Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja
Kasus pelecehan seksual masih saja marak, yang terbaru adalah kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang dialami pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Berkaitan dengan payung hukum pelecehan seksual ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS). Namun, sebanyak 85 pasal hilang dalam perubahan judul tersebut. (cnnindonesia.com, 2/9/2021).
Temuan Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (Kompaks), draf RUU P-KS per September 2020 berjumlah 128 pasal. Kemudian, jumlah itu turun drastis di draf RUU TP-KS per 30/8/2021 menjadi 43 pasal. Perwakilan Kompaks, Naila, menyatakan sebelumnya RUU P-KS menetapkan bentuk kekerasan sebanyak sembilan jenis: pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Sedangkan RUU TP-KS atau draf terbaru hanya menetapkan bentuk kekerasan sebanyak empat: pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. (cnnindonesia.com, 3/9/2021). Aktivis perempuan, Devi Asmarini, menilai bentuk kekerasan seksual berupa perkosaan dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjadi samar dalam RUU TP-KS. KBGO tidak diakomodir, padahal kasus kekerasan seksual di media sosial terus terjadi. RUU TP-KS dinilai hanya fokus pada penindakan pelaku, tidak terlalu fokus pada pemulihan korban. (cnnindonesia.com, 9/9/2021).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menegaskan pihaknya mendukung kepolisian mengusut kasus pelecehan seksual dan perundungan yang diduga dilakukan oleh tujuh pegawainya terhadap seorang pegawai KPI Pusat. Dukungan untuk penyelidikan lebih lanjut itu disampaikan oleh Ketua KPI Pusat Agung Suprio sebagaimana dikutip dari keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu. Seorang pria yang mengaku sebagai pegawai KPI Pusat mengaku sebagai korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai di Kantor KPI Pusat selama periode 2011-2020.
Pengakuan korban itu muncul ke publik lewat siaran tertulis yang diterima oleh sejumlah media nasional di Jakarta, Rabu. Dalam pengakuan itu, korban mengaku mengalami trauma dan stres akibat pelecehan seksual dan perundungan yang menjatuhkan martabat dan harga diri korban. Korban menyampaikan ia sempat melapor ke Komnas HAM dan kepolisian. Namun, saat melaporkan kasus yang dia alami, polisi yang menerima laporan meminta korban menyelesaikan masalah itu di internal kantor.
Korban pun melapor ke kantor, tetapi aduan itu hanya berujung pada pemindahan divisi kerja dan pelaku tidak mendapat hukuman. Pemindahan itu, kata korban lewat siaran tertulisnya, tidak menghentikan perundungan dari para pelaku. Terkait aduan terbuka yang dibuat oleh korban, KPI Pusat menyampaikan pihaknya tidak akan menoleransi segala bentuk pelecehan seksual dan perundungan dalam bentuk apapun. “(KPI Pusat) melakukan langkah-langkah investigasi internal dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak,” kata Agung Suprio sebagaimana dikutip dari pernyataan sikap KPI Pusat.
Kemudian, KPI Pusat akan memberi perlindungan dan pendampingan hukum serta pemulihan secara psikologis terhadap korban. “KPI Pusat akan menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan (bullying) terhadap korban sesuai hukum yang berlaku,” ujar Ketua KPI Pusat menegaskan. Sejauh ini, korban belum dapat dihubungi untuk diminta konfirmasinya terkait aduan terbuka itu. Tujuh pegawai KPI Pusat yang diduga melakukan pelecehan seksual dan perundungan terhadap korban juga belum dapat dihubungi untuk diminta tanggapannya.
Kejahatan seksual bisa berbentuk memiliki perzinaan, LGBT, prostitusi (pelacuran), pencabulan, dan perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Di antara kejahatan seksual yang disebutkan tadi, di antaranya dilakukan dengan cara kekerasan dan ada yang tidak. Istilah kejahatan seksual yang paling sering didengar adalah pelecehan seksual dan perkosaan. Jarimah, secara ilmu bahasa artinya perbuatan dosa, perbuatan salah, atau kejahatan.
Menurut istilah para fukaha, yang dinamakan jarimah adalah larangan-larangan syariat (melakukan hal yang dilarang dan/atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had (hudud) atau takzir. Perubahan-perubahan pasal di dalam RUU P-KS atau RUU TP-KS menunjukkan bahwa hukum positif hasil pemikiran manusia sangat bisa berubah-ubah sesuai keinginan manusia, manfaat, atau kemaslahatan menurut manusia yang cenderung berubah tolok ukur benar salahnya. Kasus kejahatan seksual juga tetap saja marak karena selain undang-undangnya mengandung pasal karet, sanksi hukum sekuler juga tidak membuat jera.
Akal manusia itu terbatas. Hawa nafsu manusia sering kali mengalahkan akal sehat. Kejahatan seksual marak karena manusia mendewakan akal dan meninggalkan sumber hukum Ilahi. Maka, kita membutuhkan aturan dari Sang Pencipta dan Pengatur jagat raya karena Allah Swt. yang mengetahui hikmah dari semua hukum syariat yang diatur-Nya, termasuk kemaslahatannya. Allah SWT berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran : 14)
Islam melawan segala bentuk kejahatan seksual. Islam memiliki mekanisme yang menyolusi kasus kejahatan seksual. Mekanisme pertama, Islam menerapkan sistem pergaulan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik ranah sosial maupun privat. Islam memerintahkan menutup aurat atau segala sesuatu yang merangsang sensualitas, karena umumnya kejahatan seksual itu dipicu rangsangan dari luar yang bisa memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
Islam pun membatasi interaksi laki-laki dan perempuan, kecuali dalam beberapa aktivitas yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dll). Mekanisme kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa perintah amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik.
Mekanisme ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Rasulullah SAW bersabda, “Dengarkanlah aku, Allah telah menetapkan hukuman bagi mereka itu, perawan dan perjaka yang berzina maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan pria yang sudah tidak perjaka dan perempuan yang sudah tidak perawan (yang keduanya pernah bersetubuh dalam status kawin), maka akan dijatuhi hukuman cambuk dan dirajam”. (HR Muslim)
Hukuman rajam bagi pelaku kemaksiatan juga tidak dilakukan sembarangan. Harus didetailkan kasusnya oleh kadi (hakim) yang berwenang, harus ada saksi dan seterusnya. Semua bentuk hukum Islam ditegakkan sebagai penebus dosa pelaku kemaksiatan di akhirat (jawabir) dan sebagai pencegah (zawajir) orang lain melakukan pelanggaran serupa agar jera. Semua ini adalah bentuk penjagaan Islam yang paripurna terhadap generasi masyarakat. Ketiga mekanisme Islam ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kafah yaitu Khilafah Islamiah, bukan institusi sekuler liberal yang malah melanggengkan kemaksiatan.