Oleh : Ummu Wildan
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
PPN dipastikan naik 12 % per Januari 2025. Suara penolakan rakyat terasa seperti angin lalu. Namun kompensasi-kompensasi yang dijanjikan terkesan diberikan untuk menjadi peredam kekecewaan rakyat. Akankah hal ini berdampak baik bagi negeri ini ataukah hanya tambal sulam masalah?
Di antara kompensasi yang diberikan adalah pemberian diskon tagihan listrik 50% pada Januari-Februari 2025. Diberikannya diskon ini dikatakan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Demikikan kata Menteri Koordinator Perekonomian Arlangga Hartanto dalam konferensi pers Senin, 16 Desember 2024 (viva.com, 16/12/2024).
Sungguh sebuah kompensasi yang miris dirasa. Kenaikan tarif tidak hanya akan berlangsung selama 2 bulan. Entah apa yang mungkin diharapkan pemerintah dilakukan rakyat dari pemotongan ini. Mungkinkah rakyat akan memaksimalkan penggunaan listrik selama dua bulan untuk bisa survive di bulan-bulan berikutnya? Mungkinkah masyarakat yang memiliki industri rumah tangga akan memaksimalkan usaha produksi selama dua bulan untuk mencicil kenaikan di bulan-bulan berikutnya?
Kompensasi lainnya adalah pemberian bantuan pangan beras kemasan 10 kg selama 12 bulan kepada 16 juta keluarga penerima manfaat (merdeka.com, 16/12/2024). Pemberian bantuan ini tentu akan bermanfaat bagi mereka yang dinyatakan sebagai keluarga penerima manfaat. Namun sayangnya bantuan ini hanya untuk 12 bulan saja. Selain itu, entah bagaimana nasib keluarga yang tidak dinyatakan sebagai keluarga penerima manfaat. Terkadang di lapangan ditemukan keluarga yang fakir miskin namun tidak termasuk ke dalam daftar tersebut.
Pemberian bansos ini pun punya sisi bermasalah lainnya. Rakyat secara tidak langsung terdidik bermental menadahkan tangan. Rakyat tidak terbiasa memiliki rasa kebanggaan dalam diri atas pencapaian pemenuhan kebutuhan hidup sendiri. Sungguh disayangkan alih-alih membuat harga-harga barang lebih terjangkau sehingga rakyat bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri, harga-harga dibuat lebih mahal dengan kenaikan PPN. Rakyat tidak terdidik untuk mandiri.
Dalam sistem kapitalisme yang menerapkan sistem kapitalisme pajak memang bagian tak terpisahkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa pajak merupakan instrumen penting untuk pembangunan. Disebutkan pula terkait pemungutan yang menggunakan prinsip keadilan dan gotong royong. Keadilan ketika kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan UU. Di sisi lain masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Demikian disampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan pada Senin, 16 Desember 2024 (kemenkeu.go.id, 16/12/2024).
Sungguh manis narasi yang diberikan. Namun kenyataan pahit tak jarang berseliweran. Adakalanya masyarakat disuguhkan media masa dengan berita tax amnesty dari pemerintah. Meski bisa terbuka bagi wajib pajak di semua kelas ekonomi, program ini lebih mengincar orang-orang kelas atas yang memiliki tunggakan pajak besar. Mereka mendapatkan penghapusan tunggakan pokok pajak, sanksi administrasi dan pidana pajak di masa lalu. Para konglomerat dan taipan pengemplang pajak mendapatkan pengampunan pajak ini hanya dengan mengungkap harta mereka dan membayar uang tebusan. (Kompas.id, 19/11/2024).
Di sisi lain meski pemerintah menyatakan bahwa tidak semua barang terkena PPN 12%, rakyat biasa terkena imbasnya juga. Ketika BBM naik maka ongkos angkutan barang naik. Harga barang pun mau tidak mau naik. Meskipun rakyat sebagai konsumen tidak punya kendaraan bermotor, mereka pun terkena imbas. Hal seperti ini pun niscaya dengan kenaikan tarif PPN 12%. Tarif listrik yang tidak lagi mendapatkan diskon setelah Februari akan memaksa berbagai UMKM menaikkan biaya produksi. Selanjutnya harga barang yang mereka produksi pun naik. Misalkan saja yang mereka produksi adalah makanan ringan untuk anak, maka anak-anak harus mengeluarkan uang lebih untuk jajanan yang sama. Demikianlah pajak bisa mengimbas siapa saja.
Lain sistem kapitalis, lain pula sistem Islam. Dalam Islam, pajak bukan sumber pendapatan negara. Pemungutan pajak hanya akan diberlakukan hanya ketika kas negara kosong serta ada pembangunan yang sifatnya wajib dilaksanakan. Itupun hanya pada rakyat yang mampu.
Islam mewajibkan penguasa berbuat baik dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika melaksanakan peran beliau sebagai kepala negara. Hal ini pun dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau. Penguasa adalah raa’in, pengurus urutan rakyat. Fitur penguasa dalam Islam menjadi kunci lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat. Mereka takut akan pertanggungjawaban dunia akhirat atas kebijakan yang mereka buat. Hatta sekedar unta yang terperosok di jalanan yang berlubang ditakutkan oleh Khalifah Umar. Demikianlah diriwayatkan.
Islam juga memiliki ketetapan terkait sumber pendapatan negara yang beragam. Diantaranya adalah pos pengelolaan sumber daya alam dan pos zakat, infaq dan sedekah. Terkait pengelolaan sumber daya alam, dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Rasulullah SAW menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadh Bin Hamal setelah diberi tahu bahwa tambang garam tersebut melimpah. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad disebutkan pula bahwa kaum Muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api. Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah tentu akan sangat mampu mensejahterakan rakyat bila pemerintah mengelola sendiri, alih-alih menyerahkan kepada swasta apalagi asing.
Terkait pos zakat, negeri ini punya potensi yang sangat besar. Potensinya sekitar Rp327 triliun (Kemenag.go.id, 23/08/202). Ketika dikelola secara baik oleh pemerintah, maka fakir miskin akan bisa mendapatkan bantuan per individu. Begitupun infaq dan sedekah negeri ini. Perhatikan saja bagaimana kasus seorang Agus saja bisa mengumpulkan dana lebih dari Rp1 miliar. Begitu pemurahnya rakyat di negeri ini.
Dengan tiga pos saja pemerintah bisa memperoleh dana dengan jumlah yang wah. Apalagi bila ditambah pos lainnya. Peluang pemungutan pajak akan sangat kecil. Malahan pemerintah akan mampu membiayai pembangunan dan menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu.