Iklan
Iklan
Iklan
OPINI

Analisis kebijakan Penanganan Pendemi

×

Analisis kebijakan Penanganan Pendemi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dewi Yuanda Arga, S.Pd
Pemerhati Perempuan dan Anak

Joko Widodo menjelaskan, pada akhir Juli lalu penambahan kasus aktif di daerah luar Jawa-Bali hanya berkontribusi 34 persen kepada total penambahan kasus secara umum. Namun, di 6 Agustus kemarin naik signifikan dan berkontribusi di atas 50 persen dari total penambahan kasus baru nasional. (cnbcindonesia, 8/8/2021).

Android

Inilah penyebab pemberlakuan PPKM didalam maupun diluar Jawa Bali, bahkan PPKM berangsur-angsur ditambah tiap minggunya. Hal ini membuktikan bahwa Covid-19 tidak mudah dikendalikan hanya dengan PPKM, prokes 5M, testing dan tracing, vaksinasi tanpa lockdown atau karantina wilayah.

Jika pemerintah pusat sangat lamban dan tertatih dalam penanganan Covid-19 yang semakin tak terkendali, bagaimana mungkin dengan penanganan pemerintah daerah yang tentu minim fasilitas dan pula tenaga kesehatan yang terbatas, belum lagi varian baru yang semakin cepat penularannya membuat nakes kewalahan dalam melayani pasien.

Sampai saat ini, setelah hampir dua tahun, wabah virus Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Tentu sudah banyak korban berjatuhan. Lebih dari seratus ribu orang meninggal dan tiga setengah juta yang terpapar.

Jutaan bahkan puluhan juta orang terdampak secara ekonomi. Sebabnya, sejak kemunculan pandemi Covid-19, demi pencegahan penularan virus, sejumlah pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan. Dari mulai PSBB, PPKM darurat hingga PPKM level 3-4 saat ini.

Semuanya tanpa kompensasi sama sekali dari pemerintah yang diberikan kepada rakyatnya. Padahal dengan kebijakan pembatasan tersebut, tentu banyak kegiatan usaha masyarakat terpaksa berhenti. Pusat-pusat perbelanjaan pun banyak yang sepi. Banyak perusahaan tak lagi beroperasi. Akhirnya, kini banyak orang menganggur dan gigit jari. Betapa hidup makin sulit meski sekadar mencari sesuap nasi.

Pada saat yang sama, bantuan sosial dari Pemerintah malah di korupsi. (kompas.com,7/12/2020). Padahal tanpa dikorupsi pun, bantuan dari Pemerintah selama ini jauh dari kata memadai. Hanya cukup untuk satu-dua hari. Tak cukup untuk bekal hidup sebulan. Apalagi untuk hidup berbulan-bulan. Padahal sejak pandemi, jutaan kepala keluarga banyak yang berpenghasilan tak karuan.

Jauh dari harapan. Bahkan banyak yang tak berpenghasilan sama sekali. Akhirnya, untuk bertahan hidup, banyak yang mengandalkan belas kasihan dan pemberian orang lain.

Sayangnya, sejak awal kita tidak terlalu berharap banyak kepada pemerintah. Ketika masyarakat dunia sedang sibuk mengantisipasi penyebaran wabah virus korona, pemerintah Indonesia justru tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi dan mengendalikan penyebaran Covid-19.

Pemerintah cenderung menganggap remeh hal tersebut. Ini misalnya tampak dari narasi yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan pada pertengahan Januari yang menyatakan, “Masyarakat tidak perlu panik soal penyebaran virus korona, enjoy saja”. (Satria 2020). Sementara itu, beberapa hari kemudian, pada awal Februari, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) mengklaim bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara besar di Asia yang belum memiliki kasus positif virus korona (cnnindonesia, 2020). Narasi-narasi tersebut menunjukkan ketidaktanggapan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang pada saat itu sudah menyebar ke banyak negara.

Sikap abai pemerintah juga terbukti, sejak awal pandemi, kebijakan Pemerintah tampak lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada kepada rakyat kebanyakan. Kebijakan dimaksud di antaranya kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19, pembubaran sejumlah organisasi kemasyarakatan, dan penerbitan sejumlah regulasi, salah satunya Undang-Undang Cipta Kerja. (Kompas.id, 18/1/2021)

Pemerintah lebih berkepentingan menyelamatkan bisnis para kapitalis daripada menyelamatkan jutaan nyawa rakyat. Itulah mengapa, sampai saat ini, kebijakan lockdown tak kunjung segera diambil. Alasannya, kebijakan lockdown dianggap akan merugikan secara ekonomi, terutama tentu berdampak pada bisnis para kapitalis.

Alasan lainnya, tentu karena kebijakan lockdown —sesuai UU Kekarantinaan— mewajibkan pemerintah untuk memberikan kompensasi untuk rakyat. Inilah yang sejatinya dihindari oleh pemerintah. Kompensasi untuk rakyat dianggap sebagai beban.

Padahal konon pemerintah sudah menghabiskan seribuan triliun rupiah dana pinjaman yang dimaksudkan untuk mengatasi pandemi dan segala dampaknya. Namun, semua itu seolah tak berarti. Sebabnya, dana sebanyak itu tak banyak dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Boleh jadi malah lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang yang notabene para kapitalis.

Bagaimanapun, langkah strategis menyikapi pandemi adalah lockdown. Ini sudah jelas sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya”. (HR Muslim)

Tak ada alasan lagi, sebagai negeri muslim terbesar di dunia, sudah sangat layak bagi Indonesia juga mengambil solusi syar’i dalam penanganan pandemi. Semata karena solusi yang bersumber dari syariat, pasti memberikan kebaikan bagi masyarakat luas. Demikianlah semestinya, bahwa penanganan pandemi selayaknya bersumber dari ideologi Islam. Waalahu ‘alam bishowab.

Iklan
Iklan