Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Semakin ke sini, kondisi ekonomi Indonesia semakin mengkhawatirkan. Salah satu indikasinya adalah banjirnya barang murah China di pasar domestik. Belakangan yang mencuat adalah produk tekstil dan keramik (CNBC.com, 24/07/2024). Selain menciptakan ketergantungan, efek yang berbahaya adalah matinya industri manufaktur lokal karena kalah saing. Matinya industri menimbulkan PHK dan menambah jumlah pengangguran.
Massifnya produk industri manufaktur China telah berlangsung lama. Terlebih ketika pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan CAFTA, atau China and ASEAN Free Trade Agreement, pada tahun 2012. Implikasi perjanjian pasar bebas China-ASEAN ini sudah lama diperingatkan sesaat setelah ditandatangani. Dan akibat buruknya memang terlihat hari ini. Mengapa pasar bebas dan matinya industri domestik seperti tidak bisa dihindari?
Akibat Kapitalisme
Situasi hari ini adalah konsekuensi dari rule of game kapitalisme. Prinsip kebebasan memunculkan pihak yang kalah dan menang. Hanya negara-negara besar yang menaungi para pemodal dan korporasi mereka yang menjadi pemenang atau pengendali dalam persaingan. Kebebasan kepemilikan membuat kekuatan modal kapitalis menguasai aset-aset strategis melalui investasi. Selanjutnya pasar sebuah negara harus dibuka dengan prinsip pasar bebas. Negara yang lemah atau kecil serta merta mengikuti perjanjian pasar bebas karena tergantung pada negara besar untuk menerima ekspornya yang umumnya berupa sumber daya alam. Sedangkan pasar dalam negerinya dipenuhi produk industri negara besar. Di saat yang sama produksi lokal semakin kalah bersaing di pasar dalam negeri. Seruan cinta produk dalam negeri menjadi slogan kosong.
Negara besar seperti China memiliki daya saing kuat karena berhasil dalam efisiensi dan inovasi. Mereka mampu berproduksi dalam skala besar sehingga bisa menekan harga. Kemampuan negara kapitalis ditunjang oleh teknologi mesin serta ketersediaan energi dan bahan baku yang sebenarnya banyak berasal dari negara berkembang seperti Indonesia.
Negeri ini tidak berdaya dengan dua kerugian, yaitu banjirnya barang murah China dan menurunnya permintaan China atas produk Indonesia. Semua berujung pada matinya industri manufaktur dan gelombang PHK. Upaya pemerintah untuk menaikkan bea masuk impor barang China menjadi tindakan tambal sulam yang tidak berarti. Sebagian rakyat diuntungkan dengan produk murah.
Seharusnya pemerintah memiliki rancangan pembangunan industri sekaligus mampu memperkerjakan rakyat dan mensejahterakan mereka. Namun dalam sistem kapitalisme, negara lemah dan kecil memang diproyeksi untuk berfungsi minimalis. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang memuluskan kepentingan para kapitalis dan negara besar. Negara seperti tidak memiliki visi untuk menjadi negara yang berdaulat dan membangun ekonomi yang kuat.
Sangat berbeda dari sistem Islam. Sistem Islam dengan seluruh hukum-hukum syariah memiliki politik industri yang sangat jelas. Islam memberi prinsip-prinsip yang bisa dijabarkan dalam langkah-langkah riil. Dalam sistem Islam negara harus mentarget pembangunan industri berat. Industri berat adalah industri yang memproduksi mesin-mesin, alat-alat berat, moda transportasi dan instalasi-instalasi.
Penguasaan industri berat akan memungkinkan tumbuhnya industri besar, menengah dan kecil. Dengan kata lain industri berat adalah penopang tumbuhnya industri lainnya dari segi penyediaan alat dan mesin teknologi. Jadi bukan tahapan kebalikannya yaitu dari industri kecil menuju industri besar atau berat. Tahapan ini justru tidak realistis. Itulah sebabnya mengapa negara berkembang tetap tidak bisa menjadi negara industri maju. Karena mereka tidak memiliki visi industri berat sebagai awal yang mutlak.
Pembangunan industri berat ini juga sejalan dengan hukum syariat berkaitan dengan kewajiban negara untuk mengelola aset-aset strategis kekayaan sumber daya alam kepemilikan umum. Negara wajib mengelola barang tambang yang depositnya melimpah dan sumber-sumber energi.
Hasil pengelolaan aset strategis industri tambang atau bahan energi bisa dijual kepada rakyat untuk memasok bahan baku pada industri yang bisa dimiliki pribadi atau kelompok seperti industri perkakas rumah tangga atau bahan bangunan. Pemasukan dari hasil penjualan menjadi pemasukan baitul mal di pos kepemilikan umum dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat seperti membiayai pendidikan dan kesehatan.
Semua level industri ini berjalan dalam prinsip perang. Artinya semua industri ini siap setiap saat untuk memasok kebutuhan perang dan mengalihkan semua hasil pabriknya untuk kebutuhan perang. Ini adalah standar tinggi untuk jaminan dan kekuatan ekonomi yang harus dicapai negara. Jika dalam perang saja mampu berproduksi, apatah lagi dalam kondisi damai atau normal.
Alih-alih tergantung dan dijajah secara ekonomi oleh negara lain, justru sistem Islam membuat negara tampil mandiri dan berdaulat. Negara menjalankan peran sebagai roin, pemelihara urusan dan kepentingan rakyat termasuk dalam hubungan perdagangan luar negeri. Negara juga tidak tergantung dengan investasi asing dan permodalan (perbankan) asing. Negara bisa meminjamkan modal usaha pada rakyat.
Daya beli rakyat meningkat dalam iklim usaha yang kondusif. Rakyat akan diberdayakan sekaligus sejahtera dalam sistem Islam. Wallahu a’lam bis shawab.