Oleh : CAKRAWALA BINTANG
Fenomena Pilkada di Kalsel memang banyak yang bisa membuat sistem harus lebih baik. Namun sebenarnya sistim itu sudah baik, karena dibuat oleh mereka yang menghendaki adanya keadilan dalam suasana Pemilu. Tarik ulur antara kekuasaan dan hukum yang menghendaki keadilan, itu memang nampak tersirat dalam peristiwa Pilkada Kalsel. Kita ambil contoh saja, seperti Pilkada Kota Banjarbaru pada 2024 lalu. Pada awalnya partai memang mendukung banyak pada satu paslon yang berhadapan petahana. Dapat dikatakan kemungkinan kotak kosong pada petahana. Namun kemudian, partai kecil dan partai sang petahana, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dapat mengajukan petahana menjadi calon pada Polkada. Kemudian, entah kenapa, sang petahana didiskulifikasikan mendekati hari pemungutan suara. Padahal semestinya ada hak jawab, yang merupakan bagian hukum yang mendukung keadilan itu sendiri. Sementara itu kertas suara masih tercetak dua pasangan calon yang akan dipilih. Dengan tidak ada instruksi tentang kertas suara, juga harus b
erubah seiring dengan putusan yang seharusnya mengandung keadilan itu sendiri.
Namun pemilihan pada Pilkada tetap berlangsung, ternyata yang banyak dipilih pada realitanya adalah calon yang telah didiskulifisi. Ini adalah kenyataan, jika keinginan lembaga seperti KPU bertentangan dengan kehendak rakyat. Artinya yang memilih calon yang kena diskualifiasi atau seperti kotak kosong ternyata lebih banyak dengan demikian, itulah pilihan rakyat. Namun kemudian bisa terjadi mereka yang ada pada lembaga KPU tetap bertahan dengan keinginannya. Lalu bagaimana tentang mengadili masalah seperti ini? Maka pada buku tentang Demokrasi dan Pemilu di Indonesia oleh Janejdri M Gaffar, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memutus Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) berpangkal pada pemahaman bahwa Pemilu adalah instrumen demokrasi. Sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum yang dianut dalam UUD 1945. Dengan demikian harus adanya jaminan bahwa Pemilu sebagai mekanisme demokrasi berjalan sesuai dengan kaidah “rule of law” dan demokrasi. Manakala terjadi pelanggaran atau kesalahan dalam penyelenggaraan Pemilu, pelanggaran tersebut harus dapat diselesaikan secara hukum. MK memiliki kewenangan menyelesaikan secara hukum pada tingkat nasional.
Soetjipto mengusulkan agar MK berwenang menguji UU, serta memiliki kewenangan lain untuk mengadili persengketaan antara pemerintah pusat dan daerah, pembubaran partai politik, serta persengketaan dalam pelaksanaan Pemilu. Dalam pendapat tersebut digunakan istilah “persengketaan dalam pelaksanaan Pemilu” yang mana dapat dipahami maknanya lebih luas dibanding dengan perselisihan hasil Pemilu.
Dalam hal banyak dalam pendapat di mana kewenangan MK diusulkan tidak hanya memutus “sengketa Pemilu”, tetapi juga “lain-lain yang ada kaitannya dengan Pemilu”. Dimana Patrialis Akbar berpendapat tentang pemberian kewenangan kepada MK untuk memutus sengketa Pemilu, karena persoalannya Pemilu berkaitan dengan masalah ketatanegaraan. Putusan MK terkait dengan masalah ketatanegaraan bersifat final dan mengikat.
Sebenarnya dengan Pilkada ulang, pada peristiwa Kota Banjarbaru dapat diambil perbandingan jika siapa sebenarnya pemenang utama. Siapa yang dikehendaki rakyat memimpin daerahnya?