Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
Komisi III DPRD Kalsel melakukan kunjungan kerja ke DPRD Jawa Timur, Senin (18/3/2024). Jawa Timur dianggap berhasil menangani masalah kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni. Hal itu yang mendasari Komisi III DPRD Provinsi Kalimantan Selatan melakukan kunjungan kerja ke DPRD Jawa Timur pada Senin (18/3/2024). Para wakil rakyat Banua itu ingin menggali lebih dalam terkait langkah yang dilakukan DPRD Jatim. Baik dari konsep penanganan, program-program yang digunakan, hingga regulasi dan peran DPRD setempat.
Sekretaris Komisi III DPRD Kalsel, Gusti Abidinsyah membeberkan ada sejumlah faktor yang membuat Jatim mampu mengatasi masalah kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni. Satu di antaranya yakni bekerjasama dengan TNI atau Kodam Brawijaya, dalam hal menangani masalah pembangunan rumah layak huni. “Di situ banyak kemudahan kemudahan dan pekerjaan pekerjaan yang sulit dapat diselesaikan,” ujarnya. Komisi III DPRD Kalsel melakukan kunjungan kerja ke DPRD Jawa Timur, Senin (18/3/2024).
Menurut Abidinsyah, pola tersebut dapat dilakukan di Kalsel. Dengan catatan yang program ini di luar dari usulan dinas. “Program ini dari harus usulan dari DPRD Kalsel, sehingga ada kerjasama yang sinergisitas. Dan hal ini akan kita coba di Kalsel,” tuturnya. Pada pertemuan itu, rombongan Komisi III diterima oleh Komisi D DPRD Jatim dan Dinas Penanggulangan Resiko dan Bencana Provinsi setempat.
Pemerhati kebijakan publik Iin Eka Setiawati mengaku miris dengan adanya masalah rumah kumuh ini. Dalam keterangannya kepada MNews, Rabu (21-2-2024), ia menilai persoalan tersebut telah menjadi fenomena di berbagai daerah di Indonesia dan telah lama terjadi, bahkan menampakkan kegagalan negara dalam menemukan akar masalahnya. “Fenomena rumah kumuh menunjukkan bahwa pemerintah gagal menemukan akar masalahnya sehingga negara ini pun telah gagal menjamin tersedianya rumah layak huni bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin,” ujarnya.
Apalagi, menurutnya, dalam realitasnya, masyarakat miskin sulit mengakses rumah layak huni yang sesuai kebutuhannya. “Alhasil masyarakat miskin mencari hunian yang murah berlokasi dekat pusat kegiatan, tetapi kondisinya tidak layak alias tinggal di rumah kumuh,” ucapnya. Meskipun, tambahnya, pemerintah mengeklaim telah menjalankan berbagai upaya pengentasan permukiman kumuh, seperti membuat program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).
“Alih-alih fenomena rumah kumuh ini hilang, justru terus berlanjut, Bahkan pemerintah juga mengeklaim dengan program yang dijalankan telah terjadi penurunan jumlah rumah kumuh, tetapi mirisnya, penurunan tersebut belum menihilkan rumah kumuh. Kondisi semacam ini seharusnya tidak boleh ada. Seharusnya seluruh masyarakat dapat tinggal di rumah layak huni,” tukasnya.
Problem perumahan layak huni adalah problem klasik yang belum ada solusi tuntasnya hingga hari ini. Problem ini terus terjadi karena orientasi pembangunan perumahan yang dilakukan negara bukan pada terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat, melainkan bisnis. Lihatlah, suntikan dana bagi pengembang terus-terusan diberikan dengan alasan agar mereka bergairah untuk terus membangun perumahan bersubsidi.
Sedangkan untuk rakyat, tidak ada sedikit pun bantuan dana yang diberikan. Sekalipun pemerintah telah menyiapkan berbagai skema subsidi KPR (kredit kepemilikan rumah), tetap saja rumah bersubsidi yang dikatakan “murah” tersebut tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Negara dalam sistem sekuler kapitalisme memang bukan didesain untuk melayani kepentingan rakyat, melainkan melayani kepentingan oligarki.
Di dalam sistem ini, negara didesain hanya sebagai regulator yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan pengusaha, serta mencegah konflik antara keduanya. Faktanya, yang dimaksud “mencegah konflik” itu adalah dengan cara negara untuk lebih mengedepankan kepentingan pengusaha daripada rakyatnya. Ini terjadi karena telah terbentuk relasi antara pengusaha dan rezim pemegang kekuasaan, bahkan sebagian dari pengusaha itu yang kemudian menjadi penguasa.
Mahalnya ongkos demokrasi membuat siapa pun yang ingin berkuasa harus memiliki modal besar. Kucuran modal para pengusaha adalah stimulus bagi calon pemegang kekuasaan. Rezim yang sudah berkuasa kemudian harus membalas budi kepada pemilik modal dengan mengeluarkan serangkaian peraturan perundang-undangan yang memuluskan bisnis-bisnis mereka.
