Oleh:
Rahmat Kamaruddin
(Wasekjend PP TIDAR)
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pram)
Suasana duka menyelimuti jagad politik dan hukum di Indonesia. Aktivis ‘98 Desmond Junaedi Mahesa pro-demokrasi telah meninggal dunia. Pria kelahiran Banjarmasin 12 Desember 1965 itu menghembuskan nafas terakhirnya pada Sabtu, 24 Juni 2023 di Jakarta. Jenazahnya pun dimakamkan di Al-Azhar Memorial Garden, Karawang, Jawa Barat.
Sebelum dimakamkan, selain kader Gerindra, beberapa tokoh politik sempat datang ke kediamannya. Mereka turut serta berbelasungkawa. Mulai dari Arsul Sani, Rizal Ramli, Jimly Asshidiqie, Adian Napitupulu, hingga Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Berbagai media pun turut hadir melakukan proses peliputan. Bahkan sempat trending di platform media sosial.
Prabowo Subianto sendiri juga hadir ke rumah duka. Ketua Umum Partai Gerindra itu mengungkapkan belasungkawa dengan mengenang jasa Desmond bagi Partai Gerindra.
“Dari awal, 15 tahun sosok aktivis sangat besar bekerja untuk membangun Gerindra. Saya sudah bertemu keluarganya, menyampaikan belasungkawa. Mudah-mudahan mereka tabah,” kata Prabowo di rumah duka, sebagaimana dikutip dari media.
Desmond turut serta mendirikan Partai Gerindra 2008 lalu. Dia lalu tercatat sebagai Anggota DPR RI selama tiga periode. Dia terpilih melalui Dapil Kalimantan Timur pada 2009-2014. Pada dua, Pileg 2014-2019 dan 2019-2024, Desmond kembali duduk di Senayan setelah terpilih di Dapil Banten II (Kab. Serang, Kota Serang dan Kota Cilegon).
Di DPR RI, Desmond dipercaya menjabat Sekretaris Fraksi Gerindra. Juga sebagai Wakil Pimpinan Komisi III yang membidangi Hukum, HAM dan Keamanan. Di DPP Gerindra, Desmond merupakan Wakil Ketua Dewan Pembina. Desmond juga menahkodai DPD Gerindra Banten.
Gemar Membaca
Desmond sosok yang rajin membaca buku. Hal ini tergambar dari koleksi buku-buku di perpustakaan di rumahnya. Sebagai sosok yang menggeluti dunia hukum, Desmond tidak hanya mengoleksi buku-buku hukum. Dia sepertinya tidak ingin terperangkap ke dalam satu disiplin tertentu saja. Dia senantiasa antusias dengan buku-buku bacaan di luar disiplin yang ia geluti.
Karya-Karya
Kekuasaan cenderung membuat orang belaku zalim. Hal ini pernah dengan baik disampaikan oleh Lord Acton, Guru Besar Universitas Cambridge di Inggris, dengan adagiumnya yang begitu terkenal tentang potensi bahayanya kekuasaan. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).
Bukan hanya membaca, dengan menulis buku Desmond tampak selalu berusaha menjaga jarak dari kekuasaan dengan senantiasa merawat sikap kritis. Baik di luar, maupun ketika partainya bergabung dengan kekuasaan. Dia tampak meyakini bahwa kekuasaan harus dididik dengan kritik. Inilah kesan yang begitu kuat dari buku-buku Desmond.
Ada semacam rasa gundah yang tak terperikan membebani batin Desmond karena belum dapat berbuat banyak menyaksikan betapa pilunya nasib demokrasi Indonesia. Dan dia pun menuliskannya. Beberapa karya Desmond adalah:
Pertama, “Menggugat Logika APBN: Politik Anggaran Fraksi Gerindra di Badan Anggaran DPR RI” (Ledalero: 2012). Buku ini kala itu ditulis bersama Fary Djemy Francis, Legislator Gerindra asal Dapil NTT. Melalui buku ini, pembaca dapat menyimak bagaimana seluk-beluk penganggaran negara di pihak legislatif yang mungkin masih awam bagi banyak orang. Buku ini mengajak pembaca masuk ke area-area strategis di mana APBN diproses hingga layak dieksekusi. Buku ini juga menjelaskan pandangan Fraksi Gerindra di tahun-tahun itu di saat Gerindra masih berada di luar kekuasaan.
