Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Mengurai Akar Kekerasan

×

Mengurai Akar Kekerasan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum
Pemerhati Masalah Sosial

Fenomena kekerasan semakin memprihatinkan di negeri ini. Di tengah pesatnya perkembangan peradaban modern, masyarakat justru menunjukkan sikap agresif dan anarkistis. Sejumlah kekerasan terjadi dalam waktu yang hampir beruntun. Satu kekerasan belum tertangani secara tuntas muncul lagi aksi-aksi kekerasan lainnya.

Baca Koran

Di pertengahan Januari ini saja telah terjadi bentrokan yang menelan korban jiwa di Sorong Papua Barat. Selang beberapa hari, muncul bentrokan warga dari dua desa di Pulau Haruku, Maluku Tengah. Belum lagi kekerasan oleh guru terhadap murid seperti yang terjadi di SMPN 49 Kota Surabaya baru-baru ini, dan juga kasus penganiayaan guru SMP di Janeponto oleh keluarga siswa pada Rabu (26/1/2022), hingga maraknya aksi tawuran pelajar, terlebih di tengah kewaspadaan masyarakat terhadap pandemi virus Corona atau Covid-19. Yang cukup mencengangkan, pelaku tawuran tidak hanya berasal dari kalangan pelajar SMA dan pelajar SMP. Pelajar SD pun sudah mulai berani terlibat dalam aksi tawuran. Hal ini seperti yang terjadi pada hari Rabu (26/1/2022) dimana sebanyak tujuh siswa kelas 6 SD di Jalan Taruna Jaya, Kelurahan Cibubur, Jakarta Timur, kedapatan membawa senjata tajam karena ingin ikut-ikutan tawuran dengan pelajar SMP.

Kebrutalan pelajar yang saling melukai hingga menyebabkan jatuh korban tentunya sangat mencoreng dunia pendidikan. Pendidikan yang idealnya melahirkan manusia yang humanis dan beradab harus tereduksi oleh aksi-aksi kekerasan.

Eskalasi kekerasan yang terus menerus atau menggenerasi dikhawatirkan akan membudaya di masyarakat. Ketika tindak kekerasan telah membudaya, sekecil apa pun gesekan dan pertikaian terjadi, ujung-ujungnya bukan tidak mungkin akan memicu terjadinya konflik yang eksplosif. Akibatnya massa kehilangan rasa tanggung jawab individual terhadap hukum, moral dan kemanusiaan.

Memang ada upaya-upaya yang dilakukan, tetapi problem-problem yang ada nyaris tidak mengalami pergeseran menjadi lebih baik, terlebih lagi terselesaikan.

Jangan sampai aksi kekerasan seolah menjadi pembiaran dan dianggap hal biasa hingga bakal terjadi setiap waktunya.

Akar Permasalahan

Fakta kekerasan yang terus terjadi mengindikasikan makin langka dan tiadanya preferensi yang bisa dijadikan acuan untuk berkaca pada hal-hal yang baik dalam menanggapi potensi konflik. Akibatnya masyarakat Indonesia saat ini lebih mengedepankan emosional, ketimbang cara-cara demokrasi yang dianut oleh Indonesia.

Baca Juga :  Menjadi Muslim Maksimalis dan Minimalis

Beberapa hal berikut bisa menjadi pemicu maraknya aksi kekerasan di negeri ini.

Pertama, rendahnya keteladanan pemimpin seringkali menjadi salah satu penyebab konflik sosial tercipta. Tiadanya panutan bagi masyarakat dalam menyelesaikan konflik melalui jalur yang telah disediakan sistem menyebabkan masyarakat pun seolah-olah tidak memiliki pilihan selain menyelesaikannya lewat konflik yang manifest dan keras.

Lihat saja bagaimana saat ini pertikaian elite bangsa kerap ditampilkan di berbagai jenis media, seolah-olah media asyik membangun ruang pertarungan tersebut tanpa memperhatinkan dampak yang ditimbulkan pada publik nantinya. Tak ayal lagi, ledek-meledek, sikut-menyikut sepertinya sudah menjadi menu wajib keriuhan pro dan kontra atas sebuah isu.

