justru mengeksploitasi penderitaan korban demi kepentingan komersial. “Pemberitaan harus fokus pada edukasi publik, bukan sekadar mencari perhatian. Jurnalis perlu memahami dampak dari setiap kata yang mereka pilih dalam menulis berita terkait kekerasan seksual,” tambahnya. Ia mengimbau agar jurnalis lebih berhati-hati dan mengikuti pedoman yang telah ditetapkan, agar media dapat berkontribusi dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan cara yang lebih bertanggung jawab.(Dev/KPO-1)
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyampaikan materi dalam Workshop Peningkatan Kompetensi Wartawan dalam Pemberitaan, Pencegahan, dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers).