Denpasar, KP – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BP-Perda) DPRD Kalsel mempelajari produk hukum bermuatan kearifan lokal seperti yang ada di Provinsi Bali.
“DPRD Kalsel ingin menyusun produk hukum yang mengandung muatan lokal,” kata anggota BP Perda DPRD Kalsel, H Karlie Hanafi Kalianda, usai kunjungan kerja ke Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Bali, Selasa (29/8/2023), di Denpasar.
Untuk itulah, BP Perda perlu menggali informasi terkait proses penyusunan materi muatan Raperda yang mengandung kearifan lokal, mengingat Provinsi Bali dikenal tetap mempertahankan budayanya di era gempuran zaman dan digitalisasi.
“Meski Bali menjadi tempat wisata yang notabene didatangi oleh orang-orang dari mancanegara, namun pemerintah dan masyarakat tetap konsisten menerapkan muatan dan kearifan lokal,” tambah politisi Partai Golkar, yang memimpin rombongan BP Perda.
Karlie Hanafi mengatakan tertarik dengan perda yang menjamin kelestarian budaya dan adat setempat, yang dimaksimalkan untuk menarik kunjungan wisata ke Bali.
“Karena tidak mustahil SDA di Kalsel yang berupa energi tidak terbarukan bisa habis, sehingga perlu mencari sumber pendapatan daerah lain,” ujar Karlie Hanafi.
Menurutnya, pengembangan pariwisata di Kalse harus digarap dengan serius. Terlebih mengembangkan desa-desa adat.
“Kita akan gali pariwisata itu akan dikembangkan, untuk peralihan energi tidak terbarukan kepada energi yang terbarukan.
Salah satunya sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan daerah,” ungkap wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalsel III, yakni Kabupaten Barito Kuala.
Hal senada juga diungkapkan anggota BP Perda DPRD Kalsel, Gusti Abidinsyah, yang kagum pada Provinsi Bali, dimana provinsi ini tetap menjadi Bali, walaupun banyak dikunjungi masyarakat internasional.
“Apalagi dengan adanya produk hukum yang menjamin kelestarian budaya dan adat setempat,” tambah politisi Partai Demokrat.
Diantaranya, Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Bali, yang didukung dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan perda tersebut.
Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra mengatakan, Bali tidak memiliki sumber daya alam (SDA), seperti pertambangan di Kalsel.
“Jadi sektor pariwisata inilah yang harus dimaksimalkan dan dikembangkan untuk mendapatkan pendapatan untuk daerah,” jelas Ketut Kartika.
Dijelaskan, desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang berakar dari kearifan lokal Sad Kerthi, dengan dijiwai ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali.
“Ini sangat besar peranannya dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga perlu diayomi, dilindungi, dibina, dikembangkan, dan diberdayakan,” tegasnya.
Hal ini dilakukan untuk mewujudkan kehidupan Krama Bali yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. (lyn/KPO-1)