Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Ungkapan Tradisional

×

Ungkapan Tradisional

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Menulis beberapa buku sejarah dan budaya Banjar

Unjun papuyu umpan karangga
Disanga pakai minyak lanjar
Tandanya kita cinta budaya
Mari masyarakatkan paribahasa Banjar

Baca Koran

Di antara sejumlah buku tulisan urang Banjar tentang budaya Banjar, adalah karya H Ahmad Makkie (alm) dan Drs. H. Syamsiar Seman (alm) berjudul, “Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar”. Edisi pertama buku ini diterbitkan oleh Dewan Kesenian Daerah Kalsel pada 1996 dan edisi terbaru (2012) diterbitkan oleh Pustaka Agung Kesultanan Banjar.

Sebelumnya juga ada buku berjudul “Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar”, karya Syukrani Maswan, dkk (1984) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Pembahasan yang relatif sama juga disusun oleh Muhammad Mugeni, et al, dalam buku “Ungkapan Bahasa Banjar”, diterbitkan Balai Bahasa Banjarbaru 2004, dan karya Tajuddin Noor Ganie, “Kamus Peribahasa Banjar”, diterbitkan oleh Rumah Pustaka Folklor Banjar, Banjarmasin 2007. Belakangan, Aliansyah Jumbawuya dan Ahmad Barjie B juga ada menyusun buku sejenis dengan tinjauan dan penekanan yang berbeda.

Jika mengamati, ungkapan atau peribahasa Banjar itu mengandung pengertian yang mendalam. Ada filosofi kehidupan yang patut direnungkan dan dijadikan bahan pelajaran. Tidak mustahil ada nilai-nilai ajaran agama terkandung di dalamnya. Artinya, walaupun ungkapan tradisional itu bukan berupa dalil Al Quran, hadis atau pun kata-kata ulama dan hukama (ahli hikmah) dari luar negeri, tetapi dapat dicari relasinya dengan ajaran agama Islam. Hal ini mengingat pula banua Banjar di masa Kesultanan Banjar (1520-1906) merupakan negeri yang religius. Bahkan, sebagaimana di negeri Minang, di banua Banjar juga berlaku adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi kitabulllah.

Bahasa Lisan

Banyak sekali ungkapan yang bisa kita carikan benang merahnya dengan ajaran agama. Di sini hanya dicontohkan sedikit saja di antaranya, “Banganga dahulu hanyar baucap”, ini dapat diartikan bahwa seseorang lebih dahulu harus berpikir sebelum berbicara. Hal ini sejalan dengan ajaran agama yang menyuruh berpikir cermat dalam setiap sikap, perkataan dan perbuatan, sebab semuanya nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Alquran menyuruh kita untuk melakukan tabayyun (klarifikasi) dan konfirmasi terhadap suatu berita dan pernyataan. Setiap orang beriman diminta untuk berkata-kata yang baik-baik saja, dan kalau tidak bisa lebih baik diam. Mankana yu’minu billahi wal yaumil akhir fal-yaqul khairan au liyasmut (HR Muslim).

Agama juga menekankan bahwa keselamatan seseorang banyak tergantung pada kemampuannya menjaga lidah/lisan. Salamatul insan fi hifzhil-lisan. Bahkan ada hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, bahwa Rasulullah menjamin akan masuk surga orang yang mampu menjaga apa-apa yang ada di antara kedua bibirnya (yaitu lidah), dan apa yang ada di antara kedua pahanya (kemaluan). Itu artinya, jika lidah dan kemaluan (penis dan vagina) tidak dijaga dengan baik, yaitu dibawa berzina dan sejenisnya, maka tidak ada jaminan kita masuk surga, dan sangat berisiko masuk neraka.

Baca Juga :  Mencontoh "Kesetaraan" ala Swedia

“Dibari daging handak tulang”, ini ibarat orang yang tidak mau bersyukur atau berterimakasih. Hal ini juga sejalan dengan ajaran agama, sebab agama menyuruh bersyukur terhadap nikmat yang diberikan baik sedikit apalagi banyak. La-in syakartum la-azidannakum wala-in kafartum inna azabi lasyadid. (QS. Ibrahim: 7).

“Kada titik banyu di ganggaman”, atau ”angkin barajut”, ini merupakan sindiran kepada orang yang sangat pelit. Sifat ini juga dilarang dalam agama, sebab agama menganjurkan orang menjadi pemurah, dermawan dan suka menolong, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan sikap ini termasuk ciri orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran: 133-134). Orang dermawan dekat dengan Allah dan surga dan dekat dengan manusia, sementara orang yang pelit jauh dari manusia, jauh dari Allah dan dekat dengan neraka. Orang yang tidak alim tapi dermawan lebih dicintai Allah daripada orang yang alim tapi pelit. Hanya saja agama melarang terlalu boros, sehingga merugikan diri dan keluarganya.

