Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Politik di Banjarmasin
Seperti sudah diketahui, belum lama ini Gibran Rakabuming Raka dalam posisinya sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto, sempat jadi bulan-bulanan warganet dan rival politiknya, gara-gara keliru menyebut suatu istilah. Dalam sebuah acara pencegahan stunting di kalangan ibu-ibu, Gibran menyatakan ibu-ibu hamil dan menyusui perlu diberikan asam sulfat, padahal yang benar adalah asam folat. Karuan saja publik geger, karena asam sulfat sangat bertolak belakang dengan asam folat. Kesalahan kata tersebut digoreng oleh netizen dalam bentuk karikatur, sindiran atau mural politik, lelucon dan sebagainya.
Asam sulfat dengan rumus kimianya (H2S04) adalah benda mati (anorganik) berupa zat kimia, yang biasa digunakan untuk pembuatan pupuk kimia, cairan aki, bubur kertas serta membuat berbagai bahan kimia lain seperti asam nitrat (HNO3) dan asam klorida (HCL). Tentu zat ini terlarang dikonsumsi oleh ibu-ibu hamil dan menyusui, karena bisa berakibat perut bocor, sakit dan bahaya lainnya.
Berbeda dengan asam folat (folic acid), zat ini memang sangat dibutuhkan oleh tubuh, di antara fungsinya adalah memproduksi dan memelihara sel-sel baru, juga mencegah perubahan pada DNA yang mengakibatkan kanker. Zat ini terkandung dalam beberapa sayuran seperti kacang kering, kacang palung, jeruk, gandum, hati, asparagus, brokoli, kecambah, bayam dan sebagainya. Menurut beberapa teman praktisi kedokteran seperti Dr dr Dharma PTR Maluegha Sp.BP dan Dr Herry Purwosusanto Sp.BA, kekurangan asam folat pada ibu-ibu hamil, juga dapat mengakibatkan anak bayi lahir cacat, seperti bibir sumbing dan celah langit (cleft lip and palate) serta kelainan kraniofacial lainnya.
Soal Biasa
Kesalahan sebut suatu kata atau istilah tentu merupakan hal biasa, dan ini sudah terjadi sejak ratusan tahun silam. Kekeliruan ini dalam bahasa Indonesia dinamakan keseleo lidah atau kilir lidah. Dalam bahasa Inggris disebut tongue slip atau slip of tongue, atau bahasa medisnya spoonerisme, yang secara definitif diartikan kesalahan dalam bicara atau menyebut kata-kata, kekeliruan karena seseorang tidak memproduksi kata-kata yang sebenarnya. Bisa juga diartikan seseorang ingin mengatakan sesuatu, tetapi yang keluar dari mulut adalah kata-kata atau istilah yang lain. Hal yang terjadi pada Gibran mungkin masuk kategori ini. Yang ia maksudkan asam folat, lantas kesebut asam sulfat. Relatif sama kalau kita tidak hati-hati, bisa saja menyebut kedelai menjadi keledai, dua hal yang artinya berbeda jauh.
Mengingat gejala ini sudah terjadi sejak lama, maka ahli psikoanalisis asal Austria, Sigmund Freud yang hidup 1856-1939, tertarik menelitinya. Ternyata, penyebab terjadinya keseleo lidah bisa karena berbicara dalam keadaan tergesa-gesa, grogi (gugup), demam panggung, kurang fokus, tidak sengaja, kurang mendalami dan menguasai materi yang dibicarakan, dan dalam beberapa kasus juga karena ingin membuat humor atau lelucon. Freud menyebut gejala ini dengan Fehlleistingen, yang artinya kesalahan menyebut suatu kata atau istilah. Dari penelitian Sigmund Freud inilah maka sebagai penghargaan atas kegigihannya melakukan kajian, oleh ahli psikoanalisis Inggris James Strachey, gejala ini disebut juga Freudin Slip.
Karena merupakan gejala umum, maka keseleo lidah tidak saja sering dialami oleh orang awam, tetapi juga biasa dialami publik figur yang jam terbangnya sudah tinggi. Meskipun dalam bentuknya yang berbeda, misalnya Menko Polhukkam Prof Dr Mahfud MD yang saat ini menjadi cawapres mendampingi Ganjar Pranowo, juga pernah kesulitan mengucapkan kalimat “menyengsarakan” rakyat. Dulu seorang petinggi partai juga sempat diejek netizen karena salah menyebut nahi munkar menjadi nahi mankur, dan banyak kasus lainnya.
