Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan
HEADLINE

Mendidik dengan Menghukum

×

Mendidik dengan Menghukum

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
AHMAD BARJIE B

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Optimalisasi Peran Guru dalam Pendidikan Karakter”

Masih sering diberitakan lembaga-lembaga pendidikan menghukum anak didik, ada yang sampai sakit, luka, cacat bahkan meninggal. Pelakunya ada guru, para senior, ketua asrama, dan sebagainya. Kenyataan ini bahkan berulangkali terjadi. Menurut ahli pendidikan, Budi Kurniawan, sebuah kedunguan jika kesalahan fatal selalu terulang, sebab hanya keledai yang bisa terperosok ke lubang sama dua kali. Kalau terperosoknya puluhan kali, seolah disengaja dan ditutupi, apa namanya?

Iklan

Persoalan ini penting terus disorot sebab banyak lembaga pendidikan masih menerapkan hukuman. Guru SMU/K, SMP, SD bahkan TK masih ada yang senang main tempeleng, pukul, tendang dan jewer telinga, tanpa rasa bersalah dan berdosa. Bagaimana sekiranya yang kena hukuman itu mereka sendiri atau anak-anak yang mereka sayangi. Kalau anak dan orangtua merajuk tidak mau sekolah lagi, bukankah itu merugikan pendidikan.

Fenomena pemukulan siswa yang muncul ke permukaan selama ini tidak lebih seperti gunung es. Banyak yang tidak terungkap karena ketidakberdayaan siswa dan orangtuanya. Belum lagi bicara hukuman kekerasan orangtua kepada anak-anaknya. Hanya sedikit korban yang berani melaporkan ke media massa dan kepolisian. Selebihnya pasrah sambil menunggu dewa penolong.

Teori Hukuman

Hukuman ialah penderitaan atau siksaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh guru, orangtua dsb sesudah terjadi pelanggaran, kesalahan atau kejahatan. Hukuman, hukmun / uqubah (Arab), punishment (Inggris) atau setraap (Belanda), banyak digunakan lembaga pendidikan sekolah dan keluarga. Diduga, ini karena ada banyak teori yang seolah membolehkan hukuman: 1) teori pembalasan, hukuman diadakan sebagai pembalasan terhadap kelalaian atau pelanggaran seseorang; 2) teori perbaikan, hukuman digunakan untuk memperbaiki pelanggaran, agar jangan mengulang kesalahan lagi; 3) teori perlindungan, hukuman ditegakkan untuk melindungi orang lain dari perbuatan yang melanggar; 4) teori ganti kerugian, hukuman diberikan dengan cara mengganti rugi orang yang mengalami kerugian dari perbuatan pelaku; 5) teori menakut-nakuti, hukuman ditegakkan untuk menakuti pelanggar dan orang lain agar jangan berbuat serupa.

Baca Juga :  Tim Sepakbola CP Kalsel Target Sapu Bersih Penyisihan di Peparnas XVII

Semua teori di atas cocok diterapkan, tetapi dalam kehidupan orang dewasa di masyarakat luar sekolah. Apa jadinya bila hukum tidak ditegakkan, tentu akan terjadi hukum rimba dan ketidakaturan. Tetapi dalam dunia pendidikan, teori-teori tsb tidak cocok diterapkan, kecuali secara minimalis saja. Misalnya teori perbaikan, dapat diterapkan karena bersifat pedagogis guna memperbaiki siswa/mahasiswa yang melanggar. Secara moral akan berusaha mengendalikan perbuatannya di kemudian hari.

Dalam praktik pendidikan, teori-teori di atas dicampur aduk dan diterapkan secara sembrono. Ada hukuman pilih kasih, kalau siswanya cantik, anak pejabat atau orang kaya, guru tidak berani menghukum. Sebaliknya anak orang biasa tidak segan dihukum berat. Anehnya, di sebagian sekolah sekarang juga ada teori ganti rugi. Kalau ada siswa bersalah, hukumannya denda, misalnya tidak menyapu dendanya Rp1.000, masuk kelas lain dendanya Rp5 ribu dst. Ini tidak edukatif, siswa tidak akan merasa bersalah atau berdosa, sebab kesalahannya dapat diganti uang. Sisi lain memberatkan keuangan orangtua.

Kalau diamati tata tertib sekolah, umumnya sudah tepat dan baik, ada jenis kesalahan dan hukumannya, seperti pengurangan poin, peringatan lisan, tertulis hingga diberhentikan. Sebagian guru konsisten mengacu aturan ini, tetapi tidak jarang menyimpang dengan menghukum fisik. Ini mesti dihentikan, sebab hukuman fisik rentan menimbulkan kesakitan, luka, cacat dan penyakit. Begitu juga hukuman psikis berlebihan bisa mengakibatkan trauma dan stres pada anak yang justru uneducated.