“Galagar galugur guntur hujannya kada”, mengisyaratkan orang yang banyak bicara tapi tak ada isinya atau tidak ada bukti nyata perbuatannya. Artinya karya nyatanya belum terlihat, belum teruji dan terbukti secara meyakinkan, tapi sudah menginginkan jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, belum tuntas melaksanakan tugas yang satu ingin tugas yang lain lagi yang lebih berat. Tidak terbukti sukses satu periode ingin menambah periode lagi, dan seterusnya. Dengan kata lain rekam jejaknya sebagai pejabat publik belum kelihatan. Harusnya buktikan dulu sukses sebagai gubernur baru menjadi presiden dan sejenisnya. Sikap ini juga tidak sejalan dengan ajaran agama, karena agama lebih mengutamakan bukti sikap dan perbuatan nyata daripada sekadar omongan dan pencitraan oleh media saja, dalalatul hal afshahu min dhilalatil maqal.

Agama juga menghendaki agar urusan publik diserahkan kepada orang yang ahlinya (HR al-Bukhari), jadi tidak boleh berspekulasi dalam memilih pemimpin, hanya karena penampilan luar. Tersalah memilih istri yang rugi hanya suami dan anak, tapi kalau tersalah memilih pemimpin publik yang rugi adalah rakyat. Nabi Yusuf memang pernah menawarkan dirinya menjadi menteri ekonomi, tetapi hal itu karena ia memiliki ilmu, keahlian dan kejujuran, terbukti ia mampu mengatasi krisis pangan negeri Mesir akibat kemarau panjang.

Menjauhi Sindiran

Meskipun demikian ada juga ungkapan tradisional bahasa Banjar yang kelihatannya kurang sejalan dengan ajaran agama, karena bersifat sindiran dan caci maki kepada seseorang, misalnya: “bungul pada kalum”, yang ditujukan kepada orang yang bodoh, “ambung bakul” yang ditujukan kepada orang yang suka dipuji, “baguna tahi larut”, atau “hintalu tambuk” dan sejenisnya yang ditujukan kepada orang yang hidupnya sia-sia dan tidak bermanfaat di masyarakat, “buta kakap” yang ditujukan kepada orang yang tidak mengerti sama sekali akan sesuatu, “kada balampu” yang ditujukan orang yang tidak tahu aturan, “kada mamak dijarang” (tidak bisa dinasihati), “nang kaya tiwadak tahantak”, dan sebagainya.

Baca Juga :  ISLAM DAN TEKNOLOGI

Semua ini tidak sejalan dengan ajaran agama yang mengutamakan sikap lemah lembut, tidak kasar, sabar, tidak melecehkan orang karena kekurangan fisik, ilmu atau mentalnya, dan jangan suka menyindir. Kita seharusnya mau menghargai orang, siapa pun dan dalam keadaan bagaimana pun. Di balik kekurangan seseorang pasti ada kelebihannya, dan di balik kelebihan seseorang pasti ada kekurangannya.

Berdasarkan hal ini tampaknya ungkapan tradisional bahasa Banjar memiliki relasi yang kuat dengan ajaran agama Islam. Namun ada pula yang kurang sejalan dengan tuntunan agama yang menghendaki sesuatu disampaikan dengan bijaksana, sikap dan tutur kata yang sopan.

Hakikat pendidikan, dakwah dan bimbingan pada umumnya adalah mengajak bukan mengejek, mendekatkan bukan menjauhkan, menggembirakan bukan menyakitkan, memudahkan bukan mempersulit dan mencarikan solusi, bukan hanya menyalahkan dan mencaki maki. Orang yang tersesat bukan dicap sebagai sesat, tetapi diberikan bimbingan agar kembali ke jalan yang benar, dst.

Mengingat banyak ungkapan tradisional bahasa Banjar yang mengandung nilai dakwah dan pendidikan, disarankan agar ungkapan tradisional ini lebih dimasyarakatkan lagi. Misalnya para ulama dan juru dakwah selain hafal dalil-dalil Al Quran dan hadis, alangkah baiknya juga menguasai perbendaharaan ungkapan tradisional sebagai kekayaan budaya daerah Banjar.

Jika mengamati para ulama dan tokoh agama di ranah Minang Sumatra Barat dan Riau, mereka tampak sangat menguasai ungkapan tradisional daerahnya, yang biasanya tertuang dalam bentuk pantun, seloka atau syair, hasilnya ketika hal itu disampaikan lebih komunikatif dengan masyarakat. Misalnya Bakri Bagindo Nan Sati dengan karyanya Pitaruah Mandeh, dan Tengku Nasruddin Effendi, dengan karyanya Tunjuk Ajar Melayu. Para orang tua dan guru-guru di sekolah hendaknya juga melakukan hal yang demikian, sehingga anak dan peserta didik menjadi akrab dengan budaya leluhurnya, khususnya dalam aspek bahasa daerah.

Adanya acara “Papadah Urang Bahari” yang dulu diasuh oleh Datu Adjim Arijadi (alm) di salah satu televisi daerah, merupakan hal yang sangat positif. Kita berharap hal-hal begitu lebih ditingkatkan dan dilanjutkan, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan dapat diikuti oleh para pihak lainnya.

Iklan
Iklan