Oleh : Alesha Maryam
Aktivis Dakwah
Sepanjang 1 Januari sampai 8 Desember 2024, Indonesia tercatat 1.918 kejadian bencana (BNPB, 2024). Kejadian bencana yang mendominasi adalah bencana hidrometeorologi yang urutan kejadian terbanyaknya adalah banjir, cuaca ekstrim, karhutla, tanah longsor, dan kekeringan. Jika melihat mundur kejadian bencana alam di Indonesia berdasarkan hasil pencatatan BNPB sejak 2012 hingga 2022, bencana hidrometeorologi seperti banjir, cuaca ekstrim dan tanah longsor merupakan bencana yang sering kali berulang terjadi. Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang disebabkan oleh fenomena alam yang terkait dengan perubahan kondisi atmosfer dan hidrologi.
Seiring datangnya musim hujan, banjir terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Tak terkecuali di Kalimantan Selatan. Bencana banjir yang terjadi di awal 2025 merupakan kejadian berulang karena di awal 2024 pun juga terjadi di Kalimantan Selatan. Lagi dan lagi banjir setiap musim hujan datang. Bahkan, ada kawasan-kawasan tertentu yang mendapatkan julukan “langganan banjir” karena tiap tahun kebanjiran terus.
Kerusakan Ekologis
Banjir sering dianggap sebagai akibat langsung dari curah hujan yang tinggi dan meluapnya sungai. Namun, jika mitigasinya bagus, dampaknya bisa diminimalkan, baik korban jiwa, harta benda, maupun infrastruktur. Sayangnya, mitigasi bencana kita masih sangat lemah. Seharusnya dengan adanya mitigasi yang sungguh-sungguh dan profesional, berbagai risiko yang terkait bencana bisa diminimalkan. Sayangnya, negara selalu gagap ketika terjadi bencana. Selain karena fenomena alam, nyatanya bencana yang sekarang terjadi juga ikut andil ulah tangan manusia.
Tidak dapat dipungkiri, negara ini mengadopsi sistem barat yang memisahkan urusan agama dan kehidupan. Eksploitasi alam atas nama pembangunan juga menjadi faktor pemicunya. Sumber daya alam (SDA) secara brutal dan rakut dieksploitasi oleh swasta asing dan aseng demi keuntungan segelintir manusia. Bagaimana tidak menimbulkan kerusakan, eksploitasi yang terjadi pun tidak memikirkan dampak buruk bagi alam, bahkan hewan sekalipun. Watak materialistis kaum kapitalis hanya menghitung keuntungan tapi tidak memikirkan dampak negatif dan kerugian di masyarakat.
Semua eksploitasi ini berkonsekuensi terjadinya alih fungsi kawasan hutan yang berperan penting bagi fungsi ekologis tanah dan penyerapan air. Namun sayang, upaya untuk, menyolusi bencana alam akibat faktor lingkungan tersebut selama ini masih berupa langkah-langkah teknis. Misalnya dengan meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS), melakukan pengolahan air limbah, dan menjaga kelestarian sumber air, serta menerapkan tata ruang yang berkelanjutan dan upaya mitigasi kebencanaan.
Terjadinya bencana alam ini memang layak membuat kita muhasabah. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa bencana alam di Indonesia ini sejatinya bersifat sistemis. Ini tampak dari penanganan bencana dari tahun ke tahun yang tidak menunjukkan perubahan signifikan, padahal hampir tiap tahun data rekomendasi kerentanan bencana dari Badan Geologi selalu diperbaharui dan diberikan kepada Pemda terkait.
Bencana yang berulang dan menjadi langganan ini menegaskan lalai dan abainya penguasa untuk mengurus rakyatnya. Ini sekaligus membuktikan bahwa solusi teknis sudah tidak mampu menanggulangi.
Pembawa Berkah
Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira yang mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan) sehingga apabila (angin itu) telah memikul awan yang berat, Kami halau ia ke suatu negeri yang mati (tandus), lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan”. (QS. Al-A’raf [7]: 57).
Juga dalam ayat, “Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran. Lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya Kami Maha Kuasa melenyapkannya”. (QS Al-Mukminun [23]: 18).
Serta ayat, “Dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan.” (QS Al-Qamar [54]: 12).
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41).
Hujan adalah rahmat. Sedemikian teliti Allah menggambarkan proses terjadinya hujan. Kita pun dianjurkan membaca doa, “Allahumma shayyiban naafi’aa” saat turun hujan agar menjadi hujan yang bermanfaat.
Dengan begitu, pasti seimbang pula fungsi ekologis hujan tersebut bagi suatu kawasan. Ketika terjadi kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, tidak pelak hujan yang semestinya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana, na’uzu billah
Untuk itu, solusinya tidak lain adalah dengan kembali kepada aturan Allah sebagai pedoman dalam kehidupan, termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa. Semua itu semestinya tercermin dari pembangunan dan pengelolaan bumi yang tidak melulu demi reputasi, apalagi kapitalisasi dan angka-angka semu pertumbuhan ekonomi.
Penguasa semestinya malu jika ada julukan “banjir tahunan” atau “bencana alam langganan”. Hal itu menunjukkan sikap abai terhadap mitigasi bencana, alih-alih mengantisipasinya. Sudah semestinya penguasa kembali pada hakikat kekuasaan yang dimilikinya, yakni semata demi menegakkan aturan Allah Ta’ala dan meneladani Rasulullah SAW dalam rangka mengurus urusan umat.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Islam tidak anti terhadap pembangunan. Banyaknya pembangunan di dalam sejarah peradaban Islam justru telah terbukti riil berfungsi untuk urusan umat. Bangunan-bangunan peninggalan peradaban Islam itu bahkan masih banyak yang berfungsi baik hingga era modern ini, padahal usianya sudah ratusan tahun.
Pembangunan dalam Islam juga mengandung visi ibadah, yaitu bahwa pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah Taala. Untuk itu, jika suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah ataupun berdampak pada terzaliminya hamba Allah, pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan.
Begitu pula perihal tata guna lahan. Penguasa sudah semestinya memiliki inventarisasi fungsi dari masing-masing jenis lahan. Lahan yang subur dan efektif untuk pertanian sebaiknya jangan dipaksa untuk dialihfungsikan menjadi pemukiman maupun kawasan industri.
Juga lahan pesisir, semestinya difungsikan menurut potensi ekologisnya, yakni mencegah abrasi air laut terhadap daratan. Sedangkan kawasan hutan hendaklah dilestarikan sebagai area konservasi agar dapat menahan/mengikat air hujan sehingga tidak mudah menimbulkan tanah longsor, sekaligus menjaga siklus air.
Semua ini bisa terwujud karena motivasi pembangunan dilakukan sebagai bagian dari penerapan syariat Islam secara kaffah sehingga tentu saja membuahkan keberkahan bagi masyarakat. Ini sebagaimana firman Allah Taala, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96). Wallahualam bissawab.