Ada pula yang memakai teori pembalasan, seorang pendidik yang dimarahi kepala sekolah misalnya, stress, atau bertengkar dengan istrinya, akan melampiaskan kepada siswanya. Kesalahan kecil sudah cukup mengundang guru main tangan main pukul. Guru yang biasanya kuat fisik, mungkin merasa arogan, tidak segan main pukul.

Baca Juga :  Mempraktikkan Toleransi Beragama yang Sesuai Ajaran Islam

Apa yang terjadi di lembaga pendidikan tertentu mungkin menerapkan teori pembalasan. Merasa yang dulunya juga disakiti, setelah jadi senior lantas yang yunior jadi sasaran. Ini terus berlanjut menjadi lingkaran setan tidak berujung. Sama dengan anak sulung yang dimarahi orangtuanya, sangat mungkin akan membalas kepada adik-adiknya. Memperbaiki ini diperlukan pemutusan mata rantai secara tegas. Kalau pemerintah konsisten tentu berhasil, seperti dulu berhasil menghapus perpeloncoan PT.

Etika Hukuman

Fenomena guru menghukum murid dilatari pandangan salah terhadap posisi guru dan sekolah. Ada anggapan, orangtua sudah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak. Lantas, guru, pengasuh, bebas memperlakukan anak sesuai tujuan sekolah. Anggapan demikian tidak benar, sebab fungsi sekolah sebenarnya hanya membantu orangtua mendidik anak-anak. Melalui lembaga sekolah, guru dengan kewenangan hukum dan profesionalitasnya bertugas memberi pendidikan, pengetahuan, keterampilan, nilai sikap dan tingkah laku yang baik sesuai teori, psikologi, tatakrama dan aturan disiplin sekolah.

Melihat fungsi sekolah, sebenarnya tidak ada kewenangan menghukum secara fisik dan psikis yang tidak sejalan dengan pendidikan. Peserta didik (TK-PT) hakikatnya manusia yang butuh ayoman dan polesan. Ketika mendapatkan pengayoman dan kasih sayang dari pendidiknya, kelak mereka juga bersikap lemah lembut terhadap orang lain.

Dalam pendidikan Islam memang ada teori hukuman dengan mengacu hadits, “Suruhlah anak-anakmu shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah (jika enggan shalat) di usia 10 tahun”. Tetapi menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, hukuman itu ada etikanya. Sebelum usia 10 tahun anak tidak boleh dihukum, pukulan tidak boleh melebihi tiga kali dengan hanya menggunakan lidi, sebelum dipukul lebih didahului nasihat dan bimbingan. Sanksi edukatif hanya cara terakhir. Bagian tubuh yang berbahaya; dada, perut, mata, hidung, muka, kepala, leher, telinga, kelamin, mulut/gigi, dilarang keras dipukul. Hanya boleh pukulan ringan di kaki, tangan dan bokong.

Baca Juga :  Kontingen Kalsel Cabang Atletik Sumbang 6 Medali di Peparnas XVII

Melihat aksi-aksi pemukulan yang terekam kamera CCTV atau video selama ini, jelas sasaran pukulnya daerah berbahaya, yaitu dada dan perut yang ada organ vital jantung, paru, hati, lambung dan usus. Pukulan ringan saja rentan bahaya, apalagi kekuatan penuh. Pantas banyak yang KO dan meninggal. Berbahaya sekali jika hukuman pukulan mentradisi, meski dengan alasan pembinaan dan penegakan disiplin. Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini melebihi kesehatan dan nyawa manusia.

Lebih Persuasif

Imam al-Ghazali menganjurkan agar pendidik mengedepankan kelemahlembutan menyikapi anak-anak nakal. Cari dulu sebab penyakit (kenakalannya), lalu temukan obatnya, tanpa perlu memukulnya.

Ibnu Sina melihat, hukuman dengan pukulan justru awal tumbuhnya sifat buruk pada anak. Nasihat dan dorongan menurutnya sering lebih efektif ketimbang memukulnya. Tak jarang setelah dinasihati dari hati ke hati, diingatkan jasa orangtua yang melahirkan, mengasuh dan membiayai dengan kerja keras, guru yang lelah mengajar sampai berbusa-busa, karena ingin anak sukses studi, mampu menyentuh hati dan menyadarkan anak.

Ibnu Khaldun sangat anti terhadap hukuman dan kekerasan dalam mendidik. Menurutnya, pukulan hanya melahirkan malu, trauma dan dendam. Siapa yang biasa dididik keras, ia juga akan cenderung menggunakan budaya kekerasan dalam menyikapi dan mengatasi setiap masalah. Kehidupan bangsa ini sudah susah dan sakit, jangan ditambah lagi dengan menghalalkan kekerasan.

Iklan
Space Iklan
Iklan
Ucapan