Oleh : Hikmah, S.Pd
Praktisi Pendidikan dam Pemerhati Generasi
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin pepatah ini tepat disematkan pada kondisi dunia Pendidikan saat ini. Bagaimana tidak, ditengah sulitnya jenjang pendidikan tinggi dirasakan oleh seluruh anak bangsa di negeri ini, masih terpikir oleh pemangku kebijakan untuk memangkas anggaran dananya, alasannya karena salah sasaran.
Banyak pihak yang menolak rencana yang diusulkan oleh pihak kementrian keuangan tersebut, sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa media online.
Rencana reformulasi mandatory spending alias tafsir ulang anggaran pendidikan dalam APBN yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR dinilai tidak tepat oleh sejumlah ekonom. Seperti diketahui, selama ini anggaran pendidikan dipatok dari belanja negara, akan tetapi patokan ini hendak disesuaikan dalam wacana terbaru. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai kebijakan mandatory spending ini penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah. “Jika sudah ditetapkan 20% [dari belanja] untuk pendidikan, itu tidak boleh diutak-atik. Wacana untuk merombaknya menurut saya tidak tepat,” ujar Bhima dalam pernyataannya kepada Bisnis, (ekonomi.bisnis.com, 5/9/2024).
Komisi X DPR RI menolak usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait kebijakan 20 persen anggaran pendidikan yang mengacu pada APBN. Menkeu mengusulkan agar anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara dikaji ulang.
“Kami tegaskan bahwa kami tidak setuju otak-atik anggaran pendidikan yang diusulkan Ibu Sri Mulyani. Di mana rencananya 20 persen anggaran pendidikan bukan dari belanja APBN tetapi dari pendapatan,” kata Syaiful Huda dalam acara diskusi kelompok terpumpun bertajuk ‘Menggugat Kebijakan Pendidikan’ di Jakarta. (www.merdeka.com, 7/9/2024).
Statement SM yang mengatakan perlu tafsir ulang atas mandatory spending 20% anggaran pendidikan dalam APBN dengan dalih mengurangi beban APBN di tengah banyaknya problem soal layanan pendidikan adalah bukti lepas tangannya negara dalam memenuhi hak rakyat mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau. Fakta yang tidak terbantahkan lagi bahwa dengan skema anggaran sekarang saja masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis/murah, berkualitas, adil dan merata.
Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalisme jauh dari paradigma riayah dan junnah, melainkan seperti penjual dan pembeli. Pendidikan malah diserahkan kepada swasta untuk dikapitalisasi yang mengakibatkan anak bangsa ini sangat sulit mengenyam pendidikan sampai setinggi-tingginya. Pendidikan menengah saja sangat sulit diraih ditengah terhimpitnya beban ekonomi yang semakin sulit juga.
Bergonta-ganti pemegang kebijakan, maka ganti pula kurikulum pendidikan tidak membuat biaya pendidikan menjadi gratis/murah, berkualitas, adil dan merata di semua jenjang. Yang ada anak bangsa ini dimotivasi untuk memilih sekolah menengah yang cepat dapat memasuki dunia kerja yang hanya sebatas menjadi pekerja/buruh. Bukan dimotivasi untuk meraih pendidikan setinggi-tinggi dalam rangka menuntut ilmu agar dapat menjadi manusi yang berkualitas IPTEK nya, beriman, dan bertaqwa, mampu memimpin peradaban dunia yang memberikan manfaat bagi umat manusia.
Sesungguhnya bidang Pendidikan tidaklah berdiri sendiri tetapi harus didukung oleh seluruh bidang lainnya terutama bidang ekonomi yang mampu menopang agar kebutuhan-kebutuhan bidang Pendidikan dapat berjalan secara maksimal. Fakta yang tidak terbantahkan lagi bagaimana sumber daya alam di negeri ini dikelola sangat besar oleh swasta/asing. System ekonomi yang pendapatan negaranya bertumpu pada pajak dapat dipastikan tidak akan mampu menopang seluruh pembiayaan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya termasuk kebutuhan Pendidikan.
Berbeda dengan Islam, pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok yang menjadi hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi oleh penguasa dengan layanan yang terbaik. Semua Bisa diwujudkan dengan politik anggaran yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam dan didukung sistem-sistem lainnya sehingga tujuan pendidikan terwujud. Sistem ekonomi Islam menjadikan sumber daya alam sebagai milik umum/umat yang tidak boleh dikelola oleh swata/asing. Tetapi dikelola oleh negara sebagai salah satu dari corong pemasukan negara untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan rakyat termasuk pendidikan. Di tengah melimpahnya sumber daya alam di negeri kita ini, ketika dikelola sepenuhnya oleh negara maka Pendidikan yang gratis dan berkualitas disemua jenjang pasti dapat direalisasikan.
Fakta Sejarah telah membuktikan ketika bidang pendidikan dan bidang-bidang kehidupan lainnya dilandasi/diatur oleh sistem Islam, telah berhasil mencetak generasi yang unggul secara massal, tidak hanya ungul dalam IPTEK nya tetapi faqih fiddin sehingga menggunakan ilmunya hanya untuk kebaikan umat manusia dan alam ini. Dunia Islam menjadi pemimpin peradaban dan mercusuar dunia.
Masihkah kita berharap pada sistem sekuler yang sudah sangat jelas menyengsarakan rakyat dan hanya menyejahterakan para kapital? Tentu tidak. Oleh karena itu perlu perjuangan bersama untuk mengubah sistem rusak saat ini dan mengembalikan kepada sistem Islam yang bersumber dari sang pencipta manusia.
Lebih dari itu kembali ke sistem Islam adalah konsekuensi sebagai muslim yang harus taat kepada penciptanya.