Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Penghapusan Status Honor, Bagaikan Berita Horor!

×

Penghapusan Status Honor, Bagaikan Berita Horor!

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dewi Ummu Aisyah
Pemerhati Masalah Pendidikan

Nasib honorer di negeri ini bak sudah jatuh tertimpa tangga. Pasalnya berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan, namun belum berhasil mensejahterakan mereka. Baru-baru ini, honorer kembali dibuat khawatir dengan pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo yang menegaskan status tenaga honorer akan selesai atau dihilangkan pada 2023. Sehingga tidak ada lagi pegawai berstatus honorer di instansi pemerintahan (Liputan6.com, 20/02/22).

Baca Koran

Kekhawatiran itu juga disampaikan oleh Ketua Forum Honorer Sekolah Negeri FHSN Gunung kidul Aris Wijayanto, meski demikian dia ingin berprasangka baik. Dia berharap dalam waktu satu tahun ini semua guru honorer akan diangkat menjadi ASN (Liputan6.com, 20/02/22).

Akankah semua guru honorer diangkat menjadi ASN sebelum tahun 2023? Rekrutmen PNS di sektor pendidikan telah ditiadakan sejak tahun 2021 kemaren, perekrutan diganti menggunakan sistem Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Meski sama-sama berstatus ASN, namun faktanya terdapat perbedaan mencolok diantara keduanya. Yang paling sering dieluhkan adalah tentang tidak adanya uang pensiunan bagi pegawai PPPK.

Perjalanan kelam tentang proses perekrutan PPPK tahun kemaren pun masih terekam jelas. Beratnya perjuangan para guru honorer untuk mengikuti setiap prosesnya. Ada yang kesulitan untuk melengkapi berkas administrasi karena tidak sesuai dengan basis pendidikan atau tidak linier, ada juga yang kesulitan pada saat mengikuti ujian seleksi dengan Tes Berbasis Komputer (TBK).

Seperti video yang beredar di media sosial salah satunya di channel youtube Tribun Jogja TV (16/09/21), yang menampilkan seorang guru honorer beusia 57 tahun berjuang mengikuti Tes PPPK, namun ternyata hasilnya tak lolos. Ada juga seorang ibu guru honorer yang sudah tua dan dalam kondisi sakit, terpaksa harus digendong untuk datang ke tempat ujian. Belum lagi, para honorer yang sudah tidak muda lagi ini harus berjuang ekstra untuk membaca tiap soal panjang yang ditampilkan dilayar komputer, mengisi jawaban dari keyboard yang belum biasa mereka jamah, dengan waktu singkat yang telah ditentukan.

Baca Juga :  DUNIA INI TEMPAT BELAJAR

Selama ini nasib honorer memang jauh dari kata sejahtera. Tugas mulia yang diemban, tidak lantas membuat mereka diperlakukan mulia oleh negara. Gaji kecil Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan dan itupun kadang baru dibayar hingga 3 bulan, membuat para guru honorer berharap besar dapat lolos seleksi PPPK. Sayangnya harapan tidak semanis kenyataan. Kenyataan pahit masih terus bertambah dengan rencana kebijakan penghapusan status honor yang terdengar bagaikan berita horor.

Ada apa dengan negeri ini? Sampai kapan guru menjadi pahlawan tanpa tanda jasa yang nyata? Apakah bisa rakyat berkata, negeri ini sudah tidak terlalu membutuhkan mereka, padahal data tahun 2021 berkata bahwa hampir 40% pengajar berstatus hononer? (Suaramerdeka.com, 19/10/21). Apakah bisa rakyat berkata, negeri kaya ini kekurangan dana untuk menggaji mereka tapi di lain kesempatan justru menggelontorkan banyak dana untuk perpindahan ibu kota negara? Lalu apa yang menjadi alasan begitu sulit untuk memuliakan mereka yang mencerdaskan anak bangsa?

Beginilah potret buram nasib guru di negeri ini. Negeri dengan sistem sekuler yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Begitu jauh jika dibandingkan dengan potret indah kehidupan guru di masa ketika agama digunakan untuk mengatur kehidupan, yakni di masa kepemimpinan Islam. Islam mewajibkan menuntut ilmu dan memuliakan orang berilmu. Rasulullah Saw. bersabda, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah). Allah berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadalah : 11).

Jika Allah saja memuliakan orang berilmu, bagaimana bisa manusia justru menghinakannya? Ketaatan kepada Allah dan Rasulullah, telah menuntun para khalifah di masa kepemimpinan Islam untuk memuliakan para guru. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Al Khattab yang menggaji guru sebesar 15 dinar atau setara dengan lebih dari Rp50 juta per bulan tanpa ada perbedaan status kepegawaian.

Baca Juga :  JAHILIYAH

Hal ini mudah dilakukan karena negara Islam menjalankan ekonomi yang berbasis Islam pula yakni baitulmal. Dalam baitulmal terdapat pos-pos yang telah ditentukan sumber dan peruntukkannya. Maka, sistem pendidikan termasuk kondisi pengajar di dalamnya tidak akan mampu menjadi baik jika berdiri sendiri tanpa dukungan sistem lainnya yang berada di bawah payung sistem negara yang sempurna. Itulah Islam. Dengan segenap aturannya, kesejahteraan guru tidak akan menjadi mimpi semata.

Iklan
Iklan