Kedua, “Presiden Offside: Kita Diam atau Memakzulkan” (Visimedia: 2012). Buku ini membahas ihwal bahwa dalam sistem presidensialisme, presiden kerap dapat offside atau melampaui batas. Hal ini terjadi karena presiden adalah pusat kekuatan pemerintahan. Buku ini pun berupaya membuka mata publik bahwa segala permasalahan negara di tahun-tahun itu tak luput dari kinerja dan tanggung jawab presiden. Desmond mengingatkan agar presiden tidak main-main mengurus negara. Ada instrumen konstitusional berupa pemakzulan jika presiden bekerja dengan tidak semestinya.
Ketiga, “DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia” (RMBooks: 2013). Usai mengkritik presiden di tahun sebelumnya, buku ini hadir sebagai upaya otokritik terhadap DPR RI. Kegeraman masyarakat terhadap DPR RI juga ditangkap dengan baik oleh Desmond. Oleh karena itu, Desmond yang saat itu juga adalah Anggota DPR RI, berupaya membangun kesadaran agar DPR RI berbenah diri. Pembahasan pada buku ini diisi dengan kritik-kritik dan gagasan-gagasan konstruktif.
Keempat, “Menatap Masa Depan Indonesia: Pidato Politik Ketua Majelis Prodem” (Majelis Nasional Prodem: 2015). Buku ini merupakan pandangan-pandangan strategis Desmond terkait masa depan Indonesia. Kala itu, Desmond adalah Presidium organisasi aktivis Pro-Demokrasi (Pro-Dem). Bagi Desmond, masa depan di mana demokrasi di Indonesia harus melahirkan kesejahteraan bagi rakyat, tegaknya keadilan, serta kuatnya gerakan sipil dalam membangun negara dan menentukan nasibnya sendiri.
Kelima, “Fungsi-Fungsi DPR: Teks, Sejarah, dan Kritik” (Kompas Media Nusantara: 2020). Tugas dan fungsi legislator anggota DPR RI bukanlah bagi-bagi sembako ataupun menjadi pembicara di berbagai media, seperti yang kerap disaksikan masyarakat. Inilah yang coba Desmond ingatkan. Melalui pembacaan kritis, Desmond mendedahkan konteks ruang dan waktu yang melatari pembentukan fungsi-fungsi DPR RI dalam dinamika konfigurasi politik dan implikasinya terhadap DPR RI hingga hari ini. DPR RI adalah amanat konstitusi UUD 1945 dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dalam mengawal kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Memperbaiki DPR RI adalah memperbaiki bangsa dan negara.
Keenam, “Prahara Demokrasi di Tengah Pandemi” (Law-Justice: 2021). Bagaikan pepatah “Sudah jatuh tertimpa tangga”, begitulah nasib bangsa dan negara Indonesia di tengah wabah pandemi Covid-19. Melalui buku ini, Desmond meresponi secara kritis kebijakan-kebijakan aji mumpung Penguasa yang dengan cerdik memanfaatkan kondisi anak bangsa yang terpuruk di tengah pandemi. Mulai dari RUU Haluan Ideologi Pancasila, RUU Minerba, sampai RUU Omibus Law. Buku ini merekam pembusukan demokrasi yang berlangsung di tengah pandemi. Catatan kelam bagi generasi penerus bangsa bahwa pernah ada rezim kekuasaan di Republik Indonesia yang begitu aji mumpung di tengah pandemi yang melanda umat manusia.
Ketujuh, “Kekuasaan Biang Kerok Perusak Demokrasi” (Law-Justice: 2021). Buku ini merekam kegundahan Desmond yang sejatinya berangkat dari akumulasi aspirasi masyarakat yang tengah berjibaku dengan kekuasaan. Dengan kata lain, ini adalah kompilasi keresahan anak bangsa yang berpijak pada realitas sehari-hari di Indonesia. Kegundahan sekaligus kritik Desmond pada buku ini merentang mulai dari hilangnya kekuatan penyeimbang negara dan oposisi, kian maraknya praktik korupsi, lemahnya peran masyarakat sipil, sekaratnya KPK, menguatnya ancaman kebebasan berbicara, ketimpangan ekonomi, hingga teror di dunia maya terhadap kelompok kritis.
