Kepala Disbudpar Kota Banjarmasin, Ikhsan Alhak mengakui kini pihaknya terpaksa menutup Pasar Terapung yang menyatu dengan siring dengan alasan tak ada dana operasionalnya sampai ada anggaran
BANJARMASIN, KP – Pengunjung objek wisata Siring Sungai Martapura kini tak bisa lagi menikmati nuansa pasar terapung yang ada di Siring Piere Tendean, Banjarmasin.
Pasalnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Banjarmasin, mengaku kehabisan dana untuk melanjutkan operasionalnya.
Kepala Disbudpar Kota Banjarmasin, Ikhsan Alhak mengatakan, kini pihaknya terpaksa menutup operasionalnya hingga adanya anggaran.
“Sampai ada dana, di anggaran tahun 2022. Kita lihat saja nanti apakah ada anggarannya,” ucapnya saat dihubungi awak media melalui sambungan telepon, Rabu (29/12) petang.
Seperti diketahui, guna menarik wisatawan, Pemko Banjarmasin melalui Disbudpar mencoba menghidupkan lagi nuansa pasar terapung yang melegenda.
Alih-alih menghidupkan Pasar Terapung di Muara Kuin, pemko mencoba suasana baru. Dengan meletakkan pasar terapung di Siring Sungai Martapura.
Memudahkan wisatawan untuk berbelanja, pemko juga membangun dermaga pasar terapung di situ. Upaya yang dilakukan cukup membuahkan hasil. Wisatawan berdatangan.
Siring Martapura pun ramai. Sayang, upaya memerlukan timbal balik. Lantaran tak mudah mendatangkan pedagang pasar terapung.
Disbudpar, harus menggelontorkan dana operasional agar pedagang pasar terapung mau datang.
Saat itu, yang tersohor adalah Pasar Terapung di Desa Lok Baintan. Sedangkan Pasar Terapung Muara Kuin, mati suri.
Alhasil, disbudpar pun ‘menyewa’ sejumlah pedagang di Lok Baintan Kabupaten Banjar, untuk bisa berjualan di Dermaga Pasar Terapung Sungai Martapura.
Pedagang yang didatangkan tidak sedikit. Jumlahnya variatif, dari 60 hingga 75 pedagang. Dalam satu hari operasional saja, masing-masing pedagang diberikan insentif Rp100 ribu sebagai biaya pengganti transport.
Maka, apabila disbudpar mendatangkan misalnya lima puluh pedagang dua kali dalam sepekan, setidaknya pemko memerlukan dana sebesar Rp10 juta.
Sedangkan dalam setahun, disbudpar setidaknya mesti menggelontorkan biaya sebesar Rp520 juta. Alias lebih dari setengah miliar. Jumlah itu, hitung-hitungan kasar penulis.
“Biasanya, jumlah yang didatangkan bervariatif. Bisa 60 sampai 75 pedagang. Tergantung kesibukan pedagang,” lanjut Ikhsan.
Disinggung apakah ada kenaikan biaya operasional nantinya, Ikhsan mengaku tak ada kenaikan. Alias masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Kami belum tahu kapan anggaran bisa turun. Tapi kemungkinan bisa di bulan Februari atau Maret,” ungkapnya.
“Kecuali bila pedagang bersedia tak ada insentif untuk ganti transportasi, bisa saja kami pertimbangkan untuk operasionalnya,” tutupnya. (Zak/K-3)