Oleh : ANDI NURDIN LAMUDIN
“Diskursus seputar hubungan Negara dengan agama dalam konteks keindonesiaan sebenarnya bukan hal baru. Ia telah menjadi perbincangan sangat menarik sejak era perjuangan melawan penjajah serta tiada kunjung berakhir hingga saat kini” (Dhurorudin Mashad).
Pada dasarnya telah mencatat jika keinginan di satu sisi sebagian anak bangsa bersemangat untuk menginginkan agama Islam mempunyai hubungan yang masif dengan Negara. Namun juga pada sisi lainnya ada yang juga justru mati-matian menghadang segala kemungkinan “campur tangan” agama Islam di dalam dalam Negara. Dhurorudin melihat jika sejak awal perjuangan mendekati tahun-tahun kemerdekaan polemik hubungan agama dengan Negara kian menanjak. Hal itu tercatat dalam baik pada wacana non formal melalui media massa seperti perdebatan Soekarno melawan Natsir, maupun pada forum resmi dalam BPUPKI. (Oleh E Syaifudin Ansari 1976, mengenai Soekarno), polemik ini terus berlanjut sampai pada era kemerdekaan.
Bahkan katika itu, terjadi juga setelah petang hari setelah kemerdekaan prokamasi 17 Agustus 1945. Dimana manuver Hatta yang menyebabkan dicoretnya beberapa element agama Islam dalam Konstitusi negara itu ternyata juga bukan berarti berakhirnya pertikaian masalah “hubungan agama dan negara”. Hal itu ternyata terbukti dengan pada sidang Majelis Konstituante di Bandung (1956-1959), Nasionalis Islam tetap memperjuangkan Ideologi Islam, dimana setidaknya kembali pada Gentlement’s Agreement, Piagam Jakarta (Faisal Ismail, 1999).
Bahwa menurut Dhurorudin, di era Orde Baru wacana politik dalam hubungannya dengan agama tak terlalu tampak eksistensinya. Namun hal itu bukan berarti jika semangat kaum Islamis telah luntur dalam memperjuangkan hubungan agama dengan negara. Melainkan sebagai reaksi pada waktunya jika Azas Tunggal, dapat menyebabkan hukum Islam menjadi tenggelam dalam wacana hukum di Indonesia.
Dalam sistim pemerintahan terakhir, jelas dan nyata jika hukum dan hukum Islam banyak tergerus oleh sistim yang nampak sepintas lalu adalah membela masalah keadilan. Namun tidak mereka menyadari, oleh ummat Islam, jika hilangnya hukum Syariah Islam pada daerah-daerah adalah sebuah kelalaian yang menyebabkan kerapuhan pada daerah itu sendiri. Karena DPRD pada daerah tentu saja mempunyai kewenangan untuk melihat daerah itu berjalan sesuai dengan adat dan budaya. Dimana budaya dan adat daerah itu adalah perekat masyarakat tersebut. Ini adalah kecolongan yang nyata, jika tatanan hukum dan tatanan hukum di daerah itu terkelupas dan keluar dari jiwa masyarakat daerah. Sebenarnya hal seperti itu, adalah cita-cita Belanda. Nampaknya menjadi terkabul dalam pemerintahan terakhir ini.
Pada masyarakat Barat yang telah kehilangan jiwanya, dimana budaya barat tidak dapat menjamin kebahagiaan ummat manusia. Dengan munculnya LGBT dan penyakit AIDs, serta rusaknya sistim keluarga, tidak perduli akan hidup setelah kematian. Pada masyarakat Indonesia, akan terjadi juga seperti masyarakat Barat, dimana jiwa Islam dan hukum Islam mulai menghilang dari adat masyarakat dan hukum adat di daerah-daerah yang selama ini mempbuat mereka dapat hidup tenang dan bahagia.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis dengan mayoritas Islam. Unsur Ketuhanan, utama.