Kedelapan, “Matinya Narasi Presiden Wong Cilik” (Law-justice: 2022). Buku ini merupakan upaya penyingkapan dan pembalikan narasi atas sosok yang dielu-elukan sebagai sosok Presiden yang diduga sebagai presidennya rakyat jelata dan mengedepankan kepentingan masyarakat umum ketimbang elite. Desmond melalui buku ini mengupayakan peningkatan kesadaran publik atas narasi-narasi yang dijanjikan calon pemimpinnya. Sederet proposal yang juga ditawarkan Desmond untuk perbaikan hukum dan demokrasi kita amatlah menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Kesembilan, “Desas-Desus Seputar Pemakzulan Presiden” (Law-Justice: 2023). Buku ini ditulis bersama pengamat ekonomi, Anthony Budiawan. Buku terakhirnya sebelum meninggal dunia. Desas-desus pemakzulan yang dipaparkan di buku ini merupakan kepedulian keduanya atas kondisi demokrasi kita yang kekinian dinilai kurang menggembirakan bagi nasib rakyat jelata.
Buku terakhir ini bukan saja dapat menjadi landasan argumentasi mengapa perpanjangan masa jabatan kekuasaan Presiden tidak perlu, tapi juga semacam “buku panduan” bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan instrumen politik, hukum dan kekuasaan. Kuatnya kekuasaan membuat berbagai jenis pelanggaran berjalan baik-baik saja, upaya pemakzulan pun mangkrak pada level desas-desus belaka.
Kritik sebagai Pengingat
Bila ditilik secara mendalam, upaya Desmond dalam merawat sikap kritis dengan menulis buku-buku di atas, tak ubahnya merupakan bentuk dari rasa kepeduliannya yang tinggi. Kita tentu tidak ingin segala macam bentuk penyelewengan kekuasaan berlangsung semena-mena, tanpa ada seorang pun yang mengingatkan. Pada titik itulah kita menemukan kritik Desmond, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menjadi semacam pengingat. Kepada kekuasaan, Desmond tampil seperti seorang kawan yang memukul dengan maksud baik, bukan menjadi lawan yang mencium secara berlimpah-limpah.
Desmond bukan hanya mengkritik eksekutif dan yudikatif, tapi juga lembaga legislatif tempat dia berjuang merawat demokrasi. Tidak seperti lumrahnya anggota dewan, Desmond seperti enggan menulis prestasi apa saja yang telah dia capai, kebaikan apa saja yang telah dia tebar. Desmond seperti suara anomali dari Senayan. Alih-alih, dia justeru malah menulis apa yang belum sanggup dia wujudkan, apa yang perlu diperbaiki, dan bagaimana nasib anak bangsa Indonesia ke depan jika kekuasaan disalahgunakan.
Ada satu kisah yang pernah disadur Desmond dalam tulisannya yang berjudul, “DPR Kini, Terlemah Pasca Reformasi?” di dalam buku “Desas-Desus Pemakzulan Presiden” (2023: 288). Kisah tersebut tentang perjuangan seekor burung kecil menyelamatkan Nabi Ibrahim.
Saat itu, Sang Penguasa, Raja Namrud, tengah murka dan berupaya membungkam kebenaran yang disampaikan Nabi Ibrahim dan membakarnya hidup-hidup. Seekor burung pipit kecil tampak berjuang memadamkan api yang akan membakar Nabi Ibrahim.
“Hai burung kecil, mengapa kamu bersusah payah mengambil air, sedangkan kamu tahu api besar yang membakar Nabi Ibrahim tidak akan hilang dengan sedikit air yang kamu siramkan itu?” tanya beberapa hewan kepada seekor burung pipit kecil.
Si burung terus mondar-mandir ke sungai dengan membawa air. Dengan paruh kecilnya, dia berjuang memadamkan kobaran besar api. Mendengar pertanyaan-pertanyaan dari hewan-hewan yang keheranan menyaksikannya, si burung kecil itu pun menjawab,
“Walaupun aku tahu aku tidak akan mampu memadamkan api tersebut, namun aku telah berusaha menegakkan kebenaran dengan segenap kemampuanku. Aku telah menentukan di mana aku berpihak, menempatkan loyalitas dan pembelaanku,” tulis Desmond.
Desmond Junaedi Mahesa telah kembali ke haribaan-Nya. Jasadnya memang telah pergi meninggalkan kita semua. Tapi, pikiran dan gagasannya yang telah dia tuliskan akan selalu memiliki sayap dan transenden untuk menemui pikiran generasi penerus bangsa di masa akan mendatang. Selamat jalan, Bang Desmond.