Iklan
Iklan
Iklan
OPINI PUBLIK

Influencer untuk Sosialisasi Kebijakan Publik, Upaya Legitimasi atau Sudah Eranya?

×

Influencer untuk Sosialisasi Kebijakan Publik, Upaya Legitimasi atau Sudah Eranya?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nurul Faqiriah
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia

Kemajuan teknologi mendorong terbentuknya new media atau media baru, jika dahulu penyebaran informasi hanya dapat dilakukan melalui media cetak maupun media elektronik semacam radio atau televisi maka saat ini teknologi terutama sosial media berperan penting dalam penyebaran informasi.

Sebelum memasuki era digital umumnya stasiun televisi maupun kolumnis di media cetak hanya diisi oleh para pakar yang memang konsen untuk membahas isu-isu tertentu, namun situasi ini berubah, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Dengan adanya media baru sebuah gagasan dan opini bisa langsung menyebar ke public sphere atau ruang publik melalui media sosial.

Lebih lanjut, kemunculan public figure di media sosial seperti instagram, twitter, facebook dan youtube sedikit banyak telah mempengaruhi arus penyebaran informasi ke masyarakat. Di Indonesia Public figure atau yang kerap disebut sebagai influencer sering kali tampil di platform digital seperti melalui konten youtube, maupun instastory yang merekam kegiatan sehari-hari, terlebih revolusi industri 4.0 penggunaan teknologi semakin masif dan variatif.

Belakangan ini influencer dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk mensosialisasikan kebijakan publik. Pada November 2019 lalu, Presiden Joko Widodo memperkenalkan tujuh staf khusus milenial, tujuh staff millennial ini merupakan influencer idola kawula muda. Tentu, kehadiran tujuh stafsus ini dapat menarik atensi masyarakat.

Bahkan, di awal pandemi Covid-19 melanda dunia, untuk menghindari penurunan sektor pariwisata di masa pandemi pemerintah mengeluarkan dana Rp72 miliar dari APBN 2020 untuk influencer, dengan harapan promosi tempat wisata yang ditampilkan influencer di sosial media dapat menarik minat masyarakat untuk berwisata di era pandemi.

Tidak hanya itu, pemerintah juga menggunakan influencer sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan yang kontroversial, hal ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah menggunakan beberapa influencer seperti Ardhito, Gritte, Gading dan lain-lain untuk mengkampanyekan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law melalui video pendek berdurasi sekitar satu menit yang diupload ke akun instagram dengan hastag #IndonesiaButuhKerja dan yang paling baru yaitu sosialisasi vaksin yang disuntikan kepada influencer paling berpengaruh di Indonesia yang juga pemilik digital entertainment terbesar, Raffi Ahmad.

Baca Juga:  Carut Marut Solusi Tuntas Palestina

Penunjukan Raffi Ahmad sebagai penerima vaksin pertama yang kemudian menjadi konten dan ditayangkan di youtube Rans Entertainment yang bertujuan untuk mensukseskan program vaksinasi oleh pemerintah Indonesia selain itu juga dianggap dapat menjawab keragu-raguan masyarakat akan vaksin.

Mengapa pemerintah begitu gencar menggunakan influencer untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan? Dan yang terpenting kucuran dana yang dikeluarkan untuk membayar influencer tidaklah sedikit.

Data ICW (Indonesian Corruption Watch) pada Agustus 2020 lalu menyebutkan setidaknya sebesar Rp90,45 miliar anggaran negara yang dipakai untuk jasa influencer. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam mensosialisasikan kebijakan publik melalui influencer juga telah disampaikan juru bicara presiden. Dilansir dari CNN Indonesia (31/8/2020) Fadjroel Rachman selaku juru bicara presiden menyampaikan pentingnya influencer sebagai jembatan untuk mengkomunikasikan kebijakan pemerintah dengan warga.

Lalu, apakah penggunaan influencer ini sebagai alat legitimasi? Jika dilihat dari perspektif ekonomi politik media, hubungan negara dengan korporasi media, pengelolaan media, liberalisasi pasar, dan aturan mengenai kebebasan pers di suatu negara dapat mempengaruhi produk pemberitaan.

Lebih lanjut, itu ekonomi politik media juga memiliki lima dimensi salah satunya untuk melegitimasi rezim. Hadirnya media baru semakin mempermudah interaksi di ruang publik melalui influencer guna melegitimasi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal ini kita bisa melihat bagaimana kemampuan pemerintah mengalokasikan dana yang fantastis hanya untuk membayar influencer bahkan untuk melegitimasi kebijakan.

Media baru tidak lagi mengharuskan produksi media dilakukan oleh korporasi, hanya dengan melalui akun digital dan memproduksi konten para influencer sudah bisa mempengaruhi publik.

RUU Cipta kerja atau omnibus law sebelum disahkan memicu adanya demonstrasi dari masyarakat, mahasiswa maupun buruh karena dianggap merugikan buruh tentu penggunaan influencer dalam sosialisasi kebijakan ini dapat menjadi alat legitimasi. Tentu, jika influencer idola semua kalangan seperti Ardhito atau Gritte mensosialisasikan dapat merubah kesan masyarakat setidaknya para millenial dan Gen-Z yang juga ikut protes terhadap UU Cipta Kerja.

Baca Juga:  Atasi Baby Blues dengan Pemahaman Islam

Jika pada umumnya kita melihat wakil rakyat mensosialisasikan UU Cipta kerja yang kontroversial ini tentu akan lebih membuat geram dibandingkan para influencer, apalagi jika disampaikan oleh influencer idola masyarakat.

Namun, disisi lain penggunaan influencer untuk sosialisasi publik juga merupakan dampak dari kemajuan teknologi. Penggunaan internet di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan, data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menyebutkan pengguna internet di Indonesia sepanjang 2019-Kuartal II 2020 telah mencapai 73,3% dari total populasi Indonesia atau setara dengan 196,7 juta jiwa, jumlah ini tentu mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2019. Data APJII mencatat pada 2019 pengguna internet di Indonesia hanya mencapai 171 juta jiwa total populasi atau setara dengan 64,8 persen.

Jika dilihat dari meningkatnya penggunaan internet di Indonesia maka dari itu wajar jika penggunaan influencer dalam sosialisasi kebijakan publik dianggap sebagai peluang. Pandemi Covid-19 sedikit banyak merubah aktivitas masyarakat, aktivitas yang awalnya dijalankan secara luring berubah menjadi daring, interaksi lebih banyak terjadi di ruang maya oleh karena itu penggunaan influencer ini dapat dikatakan sebagai kebutuhan di era 4.0 ini, setidaknya untuk mengurangi distrust masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Iklan
Iklan