Ketika rumah tidak terbeli, masyarakat berusaha untuk tetap membuat tempat tinggal meskipun tidak layak, baik dari segi bangunannya, fasilitasnya, hingga lingkungannya. Muncullah rumah-rumah tidak layak huni atau permukiman kumuh yang akhirnya berpotensi memunculkan penyakit sosial, seperti pelecehan seksual. Betapa banyak kasus pelecehan seksual yang menimpa anak perempuan, sedangkan pelakunya justru orang orang terdekat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman telah berubah menjadi tempat yang penuh ancaman.
Belum lagi ancaman terhadap kesehatan. Rumah kecil dan kumuh dengan sanitasi yang buruk dan pencahayaan (sinar matahari) yang sangat kurang adalah tempat terbaik bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai kuman penyakit. Itu semua akibat abainya penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Seandainya negeri ini diatur dengan hukum Allah, tentu semua itu tidak akan terjadi.
Jika ditelusuri, ungkapnya, akar masalah fenomena rumah kumuh adalah kelalaian negara yang menerapkan sistem kehidupan sekularisme kapitalisme. “Kapitalisme telah menjadikan tata kelola perumahan publik berada di tangan operator. Negara dilegalkan memberikan kewenangan pengelolaan pembangunan perumahan kepada operator,” ujarnya. Terlebih lagi, lanjutnya, negara tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk membangun perumahan, baik dari segi dana maupun kepemilikan lahan yang akhirnya menyerahkan pengelolaan perumahan kepada operator.
“Pengelolaan dana pembangunan perumahan pun diserahkan kepada bank-bank sebagai operator sehingga rakyat miskin kesulitan mengakses program ini,” cetusnya. Selain itu, ulasnya, adanya liberalisasi harta milik umum menyebabkan harga bahan-bahan bangunan menjadi mahal dan tidak terjangkau rakyat miskin. “Ditambah lagi, adanya otonomi daerah yang diberikan oleh negara telah memberi kontribusi terhadap kesulitan prosedur pembangunan perumahan,” imbuhnya.
Berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan negara lebih memihak kepentingan pengusaha, sistem Islam mewajibkan negara untuk lebih memihak kepentingan rakyat. Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i. Hal tersebut dilakukan melalui beberapa mekanisme sebagai berikut.
Pertama, Khilafah akan menerapkan politik perumahan Islam, yakni sekumpulan syariat dan peraturan administrasi, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Ia merupakan bagian integral dari pelaksanaan seluruh sistem kehidupan Islam. Kehadiran penguasa sebagai pelaksana syariat kafah menjadikan khalifah berkarakter penuh kepedulian dan tanggung jawab. Khalifah bukan berposisi sebagai regulator, melainkan sebagai peri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW telah mencontohkan, saat awal hijrah dari Makkah ke Madinah, dibantu dengan para mu’awin-nya, beliau SAW mengurus tempat tinggal kaum Muhajirin di Madinah karena mereka hijrah tanpa membawa harta. Demikian juga pada masa kekhalifahan Islam, para khalifah telah mengatur tata kota dengan sebaik baiknya, termasuk mengatur lahan perumahan.
Kedua, Khilafah memastikan bahwa rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman, dan syar’i. Islam telah mengajarkan agar setiap orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan saat mereka balig. Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian salat tatkala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila masih enggan salat tatkala mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidurnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim).
Ajaran lainnya adalah meminta anggota keluarga untuk mengetuk kamar orang tua saat ingin masuk pada tiga waktu, yakni setelah isya, sebelum subuh, dan saat istirahat pada siang hari (lihat QS An-Nur: 58). Artinya, rumah yang syar’i harus memiliki kamar untuk orang tua, anak laki-laki, dan anak perempuan, serta satu kamar lagi, yakni untuk tamu, karena Islam memerintahkan umatnya untuk memuliakan tamu.
Ketiga, Khilafah memastikan bahwa harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Rumah sendiri merupakan kebutuhan pokok individu dengan skema jaminan pemenuhannya berdasarkan penanggung jawab nafkah. Fungsi negara dan sistem kehidupan Islam yang diterapkan mendukung penuh fungsi dan kewajiban individu tersebut. Masyarakat dengan penghasilan rendah akan dibantu negara dengan skema subsidi, kredit tanpa bunga, dll. Bahkan, negara bisa memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak mampu membeli rumah. Alhasil, setiap individu rakyat akan benar-benar merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan.
Keempat, Khilafah mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (baitulmal). Saat kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara bisa menarik pajak dari orang kaya. Namun, sifatnya temporer, yakni pungutan dihentikan setelah kebutuhan terpenuhi. Negara tidak akan mengambil pembiayaan dari utang luar negeri. Selain haram karena mengandung riba, yang demikian juga akan menyebabkan kemudaratan. Sebagaimana kita ketahui bahwa utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara kaya terhadap negara miskin.
Khilafah juga akan memastikan semua sumber daya bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi terwujudnya jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat. Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik Khilafah benar-benar berada di puncak kebaikan, tidak terkecuali pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan.
Demikianlah penerapan hukum Islam yang dilakukan negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Ini adalah satu satunya jawaban bagi permasalahan perumahan hari ini. Secara keyakinan, kesahihan konsep, dan bukti penerapannya dalam sejarah peradaban Islam, seluruhnya mengantarkan pada satu kesimpulan, yakni hanya Khilafahlah yang mampu mewujudkan lingkungan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i bagi generasi.