Ditambah lagi aksi arogansi para wakil rakyat yang ‘tanpa malu’ mempertontonkan perkelahian saat sidang-sidang di lembaga legislatif. Disadari atau tidak, sikap ala preman dewan yang dianggap terhormat tersebut justru berkontribusi terhadap pelegalan kekerasan di masyarakat dalam menyelesaikan konflik.

Kedua, lemahnya supremasi hukum. Konflik yang mencapai tahap kekerasan biasanya disebabkan karena masyarakat frustasi akibat cara-cara legal yang telah ditempuh gagal atau diabaikan. Tindakan anarkis dianggap sebagai bentuk jawaban konkret atas tidak berjalannya mekanisme hukum yang ada saat ini. Jadi, daripada tidak berjalan, lebih baik mengambil jalan tindakan sendiri-sendiri. Hal ini seperti yang diutarakan Darmanto Jatman (2000) mengatakan, “Aksi anarki dan teror terjadi karena negara sudah kehilangan kontrol terhadap masyarakat, sehingga seringkali muncul pembunuhan massal maupun aksi main hakim sendiri. Yang terjadi berkaitan dengan lemahnya supremasi hukum, hancurnya kewibawaan eksekutif, sehingga celah itu dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak menaruh percaya lagi pada hukum.”

Lemahnya penegakan hukum di satu sisi juga membuat pelaku-pelaku tindak kekerasan tidak memiliki efek jera atas apa yang sudah dilakukan. Akibatnya kekerasan terus berulang dan sulit diminimalisir.

Ketiga, masyarakat yang frustasi. Masyarakat yang frustasi akan cenderung bertindak agresif. Kefrustasian yang dimaksud antara lain dipicu oleh problematika ketidakadilan dan kesenjangan dalam pengaturan sosial-ekonomi, politik dan pemanfaatan sumber daya alam, bahkan dalam kehidupan berbudaya. Belum lagi stres yang dialami oleh masyarakat dimasa pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai. Kekerasan dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesenjangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ted Robert Gurr, Denton E. Morisson, dan James Davis dikutip dari Aribowo (2020:32) menganggap tingkah laku agresif (khususnya tingkah laku agresif massa) timbul sebagai akibat adanya frustasi dalam masyarakat. Ketika dalam suatu masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara “nilai yang diharapkan” dengan “nilai kapabilitas” untuk menggapai harapan tadi maka masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kekecewaan dan frustasi. Kondisi ini pada gilirannya akan memunculkan tindakan melawan atau memberontak, semakin
besar tingkat kesenjangan yang terjadi, maka semakin besar pula kemungkinan munculnya tindakan melawan dan memberontak tersebut. Dan kesenjangan itu pula yang mengilhami timbulnya aksi-aksi massa.

Baca Juga :  Kisah Kasih Seorang Ibu

Keempat, pembangunan karakter kebangsaan belum menjadi prioritas. Padahal pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi justru memperlebar kesenjangan. Contohnya negara superpower yang mengandalkan pertumbuhan semata akhirnya mengalami kegagalan dan mengalami krisis berkepanjangan.

Jika ingin membangun dan menyelamatkan bangsa, harusnya pemerintah juga menitik beratkan pembangunan karakter sebagai visinya, bukan hanya sekadar wacana tanpa realitas. Pembangunan karakter yang dikesampingkan, akan menyebabkan menurunnya kualitas pendidikan kemanusiaan, baik di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.

Perlu Pembenahan Sistem

Persoalan konflik yang berujung kekerasan harus dimulai dengan memperhatikan seluruh sistem yang terkait dengan tindak kekerasan. Kekerasan bukan hanya terjadi karena pelaku yang jahat atau tidak terdidik. Tetapi karena sistem yang dinilai tidak memberikan kemampuan afeksi.

Ada adigium yang menyatakan, “Kejahatan itu bukan diciptakan oleh masyarakat, tetapi kejahatan itu diciptakan oleh sistem yang tidak benar dan jika kita tidak mampu merubah sistem yang tidak benar itu, maka kita juga merupakan bagian dari suatu kejahatan”.

Atas dasar itulah membutuhkan sinergi semua pihak semua pihak untuk mencegah dan menangani berbagai tindakan yang bersifat kekerasan itu karena tidak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Iklan
Iklan