Oleh : Ahmad Barjie B
Budayawan
Ruang lingkup budaya memang luas. Sejak 1871, EB Taylor mencoba mendifinisikan kata budaya sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut dua orang ahli Antropologi, AL Kroeber dan C Kluckhohn (1952), yang di maksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudan dalam benda-benda materi.
JJ Honigman (1954) membedakan, ada fenomena atau wujud kebudayaan berupa sistem budaya (sistem nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma), serta sistem sosial (kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat), serta artefak-artefak yang ditinggalkan oleh kehidupan masa lalu dalam bentuk kebudayaan fisik.
R Linton (1936) membagi kebudayaan meliputi bagian yang tampak atau overt culture (yang dapat dilihat dari pancaindra), dan bagian yang tidak tampak atau covert culture (gagasan-gagasan, cakupan dari sistem budaya yang meliputi sistem nilai budaya, konsep-konsep, tema-tema pikir dan keyakinan-keyakinan.
Melihat rumusan dan ruang lingkup budaya atau kebudayaan yang dikemukakan para pakar, tidak diragukan bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat kita sehari-hari, termasuk even-even budaya yang digelar oleh pemerintah daerah, merupakan bagian dari eksplorasi dan ekspresi budaya, tidak terkecuali budaya Banjar.
Melalui kegiatan yang digelar maka budaya lokal Banjar yang pernah berjaya di masa lalu, dan akhir-akhir ini mulai tergerus zaman dapat dihidupkan kembali. Generasi tua sebagai pemangku adat dan budaya dan generasi muda sebagai pewaris budaya dapat dihubungkan dan dijadikan wahana transformasi budaya antargenerasi. Mata rantai budaya tidak terputus.
Proteksi Budaya
Meskipun budaya seyogianya melekat dalam jatidiri suatu masyarakat, namun budaya juga merupakan sebuah sistem kehidupan yang mudah hilang. Hal itu bisa terjadi pada masyarakat yang tidak memiliki lembaga kesultanan atau kraton seperti dialami oleh masyarakat Banjar selama puluhan bahkan ratusan tahun sejak dihapuskannya Kesultanan Banjar oleh penjajah Belanda lebih seratus tahun lalu.
Bagi masyarakat Banjar, tergerusnya budaya Banjar juga semakin diperparah oleh ketidakacuhan generasi kini terhadap budaya adiluhungnya. Urang Banjar mudah sekali meniru budaya luar tanpa filterasi yang memadai.
Sebagai contoh betapa bahasa Banjar semakin menghilang dalam forum-forum resmi. Paling sekali setahun kita mendengar pejabat berpidato dengan bahasa Banjar, misalnya setiap ulang tahun Kota Banjarmasin, tetapi setelah itu hilang lagi, bahkan jarang. Bandingkan misanya dengan bahasa Jawa, di mana banyak forum resmi, ceramah bahkan buku khutbah pun ada yang dikarang khusus dalam bahasa Jawa.
Dalam kondisi begini, hilangnya budaya Banjar, jika tidak segera dipelihara, dilindungi dan dilestarikan mungkin akan menjadi sebuah keniscayaan. Tak mustahil ke depan urang Banjar akan menjadi sebuah komunitas yang tidak berbudaya. Buta budaya dan sejarah leluhurnya.
Kondisi begini agak berbeda dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Jika kita tengok daerah-daerah yang tradisi budayanya masih kuat, maka hampir dipastikan di daerah tersebut masih ada lembaga kesultanan, lembaga adat dan sejenisnya. Taruhlah di Jawa Tengah masih ada Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta (sebagai pewaris dari Kerajaan Mataram, Pajang, Demak, Majapahit dan Singasari). Karenanya, budaya Jawa masih kental.
Di ranah Minang masih banyak lembaga adat seperti Nagari, Kuto dan Taratak serta Istana Basa dan Istana Silinduang Bulan warisan dari Kerajaan Pagarujung. Juga masih terdapat sejumlah museum dan balai budaya yang kuat dalam menjaga warisan budaya leluhur, sehingga budaya Minang masih menonjol dan tetap eksis hingga saat ini.
