oleh: Noorhalis Majid
KENAPA film hantu yang “mambari takutan” kembali marak diproduksi, tanya kami kepada Echa, desainer muda yang diam-diam mengamati perkembangan film dan budaya populer.
Semua tidak terlepas dari fenomena masyarakatnya, latar dan setting budaya, kata Echa. Amerika memproduksi film-film superhero dalam berbagai versi, mungkin karena angka kriminalitas dan kekerasan, terutama disebabkan penyalahgunaan narkoba, begitu marak dan semakin canggih, bahkan sadis, meresahkan warganya.
India juga dalam berbagai filmnya, kerap menampilkan sosok polisi hebat idealis lagi berintegritas, seperti sosok polisi Vijay, sebab angka kriminalitas, kejahatan dan tindak kriminal begitu tinggi, sementara kinerja polisinya rendah dan korup. Bahkan dalam film India, kemewahan dan kesejahteraan dieksplorasi sedemikian rupa, padahal realitasnya kekumuhan, kesemrautan hunian dan lalu lintas, menjadi kenyataan yang jamak dalam keseharian.
Korea sekarang ramai memproduksi film-film romantis percintaan dengan segala wujud kesetiaan, karena fenomenanya banyak sekali perselingkuhan dan perceraian. Demikian halnya dengan Jepang, juga giat memproduksi film-film yang kerap mempertontonkan percintaan dan hubungan mesra lagi romantis, karena fenomenanya ada keengganan generasi mudanya untuk hidup berumah tangga. Memiih melajang dan hidup sendiri hingga usia tua, dan tidak menganggap penting membangun rumah tangga.
Bagaimana dengan Indonesia, kenapa suka memproduksi film hantu? Dan penontonnya histeris berjubel memenuhi bioskop-bioskop? Mungkin karena fenomenanya sudah semakin jauh dari religiusitas. Arus rasionalitas semakin kuat, sehingga hal-hal yang belum pasti, belum dirasakan dan masih imajinatif, kurang begitu dipercaya.
Jangan-jangan terkait religiusitas, fenomenanya sudah semakin kuat bertarung antara yang beragama dengan yang tidak peduli agama? Tentu masih ingin dianggap beragama secara identitas, namun sudah tidak peduli dengan hal-hal terkait agama. Termasuk tidak peduli membicarakannya. Coba saja di berbagai sirkel anak muda yang nongkrong di cafe-cafe, adakah membicarakan soal-soal agama, fenomena perkembangan dan masa depan agama, atau dinamika umat beragama? agama sebagai identitas, hanya sekali-sekali dipraktikkan atau dikenakan sebagai simbol.
Bukankah film hantu dapat mengingatkan orang pada agama? Nah, disitulah letak krusialnya. Untuk mengingatkan pada pentingnya religiusitas, kenapa harus dengan film hantu? Padahal problem agama yang sesungguhnya itu humanisme, yaitu menipisnya kepedulian pada sesama manusia. Kepedulian pada penderitaan dan tindak diskriminasi, yang disebabkan ketidakadilan ekonomi dan akses pendidikan. Bila agama tidak ditujukan untuk isu-isu humanisme maka agama hanya jadi ritual dan bahkan simbol. Pada level itu agama menjadi dianggap tidak bermakna, sehingga mudah ditinggalkan.
Kalau film dapat merekayasa kebudayaan, film seperti apa yang seharusnya diproduksi? Tanya kami kepada Echa. “Mungkin film yang mengisahkan sosok berintegritas, yang bertarung dengan segenap jiwa raga membangun negara, yang pasti bukan film hantu. Sebab problem terbesar bangsa ini pada minimnya keteladanan, dan keteladanan yang penuh integritas tersebut tidak mungkin ada pada film hantu”, jawab Echa.
Sejak dulu orang merekayasa budaya masyarakatnya, bahkan kecenderungan arus ekonominya melalui film. Paling tidak sejak film menjadi salah satu budaya populer yang paling banyak digemari dan dinikmati masyarakat.
Budaya populer itu sendiri mencakup berbagai aspek, seperti hiburan, gaya hidup, tren, pakaian, makanan, minuman, dan apa yang ditonton sehari-hari. Memiliki beberapa karakteristik, di antaranya menjangkau audiens yang luas, memengaruhi cara orang berinteraksi dan menikmati hiburan, menjadi patokan atau rujukan bagi masyarakat, memunculkan kemungkinan perubahan pola hidup masyarakat, bahkan mampu membangun logika pasar (transaksional).
Budaya populer dapat muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri. Media massa memiliki peran besar dalam menyebarkan budaya populer. Beberapa contoh budaya populer tersebut antaran lain, musik, film, televisi, fesyen, media sosial, dan bahasa gaul yang sedang tren. Karena itu film tentu saja menjadi bagian strategis dalam rekayasa budaya.
Apakah film hantu hanya pragmatisme, sekedar menangkap peluang pasar karena masyarakat menyukainya, atau ada maksud dibalik itu semua? “Rasanya tidak ada film tanpa tujuan dan rekayasa budaya. Boleh dilihat, siapa sponsor dari film tersebut. Dari sponsor itulah dapat dilihat maksud terselubung dari dibuatnya sebuah film”, kata Echa, mencuplik pendapat Munir Sodiqin, pegiat sineas banua pada suatu acara diskusi.
Lantas bagaimana agar film-film yang mengisahkan dan menanamkan keteladanan penuh integritas hadir di bioskop-bioskop, sementara penyandang dananya punya maksud dan rekayasanya sendiri yang jauh berbeda?
Tidak ada pilihan, kecuali pemerintah mau duduk bersama dengan masyarakat film, berdialog dan membicarakan problem bangsa dari hati-kehati, dan menjawab secara bersama melalui film, sebagai satu bentuk rekayasa budaya yang lajim dilakukan oleh banyak negara.
Pun di tingkat lokal, pemerintah daerah juga mendialogkan problem kedaerahan dengan para pegiat sineas, termasuk dengan dewan kesenian dan merekayasa film seperti apa yang layak disuguhkan ke tengah masyarakat. Bila perlu, tiap kabupaten berlomba membuat film bermutu yang dapat menjadi rekayasa budaya yang dapat memajukan daerah dan masyarakatnya. Dengan itu semua, film berkontribusi pada perbaikan kehiduapan masyarakat, tidak sekedar “manakutani” dengan film-film hantu yang tidak menampilkan sosok-sosok keteladanan.
Ada banyak sosok teladan di tanah Banjar yang dapat menjadi inspirasi dalam film, selain Syekh Arsyad dan Pangeran Antasari, ada Demang Lehman, Ratu Jaleha, Aluh Idut, Panglima Wangkang, bahkan Hasan Basry atau Djohan Effendi, serta banyak tokoh lainnya dalam berbagai bidang. Semua tokoh tersebut bila dirancang dan dibuat film yang serius lagi bermutu, maka dapat menjadi bagian dari pemulihan krisis keteladanan yang begitu akut. Dengan syarat, filmnya sendiri dibuat dengan prinsif keteladanan, sehingga akan lahir produk kebudayaan yang berkualitas dan tidak sekedarnya saja, “sahibar mambari takutan” layaknya film hantu. (nm)