Di era digital dan online sekarang, kesalahan sebut suatu istilah dalam bahasa Arab, Inggris atau apa saja, rentan jadi bahan bullyan warganet, baik serius maupun sekadar humor. Kekeliruan menyebut suatu istilah kemaren itu terjadi pada Gibran, sehingga masalahnya jadi ramai. Sekiranya Gibran tidak sedang menjadi walikota dan/atau cawapres, mungkin hal begitu dibiarkan saja. Bahkan ada pelawak yang sengaja menggunakan dan memaknai kata-kata secara salah agar orang jadi tertawa.
Kerancuan Bahasa
Bagi orang Indonesia, termasuk urang Banjar yang kemampuan literasinya agak kurang, kesalahan menyebut suatu istilah juga diperparah oleh adanya arti/makna suatu kosakata yang bertolak belakang dengan arti sebenarnya seperti tertulis di dalam Kamus Bahasa Indonesia. Misalnya acuh yang arti sebenarnya peduli, justru dimaknai tidak peduli (tidak acuh). Pemaknaan terbalik ini kadang juga ditemui dan dilakukan di kalangan terpelajar.
Begitu pula kata indah, yang arti kedua (setelah cantik, bagus, elok), juga bermakna peduli (akan), menaruh perhatian (akan), berminat (akan), justru diartikan tidak, sehingga ada kalimat misalnya “siapa yang mengindahkan akan terkena sanksi…”, padahal seharusnya “siapa yang tidak mengindahkan…”.
Belum lagi kalau kita bandingkan dengan bahasa Melayu di negeri jiran Malaysia, kata seronok yang di kita bermakna berpakaian atau tampilan seksi yang mengundang birahi, di sana justru berarti indah dan cantik. Kereta yang di sana bermakna mobil, di kita lain lagi artinya.
Adanya banyak bahasa serapan seperti bahasa Arab yang ingin diindonesiakan dengan mengubah hurufnya, ke depannya juga bisa menjadi masalah, misalnya kalbu (hati), seharusnya tetap dengan bahasa aslinya (qalbu(n), sebab kalau dirubah jadi kalbu(n), dalam bahasa Arab berarti anjing, dan banyak lagi.
Mengingat masih ada kerancuan bahasa begini, maka ketika ada seseorang tersalah menyebut kata atau artinya, semua harus dimaklumi. Manusia memang tempatnya salah dan khilaf. Tak hanya dalam berkata-kata lisan, bahkan dalam menulis di komputer atau mengirim kata-kata, pesan atau obrolan (chat) melalui watsap pun sering sekali kesalahan itu terjadi tanpa disadari.
Sekali lagi masalah begini biasa dan sering terjadi dalam komunikasi verbal, pada orang bahkan diri sendiri. Apalagi kalau sudah beranjak tua, hal-hal yang awalnya diingat dan berada di ujung lidah, begitu mau diucapkan malah terlupa. Saat berpidato, berkhutbah dan sejenisnya, pakai teks atau tanpa teks, sama-sama punya potensi kesalahan dan kealpaan. Ada pengurus masjid yang mewajibkan khatibnya berkhutbah pakai teks guna menghindari kesalahan (takang). Tetapi ternyata dengan teks pun bisa saja terjadi kesalahan, tersendat dan sebagainya. Sekali lagi manusia tidak ada yang sempurna. Belum lagi persoalan mata atau kacamata yang mungkin kurang pas sehingga penglihatan agak kabur dan sebagainya.
Di musim kampanye pemilu presiden dan legislatif sekarang, seyogianya kita tidak mengkritisi dan menguliti hal-hal kecil. Lebih baik publik mengkritisi rekam jejak mereka, menanyakan apa gagasan dan komitmen para calon untuk mengatasi masalah dan tantangan bangsa dan negara, apa visi dan misi mereka membangun kesejahteraan rakyat sekarang dan ke depan. Kita berharap negeri yang besar ini akan menjadi negara adil dan sejahtera, maju dan bersatu, kuat dan bermartabat, dihormati dan disegani dalam percaturan internasional. Semoga.