Di Pekanbaru Riau juga ada istana Asserayah al-Hasyimiyah Siak Sri Indrapura dan lembaga-lembaga adat lainnya sehingga budaya Melayu Islam masih terjaga kuat.
Intinya, lembaga kesultanan, istana, keraton atau lembaga adat merupakan agen yang mampu melakukan proteksi terhadap adat tradisi dan budaya. Oleh karena itu kita patut mengapresiasi dan mendukung bangkitnya Kesultanan Banjar pimpinan Sultan Khairul Saleh beserta kerabat kesultanan sejak 2010 lalu. Telah banyak melakukan usaha dan kegiatan kongkrit untuk menghidupkan budaya Banjar yang bercorak Melayu Islam.
Menjemput Zaman
Budaya tidak hanya disimbolkan secara fisik dalam bentuk permainan, kesenian dan sejenisnya, tetapi juga nonfisik berupa nilai-nilai, sikap dan pola pikir. Karena itu ke depan kita perlu lebih proaktif lagi mengeksplorasi nilai-nilai budaya Banjar.
Kita perlu jujur membongkar nilai budaya Banjar, yang positif maupun negatif. Sesungguhnya banyak nilai-nilai budaya Banjar yang positif dan sejalan dengan agama, seperti sikap gotong royong, ramah tamah, pemalu, suka merantau dan taat beragama, khususnya dalam bentuk ibadah mahdhah,
Tetapi jika kita bersedia jujur, banyak pula nilai atau tepatnya stereotip urang Banjar yang agak negatif. Prof Dr Kamrani Buseri MA melihat, dalam beragama urang Banjar cenderung hanya mengutamakan kebaikan dan kebenaran, sementara keindahan masih kurang diindahkan. Akibatnya, banyak orang Banjar yang kurang menjaga lingkungan hidup dan senang membuang sampah sembarangan. Urang Banjar cepat puas, dan cita-cita tertingginya hanya berhaji, sekali atau berkali-kali. Jarang yang mau membangun usaha ekonomi dalam skala besar agar menjadi tuan di daerah sendiri bahkan hingga ke luar.
Peneliti Hairus Salim melihat orang Banjar selama ini dikesankan boros, konsumeristik, kurang produktif, lebih suka membeli daripada menjual dan memproduksi sendiri. Orang Banjar cenderung memiliki gengsi tinggi, pilih-pilih pekerjaan dan ogah jadi bawahan. Urang Banjar juga ogah menabung. Penghasilan sebesar apa pun lebih banyak dihabiskan untuk makan, pakaian, kendaraan dan aksesoari lain guna tampil beda yang sesungguhnya tidak perlu. Saking termakan gengsi, anak kecil pun sudah pegang hape.
Bahkan menurut Yusliani Noor (alm), ada orang Banjar yang kurang menghargai sejarah dan kepentingan umum, misalnya kurang menghormati makam tetuha, tokoh dan ulama, sehingga kotoran rumah (pacirin) dibiarkan mengalir ke makam-makam yang seharusnya dihormati.
Urang Banjar masih senang bacakut papadaan, manjuhut batis kawan, dan ogah bekerja sama untuk saling mendukung seseorang agar bisa maju. Kalau ada orang Banjar yang sukses di pusat atau di mana saja, lebih karena prestasinya sendiri, bukan karena dorongan daerah dan kawan. Istilahnya, urang Banjar lebih sebagai single fighter atau individual competitor saja.
Dalam konteks persaingan hidup ke depan, beberapa sifat negatif perlu dikoreksi dan diganti dengan sifat-sifat baik, produktif, konstruktif, kooperatif dan kompetitif. Semua itu perlu kita kaji lebih luas dan dalam lagi. Semoga muruah dan kejayaan Banjar dapat diraih kembali.